Toleransi Yang Sesat Dan Menyesatkan

  • Bagikan
Toleransi Yang Sesat Dan Menyesatkan

Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Sangat disayangkan, sebahagian umat Islam mengira bahwa memperingati atau merayakan Natal dengan berbagai cara dan bentuk seperti menghadiri perayaan Natal, ikut menghadiri ritual natal di gereja, mengucapkan selamat Natal dan sebagainya, itu praktek toleransi beragama yang diperintahkan atau dibenarkan dalam agama dan hukum/aturan di Indonesia. Mereka mencampur adukkan aqidah dan ibadah agama Islam dengan agama lain alasan toleransi beragama. Ini toleransi yang sesat dan menyesatkan.

Tentu perilaku sebahagian umat Islam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang mengikuti aqidah dan ritual agama lain termasuk Hari Rayanya karena mengandung kesyirikan dam kekufuran. Terlebih lagi, ini ranah aqidah yang tidak boleh dicampur adukkan antara kebenaran agama Islam dengan kesyirikan dan kekufuran agama Kristen. Maka hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama. Bahkan bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim.

Islam merupakan agama yang paling toleran. Toleransi beragama merupakan ajaran Islam yang telah dipraktekkan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu anhum. Konsep toleransi yang dikenal oleh orang-orang non muslim saat ini telah dikenal terlebih dahulu oleh umat Islam sejak 15 abad yang lalu. Namun toleransi non muslim salah dan melampaui batas, karena sudah masuk ranah aqidah dan ibadah. Mereka punya kepentingan dan misi untuk memurtadkan umat Islam.

Toleransi yang benar adalah toleransi yang diajarkan oleh Islam. Dalam Islam, toleransi hanya berlaku dalam persoalan muamalah (hubungan sosial atau persoalan keduniaan) saja, bukan dalam persoalan aqidah dan ritual/ibadah. Islam melarang mencampur adukkan persoalan aqidah dan ritual/badah dengan agama lain. Maka tidak boleh mengikuti aqidah dan ritual/ibadah agama lain.

Namun demikian, Islam menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama masing-masing serta menghormati agama lain. Jadi, toleransi itu hanya terbatas dalam persoalan muamalah, bukan persoalan aqidah dan ibadah. Inilah toleransi yang benar.

Allah ta’ala berfirman, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256).

Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun: 1-5).

Allah ta’ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).

Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108).

Allah ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 42).

Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri.” (Al-Baqarah: 139).

Allah ta’ala berfirman, “Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.” (Asy-Syura: 15).

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersikap toleransi kepada orang-orang Yahudi di Madinah dengan membiarkan mereka hidup aman dan berdampingan dengan umat Islam, tidak memaksa mereka masuk Islam dan tidak melarang ibadah dan keyakinan mereka. Beliau bermuamalah dengan mereka dalam urusan dunia seperti jual beli, berkunjung, berbuat baik, menolong, dan sebagainya.

Namun, beliau shallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan selamat hari raya agama lain dan tidak pula mengikuti ibadah dan aqidah agama lain. Bahkan melarangnya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai (mengikuti ibadah dan aqidah) suatu kaum, maka dia bagian dari mereka”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas, maka jelaslah bahwa toleransi beragama yang benar adalah menghormati pemeluk agama lain, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan agama masing-masing, dan hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda dengan aman dan damai. Inilah toleransi yang benar yang diajarkan oleh Islam.

Adapun mencampur adukkan agama atau mengikuti aqidah dan ritual agama lain seperti memperingati atau merayakan Natal dengan memakai atributnya, mengikuti perayaannya, mengucapkan selamat Natal, dan sebagainya itu bukan toleransi yang dibolehkan dalam Islam. Ini toleransi yang salah dan melampaui batas yang beetentangan dengan Islam. Bahkan bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim.

Karena itu, penulis mengingatkan berbagai pihak baik dari muslim, non muslim dan pemerintah agar menghargai dan menghormati ajaran Islam yang melarang mengikuti aqidah dan ritual agama lain. Sikap toleran atau tidak toleran tidak bisa dinilai dengan memperingati atau merayakan hari Raya agama lain atau mengucap selamat hari raya agama lain.

Selama ini berkembang asumsi yang menyesatkan bahwa orang yang mengucapkan selamat Natal atau merayakan Natal dianggap toleran. Adapun orang yang tidak mengucapkan selamat Natal atau tidak merayakan Natal dianggap tidak toleran. Ini pemahaman toleransi yang sesat dan menyesatkan.

Perbuatan ini membahayakan aqidah seorang muslim karena adanya kekufuran, kesyirikan, dan pengagungan terhadap agama lain. Maka hukumnya haram dan bisa membatalkan keislaman seseorang berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama salaf.

Toleransi beragama bukan berarti boleh berbaur aqidah Islam dengan aqidah non Islam. Namun toleransi yang benar adalah sikap saling menghargai dan menghormati agama yang berbeda, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Maka sikap umat Islam untuk tidak merayakan Natal itu sudah sesuai dengan toleransi yang diajarkan oleh Islam dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Sebagai penutup, mari kita senantiasa bertakwa kepada Allah ta’ala dan bersikap toleransi dengan benar dengan saling menghormati keyakinan dan ajaran agama lain, memberikan kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan dan ajaran agama masing-masing, tidak mencampurkan keyakinan dan ajaran agama, dan tidak mengikuti aqidah dan ritual agama lain. Semoga kita selalu diberi petunjuk dan dijaga oleh Allah ta’ala dari kesesatan dan kekufuran. Amin !

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh di Internatiomal Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara, ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh dan Wakil Ketua Majelis Pakar PW Parmusi Aceh.

  • Bagikan