THEO-ANTRO FALSAFAH HUKUM ISLAM

  • Bagikan

PRODUK hukum yang dilahirkan sejatinya bersifat teologis dan antropologis. Ikatan kepatuhan hukum dalam berbagai literatur adalah melahirkan efek jera bagi pelanggar hukum, dan memberikan dampak baik terhadap orang yang mematuhi hukum. Oleh karenanya, kolektifitas hukum harus menjadi tajuk utama dalam melahirkan kepatuhan hukum yang juga kolektif. Maksdunya, kepatuhan, yang tidak melihat pada kasus apa hukum itu berada, tapi kepatuhan itu lahir dari keyakinan bahwa kepatuhan terhadap hukum akan memberi dampak baik secara teologis (syurga sebagai hadiah atas kepatuhan tersebut).      

Berbicara tentang kepatuhan hukum, maka bisa jadi kita akan membicarakan sumber hukumnya. Secara teoritis, kita mengenal dua sumber hukum. Pertama hukum yang lahir secara Teosentries, dan hukum yang lahir secara Antrophosentries. (Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, 1997, lihat juga Suparman Usman, Hukum Islam, 2001)  

Hukum Islam juga diperdebatkan peristilahannya, maka dalam beberapa literature, seperti tulisan Muhammad Daud Ali memberi pendefenisian tersendiri dalam memaknai hukum Islam tersebut. Perbedaan itu muncul ketika menempatkan Syari’at pada asas hukum yang lahir melalui Kalam Ilahi. Fiqh, adalah akumulasi ijtihad para ulama dalam menemukan jawaban-jawaban hukum kontemporer, tetap acuannya adalah asas hukum tersebut (Kalam Ilahi). Dan semua itu menurutnya, terangkum dalam istilah Hukum Islam. Hukum Islam adalah Syari’at, dan hukum Islam juga Fiqh.

Hal mendasar yang perlu diketahui adalah semua hukum yang lahir tidak meninggalkan asas keislaman yaitu pesan  subtansi Kalam Ilahi.

Ada juga perdebatan panjang terhadap seberapa besar peran akal dalam memaknai pesan hukum Allah. ada kalangan yang sangat tekstual melihat apa maksud Allah dalam Alquran, ada pula yang berani keluar secara kontekstual untuk menerawang pesan Allah tersebut. Dan golongan yang baru lahir untuk memesankan paham moderat. Tetap memaknai pesan tersebut pada wilayah tekstual, tapi runtut juga pada hal yang kontekstual. Mencoba memberi perimbangan pesan-pesatn tersebut untuk tidak menyeleweng dari makna asalnya.

Hukum Islam kolektif adalah hukum Islam yang mengakomodasi keberagaman. Sebenarnya isu yang lahir itu bukanlah yang baru, tapi pemaknaannya perlu kita kaji ulang. Sebab, ada kesan di tengah masyarakat, perbedaan memaknai hukum seolah memberi cerminan tentang seberapa besar kualitas keberislaman orang tersebut. Padahal, jauh dari itu semua. Islam sebenarnya mengakomodasi keberagaman itu.

Kesalahan dalam memaknai hukum Islam adalah  penyalahan hukum yang qath,I, misalnya pengingkaran shalat, pengingkaran puasa, pengingkaran zakat dan naik haji. lalu mencari saduran persamaan lain untuk menempatkan hukum yang qath,I itu pada kegiatan hukum lainnya.

Selama  pesan yang qath,I dalam Alquran diyakini kebenarannya serta dipatuhi, maka, dipastikan pemahaman hukum Islamnya benar. Namun, perbedaan pada memaknai hukum Islam yang dzhanni tidak sampai memengaruhi  kepatuhan dan keyakinan pada hukum Islam secara kolektif. Itulah sebabnya perlu memaknai seberapa besar pesan Alquran terhadap keberagaman manusia di muka bumi ini.

Apakah Alquran diturunkan Allah untuk menyeragamkan perbedaan?, atau Alquran diturunkan Allah justru untuk mewarnai perbedaan-perbedaan tersebut dalam lingkup ketauhidan dan kepatuhan kepada Allah. Pasti akan besar maknanya, mengapa Alquran diturunkan Allah di wilayah Timur Tengah, tepatnya Makkah dan Madinah. Tapi, prasangka baiknya, Allah tidak akan mengecilkan potensi firman-Nya hanya untuk menyeragamkan Islam dengan warna yang Timur Tengah-isme padahal Islam menyebar di seantero jagad raya ini.  Inilah pesan sentral Hukum Islam kolektif tersebut.

Lain lagi pada pemaknaan hal yang sifatnya sekunder dalam hukum Islam. Contohnya, hukum shalat berjamaah di masjid lebih besar pahalanya 27 kali lipat daripada shalat di rumah. Pemaknaan seperti ini bisa dibaca secara tekstual maupun secara kontekstual melalui pesan subtansinya.

Hikmah dasar yang bisa diambil adalah memakmurkan masjid sebagai Baitullah, mendekatkan potensi hablunminallah dengan hablunminannaas  sebab masjid adalah media beribadah yang memperjumpakan keberagaman manusia, baik dari segi umur, pekerjaan dan status sosial. Maka, keafdholan shlat berjamaah di masjid menyentuh pada realitas tersebut di atas.

Namun, ada pula pemahaman tentang keafdholan shalat dimasjid itu sifatnya kondisional. Sebab, jika motivasi untuk shalat berjamaah di masjid hanya menyentuh pada pahala yang besar, sementara, ia meninggalkan keluarga di rumah yang masih butuh bimbingan shalat, belajar beribadah dan semacamnya. Maka, penggalan pemaknaan secara subtansi inilah yang penting untuk membaca apa pesan subtansi hukum yang dimaksudkan Allah dalam Alquran, dan pasan Muhammad dalam Hadis-hadisnya. Pemaknaan seperti ini pasti tidak akan meninggalkan pesan tekstualnya, dan tidak pula mengabaikan maksud kontekstualnya.

Tapal batas akal dalam memaknai pembaharuan hukum Islam adalah memastikan akal tidak mengingkari pesan aktual Alquran dan Hadis. Tidak mengingkari pasan hukum Qath’I dalam Alquran dan tidak “mendongeng”dalam membuat hukum baru yang sama sekali tidak seide dan se-nilai dengan Alquran dan Hadis. Selebihnya, Allah menciptakan manusia dengan potensi akal dan nafsunya adalah untuk menjadi manusia yang “pemimpin” dalam memilih serta memikirkan yang terbaik dalam hidupnya, termasuk dalam pilihan hukumnya.

Pesan sentral tersebut ditegaskan Allah dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.

Malaikat sedikit komplain, mengapa Allah justru menciptakan makhluk yang namanya manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan sebutan khalifah itu. Lalu, komplain tersebut dijawab Allah dengan meneguhkan kebesaran pengetahuannya melebihi dari apa yang diketahui makhluk-makhluk-Nya. Penegasan ke-khalifahan manusia inilah yang menjadi cikal bakal akan kehebatan akal untuk mendeskripsikan apa maksud Allah dalam Alquran, bukan justru membatas-batasinya. Sebab, pengembalian kebenaran yang mutlak hanya pada Allah SWT.

Oleh karenanya, Hukum Islam adalah hukum yang koletif. Menyahuti nilai-nilai masa sekarang dan masa depan. Semua itu perlu pembuktian. Sebab, pertarungan kehebatan Alquran untuk menjawab permasalahan konstekstual adalah dengan seberapa besar para penganutnya memahami betul bahwa Alquran benar-benar menjawab permasalahan-permasalahan tersebut dengan menggunakan metodologi yang konstekstual juga (ijma, qiyas, ihtihsan, maslahat, urf dll.). semoga kita bisa menjadi lebih dekat kepada-Nya. Amin. (Ka. Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat UIN SU)  

  • Bagikan