Tafakur Kematian (Perspektif Islam Dan Sains Modern)

Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)

  • Bagikan
Tafakur Kematian (Perspektif Islam Dan Sains Modern)

Fase kematian secara sains modern ada tiga, yaitu mati klinis, mati otak dan mati biologis. Mati klinis ditandai dengan berhentinya pernafasan dan detak jantung. Impuls dari otak memudar dan pancaindra tidak lagi bereaksi. Jika dipasang alat medis akan terlihat di layar monitor bahwa kurvanya datar dan tidak lagi berdetak.

Mati otak, pada fase ini semua fungsi otak berhenti, terkadang masih nampak ‘hidup,’ karena dibantu alat medis, seperti alat pernafasan, alat pacu jantung dan sebagainya. Kematian biologis, fase ini ditandai dengan kematian miliaran sel sel tubuh, karena tidak ada lagi regenerasi sel. Tanda-tanda kematian jelas terlihat, dimana kulit jasad memperlihatkan bercak-bercak kematian, dan jasad menjadi kaku. Proses pembusukkan mulai berlangsung cepat. Pada fase ini, sudah dipastikan makhluk hidup sudah mati.

Di dalam mitologi Yunani, figur atau wujud kematian digambarkan sebagai makhluk bersayap yang disebut Thanatos. Di dunia Barat, wajah klasik kematian biasa disebut Rim Reaper. Big Think, menarasikan beberapa fakta tentang kematian yaitu, Pertama, sadar setelah meninggal.

Menurut Dr. Sam Parnia, Direktur Penelitian Perawatan Kritis dan Resusitasi di NYU Langone Medical Center, kesadaran tetap ada, bahkan pada saat kita meninggal dunia. Hal itu terjadi karena setelah 20 detik mati klinis, ada gelombang otak yang ditembakkan di korteks serebral bagian otak, untuk sadar dan berpikir. Kedua, adanya kehidupan setelah kematian.

Royal Society’s Open Biology menemukan, bahwa lebih dari seribu gen menjadi lebih aktif setelah kematian. Hal tersebut terjadi setelah dilakukan pengamatan ekspresi gen pada tikus mati dan ikan zebra. Ketiga, energi tetap ada pasca kematian. Energi di dalam tubuh, akan terus hidup dalam waktu yang lama setelah kematian.

Menurut hukum Termodinimika pertama, energilah yang bertugas untuk menggerakkan kehidupan agar kehidupan terus berlanjut dan energi itu tidak dapat dimusnahkan. Keempat, munculnya pengalaman menjelang kematian. Menjelang kematian, pengalaman muncul dalam berbagai bentuk. Hasil kajian neurology, menunjukkan pengalaman mendekati kematian berasal dari jenis keadaan tidur bangun, melalui membandingkan pengalaman mendekati kematian dengan yang tidak.

Di dalam Alquran surat al Fajr ayat 27-30 Allah Swt berfirman tentang kematian sebagai berikut, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb Mu dengan rela dan direlai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Surat al Fajr ayat 27-30 tersebut, diawali oleh harfu al nida’ (huruf seruan), dan yang menjadi munada’ (objek seruannya)adalah al nafsu al muthma’innah (jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang adalah jiwa dari para hamba Allah yang telah beriman dan shalih serta taqwa. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang telah siap memenuhi panggilan kematiannya.

Nafsun (jiwa) adalah ruh yang masih bersemayam di dalam jasad, jika ia telah tenang, maka disaat dipanggil pulang, dengan sukarela ia akan keluar dari jasadnya untuk menghadap kepada Rabbnya dalam ridha-Nya. Kematian para hamba Allah yang beriman dan shalih, terasa begitu mudah dan nikmat, yang oleh Rasulullah Saw digambarkan seperti keluarnya air yang dituang dari teko (Hadits Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Alquran juga menasihati kita agar berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini, dan agar tidak sombong, karena asal kita semua dari tanah dan akan kembali ke tanah. Di dalam surat Thaha, ayat 55, Allah swt berfirman, “Daripadanya tanah Kami telah menciptakan kamu, dan ke dalam tanah itu pula, kamu akan Kami kembalikan.Dan dari padanya tanah, kamu akan kami keluarkan di saat yang lain.”

Manusia diciptakan dari tanah, akan dikembalikan ke dalam tanah, dan dari dalam tanah itu pula, manusia akan dibangkitkan kembali pada saat hari berbangkit (Yaumul Ba’ats). Pasca kematian, ruh orang yang shalih, akan diperlakukan dengan mulia, sedangkan ruh ahlul ma’ashy (pelaku maksiat), akan diperlakukan dengan sangat hina.

Oleh karenanya, berhati-hatilah menempuh kehidupan, agar meninggal dunia dalam keadaan dimuliakan oleh Allah Swt. Wallahu’alam. WASPADA.id

Penulis adalah Dosen Hadits Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa

  • Bagikan