Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik ‘Salah Alamat’ Ke ‘Malapraktik Hukum’

  • Bagikan
Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'

Sidang etik dan BAP Polisi belum tuntas, majelis hakim di PN dan MA buru-buru memutuskan perkara perdatanya. Diduga terjadi “malapraktik” hukum.

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
dr Ulfah. Waspada/Ist

PARAS cantik dokter kandungan kelahiran Desember 1975 ini hampir tak tersisa lagi. Wajahnya tegang, mood-nya bergumul dengan rasa gundah gulana. Ulfah Wijaya Kusumah terlalu lama hidup di bawah tekanan psikis setelah kasus malapraktik “salah alamat” menjerat dirinya sejak 2016.

Ditemui Waspada.id dan KBA.ONE di kawasan Jalan Taman Makam Pahlawan Banda Aceh, Jumat 18 November 2022, Ulfah bercerita runut soal petaka yang akhirnya mengubur karier hidupnya sebagai PNS. “Saya mengundurkan diri karena tidak tahan, terlalu lelah dan banyak tekanan,” kenang Ulfah.

Mengenakan hijab hitam dan baju gamis cokelat susu, malam itu di tempat praktiknya, Ulfah ditemani Mahyuddin, suami yang selama ini melindungi dari berbagai hujatan usai Ulfah diframing malapraktik.

Sambil memegang dokumen hukum dan medis, Ulfah bercerita awal mula kasus ini terjadi Senin 28 Maret 2016 pukul 07:05 WIB. Pagi itu seorang pasien bernama Suryani, 39 tahun, datang berobat ke RS Ibu dan Anak (RSIA) di kawasan Blang Padang, Banda Aceh.

Suryani ingin melahirkan anak ketiga. Anak pertama dan kedua, cerita Ulfah, persalinan Suryani berjalan normal. Waktu itu, Ulfah berharap Suryani juga bisa menjalani persalinan normal, tidak lewat operasi sesar.

Maka, dalam SOP persalinan normal, pihak RSIA menunggu sampai pembukaan serviks mencapai buka lengkap (biasanya 1-10) dengan pengawasan seorang bidan. “Jadi, waktu itu Suryani bukan ditelantarkan seperti yang dihebohkan di luar, tapi memang menunggu, ada bidan yang mengawasi dan sudah diberikan antibiotik,” kata Ulfah.

“Singkat cerita,” Ulfah melanjutkan, pada Senin pukul 19.00 WIB, ia menerima konsul dari bidan yang menyatakan pembukaan serviks Suryani masih pada angka 7. Dalam benak Ulfah, pasien ini sudah terjadi persalinan tidak lancar atau persalinan tidak maju. “Kebetulan malam itu saya kelelahan dan kurang sehat karena sebelumnya melakukan tindakan di RS lain. Makanya saya menganjurkan ibu Suryani untuk dirujuk ke RSUZA,” jelas Ulfah.

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
Kondisi pasien Suryani ketika dirujuk ke RSUZA. Waspada/Ist

Senin pukul 19.45 WIB, Suryani dirujuk ke RSUZA. Pada saat dirujuk, jelas Ulfah (sambil menunjukkan surat rujukan), tertulis kondisi pasien stabil. Tensi darahnya, tensi nadinya juga stabil. Singkat cerita, Suryani dioperasi di RSUZA malam itu juga sekitar pukul 23.00 Wib.

Kemudian, keesokannya Selasa 29 Maret 2016, atau 5 jam setelah operasi, sekitar pukul 04.00 Wib, Suryani dinyatakan meninggal di Ruang Bangsal Seruni. Operasi itu ditangani oleh dokter Cut Meurah Yeni.

Saat itu, cerita Ulfah, dokter Cut Meurah Yeni berbicara kepada Muslem Puteh, suami almarhum, warga Dusun Keude Mancang, Langkahan, Aceh Utara, (di persidangan terungkap pasangan ini hanya memiliki selembar surat nikah sirih, bukan buku nikah dari KUA). “Dia katakan bahwa saya telat merujuk pasien dan lain sebagainya. Pada saat itu istrinya belum meninggal, tapi bayi yang dikeluarkan sudah meninggal. Ibunya meninggal setelah 5 jam operasi,” kata Ulfah.

Ulfah menduga Suryani meninggal gara-gara pendarahan hebat. “Karena ketika kami rujuk ke RSUZA pasien tidak dalam kondisi pendarahan. Ini terbukti dari hasil lab-nya semua, rekam medisnya juga ada,” jelas Ulfah.

Hingga berita ini ditayang, dokter Cut Meurah Yeni belum merespons konfirmasi yang dikirim Waspada.id dan KBA.ONE via pesan whatsapp nomor 081168XXXX, Jumat 25 November 2022. Tapi ia sempat mengangkat telepon selulernya. “Bentar, Pak, saya lagi menangani pasien,” jawab Cut Meurah dari balik telepon genggamnya.

Pidana Tak Terbukti, Perdata Diperintah Ganti Rugi

Kematian Suryani dan bayinya, rupanya, berbuntut panjang. Gelagat Ulfah akan dijadikan “martir” sudah tampak sejak awal. Ia mendapat tekanan dari geng dokter senior di RSUZA.

Indikasi itu semakin jelas ketika keluarga pasien malah menuntut Ulfah secara pidana dan perdata, bukan sebaliknya menuntut dokter Cut Meurah Yeni yang “membelah” perut Suryani dan mengeluarkan bayinya. “Mereka takut kebobrokan RSUZA terbongkar,” kata seorang dokter di luar rumah sakit pelat merah itu.

Meski tekanan datang dari berbagai penjuru, Ulfah bergeming. Ia merasa tangan dan tindakannya tak pernah ikut “melukai” tubuh Suryani hingga meninggal. Ulfah sempat melawan ketika ia dikenakan sanksi tersangka oleh polisi resort kota.

Dia mengajukan permohonan agar dilakukan pemeriksaan kode etik kedokteran di MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebelum ditetapkan sebagai tersangka. “Permintaan saya itu dikabulkan dan saya disidang MKDKI. Akhirnya pada 2016-2019 sidang selesai dan diputuskan saya tidak bersalah,” kenang Ulfah.

Sidang MKDKI ini memang berjalan lama, sekitar tiga tahun. Kendalanya, kata Ulfah, mereka mendatangkan profesor-profesor dari Jakarta. Pelaksanaan sidang digelar di Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. Ada sekitar 4 kali berlangsung persidangannya. Mereka juga memanggil sumber dari RSUZA, bidan, bahkan Satpam. “Alhamdulillah, diputuskan saya tidak melakukan pelanggaran etika maupun disiplin,” tegas Ulfa.

Pada 2020, Ulfah membawa putusan MKDKI itu ke Polisi Resort Kota Banda Aceh. Kemudian, pada 23 Juni 2020, Polresta Banda Aceh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang ditandatangani Kepala Polresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto.

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
Surat Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dr Ulfah dari Polresta Banda Aceh. Waspada/Ist

Anehnya, jauh sebelum SP3 dari polisi dan MKDKI keluar, sidang perdata terus bergulir. Permintaan Ulfah kepada hakim yang memimpin sidang perdata untuk menunggu keputusan pidana, tak direspons.

Ulfah keberatan karena dalam sidang perdata ia dituntut mengganti kerugian atas kehilangan nyawa pasien Suryani dan bayinya. “Tuduhan itu salah alamat, tidak bisa dibuktikan setelah keluar SP3 dari polisi dan kode etik yang memutuskan saya tidak bersalah,” tegas Ulfah.

Pada 2018, keputusan perdata sudah inkrah sampai tahap Mahkamah Agung, dua tahun sebelum terbit SP3 dari Polisi dan keputusan tidak melanggar kode etik dari MKDKI. “Dengan sangat terpaksa, akhirnya putusan perdata ini kami taati selaku warga negara yang baik,” ungkap Ulfah lirih.

Kini, akibat dugaan “malapraktik hukum” itu, Ulfah dan Drg Erni (waktu itu Direktur RSIA) serta RSIA diputuskan oleh majelis hakim MA harus tanggung renteng membayar denda sebesar Rp500 juta kepada keluarga korban. Ulfah 70 persen (Rp350 juta), Drg Erni 15 persen (Rp75 juta), dan RSIA sebesar 15 persen (75 juta).

Sampai di sini, Ulfah masih terus berjuang hingga akhirnya terbit review dari Inspektorat Aceh agar dana Rp500 juta itu ditanggung oleh anggaran daerah lewat APBA. Setelah diploting di APBA Perubahan 2022, dana senilai Rp500 juta yang bersumber dari PAD itu, rekening 51.02.02.01.0071, masuk ke DIPA RSIA Banda Aceh.

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
Dana ganti rugi malapraktik 2016 masuk ke DPPA RSIA Banda Aceh. Waspada/Ist

Tapi anehnya, Direktur RSIA Banda Aceh, Munawar, kukuh tak mau membayar ganti rugi keseluruhan sebesar Rp500 juta menggunakan uang yang sudah dianggarkan Pemerintah Aceh itu. Munawar hanya “mengambil” Rp75 juta (kewajiban bayar denda 15 persen RSIA) dari Rp500 juta untuk diserahkan kepada ahli waris almarhum Suryani lewat pengadilan.

Kata Munawar, ia hanya tunduk dan patuh kepada putusan inkrah Mahkamah Agung meski ada review dari Inspektorat Aceh yang disetujui lewat DPRA. “Itu uang negara, bukan uang pribadi. Kalau uang pribadi saya, saya bisa membayarkan itu. Karena itu by name, makanya kita bayarkan RSIA saja, sesuai putusan MA. Kita ikuti saja putusan dari MA,” tegas Munawar, kepada wartawan KBA.ONE dan Waspada.id, di ruang rapat RSIA Banda Aceh, Rabu (23/11).

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
Review Inspektorat Aceh. Waspada/Ist

Menurut Munawar, perintah yang harus dibayarkan itu by name, yaitu tergugat I, tergugat II dan tergugat III. “Pada saat aanmaning kemarin, kita sudah ke sana. Kemudian, Pak Hakim meminta (uang) yang dari RSIA karena by name, kita bayarkan berdasarkan RSIA,” jelas Munawar.

Sikap Munawar itu dinilai melecehkan rasa keadilan teman sejawatnya yang tak bersalah secara hukum pidana dan kode etik kedokteran. Bahkan, ia juga dianggap meremehkan lembaga inspektorat dan DPR Aceh.

Padahal, dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 46 ditegaskan; Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
“Maka keputusan inkrah atas klien kami dalam perkara perdata merupakan tanggung jawab RSIA,” kata Nourman, pengacara Ulfah, Kamis (24/11). Nourman juga sudah membuat legal standing kasus Ulfah dan mengirimkannya ke Munawar.

Dewan Pengawas RSIA Banda Aceh mengambil langkah serupa, menyurati Munawar selaku koleganya. “Kami minta kepada Direktur RSIA untuk segera melakukan pembayaran terhadap tergugat I, II, dan III paling lambat sebelum 30 November 2022, mempertimbangkan penyelesaian pertanggung jawaban keuangan di akhir Desember 2022,” kata Eka Darma Putra, Ketua Dewas RSIA dalam suratnya tertanggal 22 November 2022.

Lalu, apa dasarnya Munawar berani “menyandera” uang ganti rugi malapraktik Rp500 juta dan mengeluarkan uang tunai sebesar Rp75 juta untuk membayar tanggung renteng RSIA yang dananya diambil dari Rp500 juta itu?

Kisah Dr Ulfah, Dari Dugaan Malapraktik 'Salah Alamat' Ke 'Malapraktik Hukum'
Direktur RSIA Banda Aceh Munawar (kanan) menyerahkan dana Rp75 juta sebagai tanggung renteng ganti kerugian tergugat III (RSIA) sebesar 15 persen kepada ahli waris keluarga korban, diwakili pengacaranya, di PN Banda Aceh, Kamis, 10 November 2022. Dana itu diambil parsial dari dana Rp500 juta yang masuk ke rekening RSIA Banda Aceh hasil review Inspektorat Aceh dan disahkan di DPRA. Waspada/Ist

“RSIA tidak dibenarkan melakukan pembayaran secara parsial dari anggaran yang telah disahkan DPPA RSIA sejumlah Rp500 juta tersebut,” kata salah seorang pengawas RS Provinsi Aceh.

Hingga berita ini ditayang, Ulfah masih berjuang melawan ketidakadilan hukum di negeri ini. Ia berharap ada diskresi dari petinggi di Aceh terhadap review Tim Inspektorat Aceh untuk membayarkan ganti kerugian malapraktik senilai Rp500 juta yang dananya sudah ada di RSIA.

Ulfah juga sudah melaporkan kasus ini ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh sebagai “rumah besar” tempat berkumpulnya para dokter, sekaligus menyiapkan laporan ke Ombudsman Aceh.

Tapi, jika jalan yang ditempuh tidak menemukan titik terang, penyidik dari kepolisian dan kejaksaan bisa saja masuk mengambil alih kasus ini, menyoal pengambilan dana cash secara parsial, atau novum lain, agar “diuji ulang” di persidangan berikutnya.

WASPADA.id/Rizaldi Anwar

FOTO UTAMA: RSIA Banda Aceh. Tempat dokter Ulfah mengabdi dan berakhir sebagai “martir” tenaga kesehatan. Waspada/Ist

  • Bagikan