TPPO Berkedok Adopsi Anak

  • Bagikan
<strong>TPPO Berkedok Adopsi Anak</strong><strong></strong>

Oleh Eka Putra Zakran, SH MH

…tindak pidana perdagangan orang dikualifikasikan sebagai kejahatan kemanusian, karena pada dasarnya dalam perbuatan ini korbannya adalah manusia. Artinya, di samping adanya aspek ekonomi, tapi komuditasnya adalah manusia. Inilah yang membedakan TPPO dengan tindak pidana lain…

TPPO Berkedok Adopsi Anak. Tanggal 28 September 2022 yang lalu, publik kembali digegerkan dengan terkuaknya aktivitas terlarang (bisnis hitam), yaitu kejahatan perdagangan orang berkedok adopsi anak di Kabupaten Bogor.

Sebelum kejahatan ini terungkap, pelaku bernama Suhendra (Pria 32 tahun) sempat viral di media sosial dan dijuluki sebagai “Ayah Sejuta Anak” karena aksi sosialnya mampu menampung dan merawat bayi-bayi yang terbuang dalam jumlah besar, kurang lebih 55 anak yang rata-rata berasal dari ibu hamil tanpa suami (detiknews, 29/9/2022).

Sepintas lalu aktivitas atau pekerjaan yang dilakoni oleh pelaku terlihat sangat manis, mulia dan/atau terpuji, namun siapa sangka dibalik pekerjaan yang tampak terpuji itu, ada tabir terselubung di dalamnya, yaitu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok adopsi anak.

Jika dianalisis lebih dalam, ternyata di balik aksi sosial yang heroik itu, ada modus titpu-tipu yang disembunyikan sebagai pintu masuk untuk melancarkan aksi kejahatannya dengan memperdagangkan orang dalam mencari keuntungan.

Secara realitas, siapa pun barang kali sulit untuk melakukan pekerjaan menampung, merawat dan membiayai anak dengan jumlah yang banyak, seperti yang dilakukan oleh Suhendra tersebut. Sebab, untuk mengurus satu dua anak saja dalam rumah tangga pasti berat, karena banyak lika-liku, ujian dan/atau cobaan yang harus dihadapi. Pendeknya, banyak hal yang mesti diperhatikan, mulai dari urusan memenuhi kebutuhan pokok (primer), tambahan (sekunder) dan termasuk kebutuhan pelengkap (tersier) juga harus diperhatikan.

Semua kebutuhan-kebutuhan yang diuraikan di atas, singkatnya memerlukan biaya yang tidak sedikit, lain lagi misalnya kalau bicara soal pembinaan mental-sipritual dan/atau rohani atau apa yang disitilahkan oleh Ari Ginanjar Agustian, seorang motivator nasional dalam buku best seller yang berjudul Emosional, Spritual Quesyion (ESQ), serta pengawasan terhadap tumbuh kembang anak.

Dr Vicka Farah Diba, MSc, Sp.A menyebutkan, tahap tumbuh kembang anak dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: tumbuh (growth) adalah perubahan fisik yang dapt diukur. Sedangkan kembang (devolopment) adalah pertambahan kemampuan struktur dan funsi tubuh yang lebih kompleks. Masa balita sering juga disebut sebagai periode emas, yaitu periode 0-5 tahun. Dalam masa ini terjadi peningkatan pesat pada pertumbuhan dan perkembangan balita.

Terkait pertumbuhan anak ini kesemuaanya tentu membutuhkan perhatian yang amat sangat serius dari kedua orang tua, agar anak yang dilahirkan ke dunia dapat menjadi remaja, dewasa, sehingga kelak mampu meraih prestasi dan masa depan yang gemilang atau setidak-tidaknya disini ada peran strategis orang tua untuk menjembatani atau mengantarkan anak-anak hingga kepelaminan (berumah tangga) dengan pasangan hidup, idola, tambatan hati atau pilihan terbaiknya.

Mengurus anak dalam lingkup rumah tangga memang tidak ada sekolahnya, namun bukan perkara yang  mudah, walaupun tidak boleh dikatakan “sulit”. Artinya pekerjaan mengurus anak dalam sebuah rumah tangga, tidak semudah pekerjaan seorang Tukang Sulap, misalnya dengan modal “bim salabim” atau “abra kadabra” lalu jadi, tak semudah itu.

Pengalaman penulis dalam konteks mengurus anak, selain membutuhkan kesabaran dan tanggung jawab yang tinngi dalam konteks penuhan nafkah pokok, sebagai orang tua kita juga harus memiliki “jurus jitu”, penulis menyebutnya dengan istilah Asmaul Husna (berkasih-sayang), salah satu sifat mulia dari Tuhan yang melekat pada diri setiap manusia. Lawan kata (antonim) dari sikap berkasih-sayang ini adalah “berbenci-benci”, jelas ini buruk sekali, hemat penulis sikap ini harus dibuang jauh-jauh ke dasar laut.

Jadi, wajar jika publik di buat geger oleh seorang Suhendra yang mampu menampung, merawat dan membiayai puluhan bayi-bayi yang terbuang, alih-alih mengadopsi, ternyata “ada udang di balik batu”. Modus menampung dan merawat bayi, kemudian ini dijadian sebagai pintu untuk menjalankan aksi kejahatan memperdagangkan orang. “Yayasan Ayah Sejuta Anak” menjadi tameng “ekonomi” berwajah “sosial” untuk mendapatkan keuntungan. Dari rangkaian peristiwa tindak kejahatan yang dilakukan oleh Suhendra terendus motifnya adalah ekonomi.

Motif kejahatan pelaku di atas di perkuat dengan pernyataan Kapolres Bogor AKBP Iman Imanuddin (Rabu 28/9/2022), “Suhendra alias Ayah Sejuta Anak, ditangkap atas dugaan perdagangan bayi di Ciseeng, Kabupaten Bogor. Modus yang dilakukan oleh pelaku dengan mengiming-imingi atau mengumpulkan ibu hamil, kemudian setelah proses persalinan, anaknya akan diserahkan kepada orang yang mengadopsi anak tersebut, namun proses adopsinya dilakukan secara ilegal. Pengadopsi dimintai sejumlah uang dengan mengatasnamakan Yayasan Ayah Sejuta Anak”.

Berkaitan dengan dijadikannya ekonomi sebagai motif untuk melakukan suatu tindak kejahatan, maka sudah jelas orientasinya adalah mencari keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan tersebut. Teori yang dikemukankan oleh Machciavelli menyatakan, “dengan modal yang sekecil-kecilnya diharapkan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya”, suatu teori yang menurut hemat penulis adalah kontraproduktif pada aspek-aspek tertentu, khususnya aspek kemanusiaan dan peradaban.

Di satu sisi tindak kejahatan perdangan orang dengan modus adopsi anak ini memprihantinkan, karena kejahatan kemanusiaan khususnya perdagangan orang, para pelakunya hemat penulis tidak berprikemanusiaan dan berperadaban. Di sisi yang lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila ini, urusan kemanusiaan dan adab ditempatkan pada posisi kedua atau sila kedua, yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Artinya, nilai-nilai kemanusian dan peradaban itu sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di samping itu, dunia internasional juga menyatakan bahwa perdagangan orang dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karenanya, kepada pelaku kejahatan perdagangan orang, wajar dan layak diberikan sanksi pidana maksimal, agar menjadi shock teraphy (peringatan keras) sihingga tidak muncul lagi pelaku-pelaku lain yang serupa modus dan motif kejahatannya.  

Penutup

Ketentuan mengenai larangan perdagangan terhadap orang pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 297 Kitab Undag-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan, “barang siapa dengan sengaja menyebakan atau memudahkan perdagangan anak aki-laki yang beum dewasa, diancam dengan pidanapenjara paling lama enak tahun”.

Kemudian berdasarkan perkembangan arus globalisasi, tindak pidana perdagangan orang dikualifikasikan sebagai kejahatan kemanusian, karena pada dasarnya dalam perbuatan ini korbannya adalah manusia. Artinya, di samping adanya aspek ekonomi, tapi komuditasnya adalah manusia. Hal inilah yang membedakan TPPO dengan tindak pidana lain pada umumnya.

Di tingkat internasional, dalam rangka mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), PBB juga telah melahirkan konvensi mengenai kejahatan terorganisasi yang kemudian di kenal dengan istilah UNTOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime). Sebagai kelengkapan dari konvensi ini, PBB kemudian melahirkan tiga protokol, di antaranya: Pertama “Palermo Protocol”, yaitu protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, khususnya terhadap perempuan dan anak.

Kedua, protokol penentangan penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara; dan Ketiga, protokol menentang perbuatan dan perdagangan gelap senjata api, suku cadang dan komponennya serta amunisi. Sementara itu pada tingkat regional, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggra (ASEAN) juga mempunyai Concention Against Trafficking in Persons Especially Women and Children (ACTIP). Nah, ditingkat nasional, Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau lebih dikenal dengan UU Pemberantasan TPPO.

Tak lama setelah itu, diundangkan pula UU Nomor 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak, Menghukum Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak-Anak, guna melengkapi konvensi PBB dalam rangka menentang tindak pidana transnasional yang terorgasnisasi (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Chilrean, Supplementing the United Nations Convention Agains Transnasional Organizaed Crime).

Nah, dari sekian banyak regulasi dan/atau peraturan yang mengatur tentang TPPO, diharapkan agar pelaku diberi sanksi/hukuman yang berat, karena pekerjaan tersebut tidak pantas, “menjual manusia”. Pendeknya, jangankan menjual manusia, menjual binatang (hewan) yang dilindungi saja tidak pantas, konon pula memperdagangkan orang, jelas tidak manusiawi. Semoga menjadi perhatian!

Penulis adalah Ketua Umum PB PASUKetua PDPM Kota Medan 2014-2018.

  • Bagikan