Utang Luar Negeri

  • Bagikan
Utang Luar Negeri

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Berdasarkan perspektif MMT, negara-negara tanpa utang luar negeri meski tak memiliki sumber daya alam yang kaya dapat mencapai kemakmuran dengan menerapkan kebijakan fiskal ekspansif yang tepat

Artikel ini mengkaji beberapa aspek yang berkaitan dengan utang luar negeri. Diawali dengan uraian ringkas tentang berbagai sudut pandang kajian mengenai utang luar negeri, artikel ini membahas utang luar negeri dan investasi dalam pembangunan domestik, kewajiban melayani utang luar negeri, fenomena rent seeking dalam mekanisme utang luar negeri, utang najis, dan motif penguasaan donor.

Utang luar negeri adalah kewajiban yang harus dibayar oleh suatu negara kepada negara lain atau lembaga internasional sebagai akibat dari peminjaman dana. Utang luar negeri berdampak positif maupun negatif terhadap pembangunan domestik, tergantung pada penggunaan dan pengelolaannya.

Dampak positifnya dapat meningkatkan investasi dalam pembangunan domestik, baik publik maupun swasta. Investasi publik adalah pengeluaran pemerintah untuk membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor-sektor lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Investasi swasta adalah pengeluaran perusahaan atau individu untuk memperluas usaha, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan produktivitas.

Utang luar negeri dapat menjadi sumber pembiayaan investasi publik maupun swasta dengan penggunaan secara efektif dan efisien untuk proyek-proyek produktif, menguntungkan dan berkeadilan. Utang luar negeri membantu mengatasi kesenjangan antara tabungan domestik dan investasi domestik yang sering terjadi di negara-negara berkembang.

Tetapi jarang disadari bahwa selain menjadi instrumen pembangunan yang efektif, utang luar negeri juga kerap menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini karena utang luar negeri digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang merusak lingkungan, seperti pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan kegiatan industri yang mencemari lingkungan.

Selain itu utang luar negeri dapat menimbulkan beban bagi perekonomian negara peminjam untuk kewajiban melayani utang luar negeri yang terdiri dari pokok utang dan bunga utang. Pokok utang adalah jumlah dana pinjaman yang harus dikembalikan kepada negara atau lembaga pemberi pinjaman. Bunga utang adalah biaya yang harus dibayar oleh negara peminjam atas dana pinjaman.

Kewajiban melayani utang luar negeri harus dipenuhi dengan menggunakan devisa atau mata uang asing yang diperoleh dari ekspor barang dan jasa atau masuknya modal asing. Jika devisa yang tersedia tidak mencukupi untuk membayar kewajiban melayani utang luar negeri, maka muncullah kesulitan likuiditas atau krisis devisa. Kesulitan likuiditas mengganggu aktivitas ekonomi domestik, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kemiskinan.

Utang luar negeri juga kerap menjadi beban perekonomian negara karena fenomena rent seeking, yakni perilaku yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan tanpa memberikan kontribusi produktif kepada masyarakat (Krueger, 1974).

Rent seeking dapat terjadi baik di sisi pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman. Di sisi pemberi pinjaman, rent seeking dapat berupa penyaluran dana pinjaman kepada negara-negara yang tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan utang, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan politik, ekonomi, atau strategis tertentu (Sachs, 2002).

Di sisi penerima pinjaman, rent seeking dapat berupa penggunaan dana pinjaman untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik, tanpa memperhatikan kelayakan proyek, akuntabilitas pengelolaan, atau dampak sosial dan lingkungan dari proyek (Sachs, 2002). Rent seeking dalam mekanisme utang luar negeri menyebabkan pemborosan sumber daya, korupsi, inefisiensi, dan ketimpangan (Sachs, 2002).

Isu lain berkaitan dengan utang luar negeri adalah fenomena utang Najis (odious debt). Utang najis dibuat rezim otoriter yang menggunakannya untuk keperluan menyimpang, bahkan dapat untuk tujuan menindas rakyatnya sendiri atau untuk membiayai perang dan konflik (Hanlon & Ocampo, 2013).

Tetapi hal yang lebih umum saat ini ialah jenis utang najis yang karena diputuskan dengan cara-cara yang tidak sah, tidak transparan, atau tidak adil, seperti manipulasi data, pemerasan, atau pemaksaan (Hanlon & Ocampo, 2013).

Risiko utang najis dipermasalahkan adalah ketika rezim otoriter digantikan oleh pemerintahan demokratis dan melakukan penuntutan berdasarkan pertanyaan etis dan moral tentang legitimasi dan tanggung jawab. Beberapa negara dan organisasi telah mengusulkan konsep penghapusan utang najis sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah utang luar negeri (Hanlon & Ocampo, 2013) namun hasilnya tak menggembirakan.

Juan Perón, Presiden Argentina (1946-1955 dan 1973-1974), membuat banyak pinjaman dari Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk membiayai pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, pinjaman tersebut justru digunakan untuk memperkuat kekuasaannya dan meningkatkan pengeluaran militer.

Setelah Perón digulingkan (1955), pemerintahan baru langsung menyelidiki korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan selama pemerintahan Perón yang akhirnya melarikan diri ke Spanyol dan meninggal di sana (1974).

Sani Abacha, Presiden Nigeria (1993-1998), membuat banyak pinjaman dari IMF dan negara-negara lain yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan militer sekaligus untuk memperkuat kekuasaan dan meningkatkan kekayaan pribadi. Setelah meninggal (1998), pemerintahan baru mendakwa Abacha dengan tuduhan korupsi dan pencucian uang, tetapi kasusnya tak kunjung selesai.

Kedua contoh ini menunjukkan bahwa pemerintah otoriter yang membuat banyak pinjaman luar negeri dapat menghadapi risiko diadili setelah tak berkuasa. Hal ini karena irasionalitas pinjaman, penyimpangan penggunaan seperti untuk memperkuat kekuasaan dan kekayaan pribadi para pemimpinnya yang menimbulkan ketidakpuasan rakyat.

Selain faktor-faktor ekonomi, utang luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan geopolitik yang salah satunya ialah motif penguasaan donor. Motif ini adalah niat atau tujuan dari negara atau lembaga pemberi pinjaman untuk mengendalikan atau mempengaruhi kebijakan dan perilaku negara penerima pinjaman sesuai dengan kepentingan mereka (Chossudovsky, 1998).

Motif penguasaan donor dapat bersifat ideologis, seperti menyebarkan ideologi kapitalisme atau komunisme; ekonomis, seperti menguasai sumber daya alam atau pasar; militer, seperti menjaga keamanan regional atau global; atau kultural, seperti menyebarluaskan nilai-nilai atau budaya tertentu (Chossudovsky, 1998).

Motif penguasaan donor dapat dilakukan dengan cara-cara langsung maupun tidak langsung. Meski untuk jangka waktu tertentu akan disadari oleh kalangan masyarakat sipil dan memprotesnya, namun kerap terus berlangsung.

Salah satu cara yang lazim dilakukan untuk meredakan kritisisme adalah pembungkaman dengan peningkatan peran-peran kelembagaan tertentu dan instrumen hukum yang menyasar langsung ke jantung kritisisme itu. Dalam proses degradasi kadar demokrasi, lazimnya pemerintahan yang dikritik hanya akan menunggu adanya rezim populis baru yang menggantikannya, baik secara konstitusional maupun cara lain.

Sebuah perspektif yang berasal dari Modern Monetary Theory (MMT) muncul dengan usul “Negara Tanpa Utang Luar Negeri meski tak memiliki sumber daya alam yang kaya”.

MMT adalah sebuah teori ekonomi yang berpendapat bahwa pemerintah dapat menciptakan uang untuk membiayai pengeluarannya, tanpa perlu khawatir akan inflasi. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah memiliki otoritas moneter (legitimasi untuk mencetak uang) dan mengendalikan peredaran uang.

Menurut MMT, negara dapat mencapai pembangunan tanpa utang luar negeri dengan menerapkan kebijakan fiskal ekspansif, yakni kebijakan yang bertujuan meningkatkan pengeluaran pemerintah.

Kebijakan ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan belanja pemerintah, menurunkan pajak, atau keduanya. Kebijakan fiskal ekspansif dapat mendorong pembangunan dengan cara meningkatkan permintaan agregat: dapat meningkatkan permintaan agregat, meningkatkan investasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan perspektif MMT, negara-negara tanpa utang luar negeri meski tak memiliki sumber daya alam yang kaya dapat mencapai kemakmuran dengan menerapkan kebijakan fiskal ekspansif yang tepat. Kebijakan fiskal ekspansif yang tepat adalah kebijakan yang dapat meningkatkan permintaan agregat, investasi, dan kesejahteraan masyarakat, tanpa menyebabkan inflasi yang berlebihan.
Utang luar negeri adalah kewajiban yang harus dibayar oleh suatu negara kepada negara lain atau lembaga internasional sebagai akibat dari peminjaman dana untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri memiliki dampak positif dan negatif bagi perekonomian suatu negara.

Selain itu, utang luar negeri juga kerap menimbulkan fenomena rent seeking dan utang najis, yaitu praktik korupsi dan penyalahgunaan dana pinjaman oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses peminjaman dan pengelolaan utang. Utang luar negeri dapat menjadi alat penguasaan donor terhadap negara penerima, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Karena itu, utang luar negeri harus dikelola dengan baik dan transparan agar dapat memberikan manfaat bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat.

Sebuah negara, meski dengan tanpa kekayaan sumberdaya luar biasa, dapat melaksanakan pembangunannya tanpa utang luar negeri. Perspektif MMT memberi jawaban untuk itu. Presiden baru Indonesia dapat mempertimbangkan perspektif ini untuk perubahan Indonesia Tanpa Utang.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan