Addendum Lanyalla

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

…upaya mendorong kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen karena menganggap amandemen telah mengganti sistem bernegara, bahkan telah meninggalkan Pancasila dan justru menjabarkan nilai-nilai individualisme dan liberalisme barat

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti akan menggelar pertemuan pada Jum’at 10 Nopember 2023 pukul 14.00 di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta. Acaranya cukup penting, yakni “Penyampaian Aspirasi Dewan Presidium Konstitusi Kembali ke UUD 1945 Sebelum Amandemen”.

Secara keseluruhan amandemen UUD 1945 mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, mencakup berbagai aspek, mulai dari proses perubahan konstitusi hingga substansi perubahan yang diusulkan. Amandemen dianggap dilakukan dengan tempo terlalu cepat dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai. Perubahan konstitusi seharusnya melibatkan diskusi yang lebih luas dan mendalam, serta konsensus yang lebih kuat di antara berbagai pemangku kepentingan.

Beberapa menyoroti amandemen UUD 1945 tidak cukup radikal dan masih mempertahankan beberapa pasal penguatan kekuasaan presiden yang dalam kekerapan praktik berpotensi mengglorifikasi penguasa merasa benar bertindak seperti raja di sebuah negara berdemokrasi.

Peningkatan peran legislatif untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang lebih seimbang sangat diperlukan. Pusat kekuasaan yang terlalu kuat akibat konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar di tangan eksekutif. Ketidakefektifan mekanisme akuntabilitas tentu saja begitu serius dalam sebuah negara demokrasi yang dalam hasil amandemen tidak beroleh perhatian yang cukup.

Amandemen UUD 1945 mengadopsi terlalu banyak konsep negara lain tanpa pertimbangan konteks dan karakteristik Indonesia, seperti konsep presidensialisme dan komisi-komisi independen. Sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dihadapkan dengan praktik konstitusional pemilihan langsung eksekutif (walikota, bupati, gubernur dan presiden) hasil amandemen yang sudah berkali-kali dilaksanakan.

Dalam praktik konstitusional pemilihan langsung eksekutif hasil amandemen, rasanya terdapat pertentangan substantif dengan dasar negara. Pemilihan langsung eksekutif adalah bentuk demokrasi langsung, yang di dalamnya rakyat secara langsung memilih pemimpin mereka. Ini berbeda dengan konsep “perwakilan” dalam sila keempat, yang lebih merujuk pada demokrasi perwakilan yang di dalamnya rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk membuat keputusan atas nama mereka.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa kedua model demokrasi ini dapat diterapkan dalam sistem politik yang sama. Misalnya, dalam sistem politik Indonesia, pemilihan langsung digunakan untuk memilih eksekutif, sedangkan demokrasi perwakilan digunakan dalam lembaga legislatif. Tetapi argumen dan apologi itu terasa jauh sekali di luar nalar.

Dalam narasi “Presidium Konstitusi Kembali ke UUD 1945 Sebelum Amandemen” (Presidium) disebutkan bahwa demi terpenuhinya kebutuhan hukum dasar tertulis untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka berdasarkan pasal 37 UUD 1945, pada UUD 1945 diberikan adendum yang sifatnya penyempurnaan karena belum diatur dan penyempurnaan dari yang sudah diatur serta bersifat penjelasan.

Terlepas dari posisi konstitusionalitasnya, Presidium ini adalah sebuah gerakan yang mengklaim upaya untuk mendorong kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen karena menganggap amandemen telah mengganti sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, bahkan telah meninggalkan Pancasila sebagai identitas Konstitusi dan justru menjabarkan nilai-nilai individualisme dan liberalisme barat.

Presidium mengusulkan 12 adendum. Pertama, berisi penegasan bahwa konstitusi Negara Republik Indonesia ialah UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh berisi pasal-pasal, Penjelasan, dan Adendum. Kedua, penegasan “Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, terdiri lima Sila yang tidak bisa diperas-peras dan kelima sila tersebut tersusun secara hierarkis sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Ketiga, Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan wilayah, batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Ketetapan MPR RI, berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB ke-III tahun 1982.

Keempat, status anggota-anggota DPR (kader-kader politik dari Partai Politik) yang memiliki kedudukan kuat sebagai pengemban mandat rakyat, kebebasan menyuarakan kepentingan rakyat, tidak bisa ditekan dan dipengaruhi oleh siapapun, termasuk dari Partai yang telah mengusungnya. Golongan-golongan ialah Badan-badan seperti koperasi Serikat Pekerja dan Badan-badan Kolektif lainnya, juga Badan-badan yang secara hukum tidak menggunakan hak dipilih dan memilih dalam Pemilu. Utusan-utusan dari daerah-daerah ialah utusan dari Propinsi dan daerah-daerah yang bersifat istimewa, sebagaimana yang dimaksud dalam Bab Pemerintahan Daerah dalam UUD 1945.

Kelima, MPR memiliki kewenangan menetapkan dan melakukan perubahan UUD, bukan berarti memiliki kewenangan melakukan perubahan yang sifatnya mengubah nilai-nilai, cita-cita dan tujuan negara Indonesia merdeka.
Keenam, Presiden dan Wakil Presiden ialah orang Indonesia asli. Ketujuh, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode. Kedelapan, pemberhentian Presiden oleh MPR. Kesembilan, Sumpah Presiden (Wakil Presiden) dan Janji Presiden (Wakil Presiden). Kesepuluh, urgensi regulasi penentuan nama, jumlah daerah Propinsi dan daerah-daerah dalam Propinsi, tugas dan wewenang daerah, hubungan antara daerah dan pusat, hubungan antar daerah, soal keuangan dan pengawasan, serta soal pemilihan Kepala Daerah.

Kesebelas, Anggota BPK dipilih oleh Komisi Pemilihan Independen ad hoc yang dibentuk Presiden yang pelaksanaanya diatur dengan Ketetapan MPR. Keduabelas, mekanisme kerja Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya di lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan lingkungan peradilan konstitusi.

Ketigabelas hak-hak dan kewajiban warga negara dan hal-hal yang berkaitan dengan agama, pertahanan negara, pendidikan dan kesejahteraan sosial sebagai (pada hakikatnya) menunjukkan komitmen negara terhadap hak-hak azasi manusia dengan kewajibannya, dengan mengedepankan hak azasi manusia yang bersifat kolektif.
Keempatbelas, pertahanan negara dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, dalam wujud pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter.

Kelimabelas, penyelenggaraan sistem pengajaran nasional harus mengedepankan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa. Keenambelas, bumi dan air dan ruang udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketujuhbelas, Lambang Negara (Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya).

Jika direview, amandemen I, II, III dan IV adalah bentuk desakralisasi sedangkan LaNyalla melalui Presidium ini bergerak sebaliknya. Sayangnya, baik gerakan desakralisasi maupun resakralisasi UUD 1945 hanya berusaha meraih sebuah kondisi idealitas dengan tanpa kejelasan tentang bagaimana sebuah idealitas yang diinginkan dapat hidup dan bertahan.

Misalnya, UUD 1945 yang asli memberi garis tentang perekonomian, tetapi amandemen tidak berusaha memberi konstruk sebagaimana juga tak begitu jelas di dalam tawaran yang disodorkan oleh Presidium. Bukankah makro ekonomni konstitusi yang gagal dikonstruk telah menjadi jalan tol untuk permainan pemosisian Indonesia sebagai komoditi belaka dengan mempersembahkannya untuk asa neoliberalisasi dan itu diklaim konstitusional?

Makroekonomi konstitusi terkait hubungan antara konstitusi sebagai hukum tertinggi negara dengan kinerja ekonomi makro, seperti pertumbuhan, inflasi, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.
Makroekonomi konstitusi sesuai UUD 1945 adalah makroekonomi yang berdasarkan pada nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan ekonomi yang terdapat dalam UUD 1945, khususnya pasal 33 yang mengatur tentang sistem ekonomi kerakyatan berdasarkan asas kekeluargaan, penguasaan negara atas sumber daya alam, dan kesejahteraan rakyat.

Makroekonomi konstitusi sesuai UUD 1945 bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Fenomena yang pernah atau sedang terjadi dapat dikategorikan sebagai penyimpangan ideologis, struktural dan substansial, yang keseluruhannya membuktikan bahwa Indonesia di bawah rezim yang silih berganti tidak memiliki tekad untuk membangun makroekonomi konstitusi Indonesia.

Selain masih banyak substansi usul yang kelihatannya sangat terbuka untuk dikritik, Presidium perlu mengkaji ulang semua kegagalan fatal itu, termasuk tentang faktor yang menyandera Indonesia hingga gagal dalam ketidak-konsistenan dan kejelasan dalam formulasi perubahan konstitusi.

Gerakan AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ini tetap saja sangat bermanfaat. Apalagi ia bersedia mengundang mantan Ketua DPD Irman Gusman yang pernah menggagas amandemen V yang di balik itu ahli hukum tata negara juga ada. Tentu saja AA LaNyalla Mahmud Mattaliti juga perlu berjiwa besar mengundang para tokoh pelaku Amandemen I, II, III dan IV untuk mendengarkan argumen mereka. Tak elok juga “mengadili mereka in absentia” padahal mereka masih ada di sekitar kita.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan