Tafakur Maulid Nabi Saw, Perspektif Ethnography

Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)

  • Bagikan
Tafakur Maulid Nabi Saw, Perspektif Ethnography

Perayaan Maulid Nabi Saw dalam perspektif ethnography (ilmu tentang budaya manusia) adalah salah satu perwujudan dari rasa cinta seorang hamba Allah yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Kelahiran Nabi akhir zaman dan penutup para nabi tersebut, merupakan rahmat bagi alam semesta.

Salah satu wujud dari rasa syukur atas nikmat yang besar itu, maka diadakan perayaan maulid Nabi Saw yang kemudian menjadi bahagian penting dalam tradisi dan budaya kehidupan mayoritas masyarakat muslim dunia. Hal itu, sekaligus sebagai medium dakwah secara kultural yang lembut dan elegan, bagaikan air yang merembes, menembus karang batu dengan segala kelembutan yang menyejukkan, tanpa mengusik dan tanpa melahirkan friksi sedikitpun.

Syekh Muhammad Abdurrahman al Mubarakfuri, di dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadz, syarah Sunan al Tirmidzi, juz 7, halaman 53 mengatakan bahwa, “rasa cinta seorang hamba muslim yang beriman kepada Nabinya, muncul karena adanya rasa keterpautan hati.” Rasa keterpautan hati itu, telah tersimpul kuat melalui kalimat syahadat, yang menyebutkan kesaksian bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah.

Di dalam hadits riwayat imam Ahmad, imam Bukhari, dan imam Muslim, dari Abu Musa al Asy’ari dan Anas bin Malik, pada saat Nabi Saw ditanya oleh seorang laki laki Badui tentang kapan kiamat, lalu Nabi Saw balik bertanya, apa yang telah engkau persiapkan jika kiamat terjadi? Laki laki itu menjawab, shalatku masih sedikit, puasaku juga masih sedikit, tetapi aku sangat mencintai Allah Swt dan rasul-Nya Muhammad Saw, maka Nabi Saw bersabda, “Seseorang akan bersama siapa yang dicintainya, dan engkau akan bersama siapa yang engkau cintai.”

Di dalam matan hadits yang lain dijelaskan, bahwa Nabi Saw juga bersabda, “Siapa yang mencintai aku, maka sungguh adalah dia akan bersamaku di dalam surga.” Rasa cinta umat Islam kepada Allah Swt dengan cara mengikuti Nabi Saw, hal ini disebutkan di dalam Alquran surat Ali Imran, ayat 31.

Rasa cinta kepada Nabi Saw diwujudkan diantaranya, dengan melakukan berbagai amal shalih yang diajarkan oleh Nabi Saw. Misalnya dengan bersedekah dan menyantuni fakir, miskin dan anak yatim, yang kemudian hal itu menjadi tradisi dan budaya yang melekat dalam kegiatan maulid Nabi Saw. Memberi makan kepada fakir, miskin, anak yatim dan orang orang yang butuh makan, juga merupakan ajaran Nabi Saw yang melekat pada saat maulid Nabi Saw. Dengan demikian, maulid juga menjadi wahana membangun budaya kepekaan sosial dan rasa kepedulian. Berbagai hidangan, sesuai dengan tradisi dan budaya disajikan.

Kemudian, dalam konteks ke Aceh-an misalnya, kita dapat menemukan sajian Bu Kulah, Hidangan Meulapeh, dengan berbagai menu hidangan khas maulid, Bu Minyeuk (nasi minyak), Kuah Beulangong (gulai kambing khas Aceh), Gule Sie Itek Puteh dan Mirah (gulai putih dan merah daging bebek), Bu Leukat Kuneng Piramid (pulut kuning berbentuk piramid yang dibungkus daun pisang), Boh Itek Masen Reboh (telur bebek asin rebus), Boh Manok Reboh Warna Warni (telur ayam rebos dibungkus kertas transparan berbagai rupa warna).

Di samping itu, ada juga masyarakat yang mengantar sedekah makanannya dalam bentuk peurakan (kotak kayu motif miniatur rumah Aceh yang dihias dengan indah). Peringatan Maulid Nabi Saw juga diisi oleh kegiatan tabligh atau tausiyah oleh para ustadz atau teungku. Isi materi tausiahnya seputaran sifat sifat Nabi Saw, ketaulaadan Nabi Saw, akhlaq Nabi Saw, perjuangan dan kaifiyat (tata cara) kehidupan yang ditempuh dan diajarkan oleh Nabi Saw dan lain lainnya.

Tradisi maulid Nabi Saw secara ethnography ikut menggugah kesadaran, agar umat Islam lebih banyak bershalawat kepada Nabi Saw dikala para hamba Allah masih hidup di permukaan bumi ini. Hal ini selaras dengan sabda Nabi Saw riwayat imam Al Titmidzi dari Abdullah bin Mas’ud, dimana Nabi Saw bersabda, “Orang yang paling berhak bersamaku pada hari kiamat adalah mereka yang paling banyak bershalawat kepadaku.” Dengan maulid Nabi Saw, umat Islam telah disajikan tentang sejarah Nabi Saw atau biasa disebut dengan al Shirah al Nabawiyyah.

Selain itu, melalui maulid Nabi Saw, kita juga dapat banyak belajar, bahwa betapa kayanya ajaran Islam yang telah melahirkan budaya budaya konstruktif yang menyemarakkan perkembangan dakwah Islam, melalui gerbang kultural dan semangat nilai nilai lokal yang santun, ramah, dan menyejukkan.

Teori budaya menekankan bahwa, “pembelajaran manusia sebagian besar merupakan hasil dari proses sosial.” Emile Durkheim di dalam teori Fakta Sosialnya, menjelaskan, bahwa fakta-fakta sosial itu, terdiri dari hal hal di luar individu. Seperti status, peran, institusi, hukum, norma, kepercayaan, dan nilai-nilai yang ada di luar individu, yang dapat membatasi individu.

Edward B Taylor, memandang kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Wallahu’alam. WASPADA.id

Penulis adalah Dosen Hadits Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa

  • Bagikan