‘Back To Khittah’ PR Berat Hendry

  • Bagikan
'Back To Khittah' PR Berat Hendry

Oleh Sofyan Harahap

Lima tahun lalu Atal S. Depari menang dramatis dalam kongres di Solo. Kota (Surakarta) tempat kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Februari tahun 1946 itu menjadi tonggak sejarah pers nasional kita. Tanggal kramat itu pula kemudian menjadi agenda resmi Hari Pers Nasional (HPN) setiap tahunnya.

‘Flash back’ kongres Solo Atal dengan kopiah hitam beruntung unggul tiga suara atas saingan beratnya sesama tokoh pers asal Sumut Hendry Ch. Bangun. Kongres XXIV itu mengusung tema “Menegakkan Pers Kebangsaan Yang Independen, Profesional dan Berintegritas”. Tema yang sangat bagus untuk sebuah kongres namun sangat berat dalam implementasinya di lapangan.

Pasca terpilih, Atal pun mengusung lima program kerja yakni: Program pendidikan berbasis teknologi digital; Perbaikan manajemen dan administrasi berbasis teknologi digital; Gerakan nasional wartawan masuk kampus; Meningkatkan peran pengurus pusat untuk proaktif dalam penyelesaian masalah di daerah; dan PWI sebagai inisiator perumusan regulasi media baru.

Sayang, tidak jelas hasilnya dan tidak pula dipermasalahkan dalam kongres PWI XXV di Bandung pekan lalu, apakah tema kongres dan program Atal tersebut sudah berjalan atau sebaliknya hanya angan-angan belaka alias sekadar jargon yang mengambang. Buktinya, pertanggungjawaban Atal aman-aman saja. Padahal, banyak kasus terjadi selama kepemimpinan mantan wartawan olahraga itu. Kita pun melihat peserta kongres Bandung lebih fokus membicarakan kasak-kusuk dalam menggalang suara para kandidat ketimbang membahas program kerja yang memberi manfaat buat kemajuan insan pers dan medianya menuju profesionalitas dan sejatinya bagi pemilik kebebasan pers, yakni masyarakat (publik).

”Terbalik kut”

Kalau dalam Kongres XXIV di Solo Atal (suarakarya.id/sportanews.com) unggul tipis dan berhasil meraup 38 suara. Sedangkan, Hendry Ch. Bangun (Harian Kompas) hanya meraih 35 suara. Sebaliknya, saat keduanya bertarung kembali (revans) di Bandung, Hendry yang juga mantan Wakil Ketua Dewan Pers itu unggul dengan 47 suara atas petahana (Atal S. Depari) yang meraih 41 suara dalam putaran kedua pemungutan suara secara tertutup dan berlangsung ”demokratis”.

Mengapa kita menggunakan ”tanda kutip dua” itu sebagai pertanda kongresnya tampak berlangsung demokratis ketika pemungutan suara saat di dalam ruangan, namun bisa tidak demokratis, bahkan curang kalau para calon ketua menggunakan politik uang untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya di luar ruang kongres. Sebab, pada putaran pertama, Atal sempat unggul tipis dengan 40 suara, sementara Hendry 39 suara.

Adapun satu calon lagi Ketua PWI Riau Zulmansyah Sekedang harus puas dengan sembilan suara saja, namun ia dan pendukungnya memegang posisi menentukan di putaran kedua, dan kemudian merapat ke kubu Hendry. Inilah kunci kemenangan Hendry, dan faktor utama kekalahan Atal secara tragis.

Semula kubu Atal begitu optimis bisa mendapatkan dukungan minimal 50 suara lewat lobi-lobinya ke daerah-daerah selaku petahana, namun apa mau dikata kalau sebagian pemilik suara yang sudah dikawal lewat berbagai ”pendekatan” akhirnya memilih calon ketua yang menang, bisa karena kualitasnya plus visi dan misinya memang layak memimpin PWI Pusat lima tahun ke depan, atau karena faktor-X kekuatan logistik ikut menentukan. Posisi Atal pun menjadi ”terbalik kut” alias kalah tragis sekaligus membuktikan bahwa merebut jabatan ‘’ketua’’ lebih mudah ketimbang mempertahankannya.

Mungkin kalau sejak awal sudah digaungkan kampanye ”no politik uang – no pragmatis’’ jalannya kongres bisa lebih positif buat kemajuan organisasi wartawan terbesar di tanah air itu. Peserta tak perlu terpecah belah menjadi kubu-kubuan. Jangan seperti pepatah ‘’gajah di pelupuk mata tidak kelihatan kuman di seberang lautan kelihatan’’ karena di mata publik PWI membawa misi mulia dalam menjalankan profesinya, yakni berani melakukan kritik sosial kontrol lewat pemberitaan dan rubrik opininya.

Jangan sampai internal PWI dicap hanya tahu kesalahan orang dan gencar melakukan kritik tajam seputar kebobrokan di pemerintahan saja, menyorot permainan ‘money politic’ dalam suksesi-suksesi, namun menutup mata jika hal yang serupa terjadi dalam kongres maupun konferensi cabangnya. Paradigma politik uang (‘money politic’) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau dalam bentuk lainnya. Dari pemahaman tersebut, maka politik uang adalah salah satu bentuk suap yang seharusnya dihindari dalam setiap kongres atau konfercab agar citra PWI bersinar sesuai tugas dan fungsinya.

Sayang sekali hal itu tidak terlihat di Bandung sehingga jalannya kongres pun sarat dengan isu-isu negatif sejak kedatangan peserta hingga hari-H kongres. Padahal, panitia kongres bisa mencegah munculnya isu politik uang dan ‘’jual-beli suara’’ – jika memang mau mencegah– dengan membuat aturan dan ancaman langsung akan membatalkan pencalonan para kandidat ketua oleh tim khusus, atau semua calon ketua membuat pernyataan untuk taat aturan berkompetisi secara sehat dengan meneken pakta integritas untuk meredam isu suara ”ratusan juta” per cabang pemilik suara.

Sejarah PWI

Dari situs PWI kita mencatat bahwa Persatuan Wartawan Indonesia adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia. PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta. Tanggal tersebut juga disebut sebagai Hari Pers Nasional. Dengan lahirnya PWI, wartawan Indonesia menjadi tangguh untuk tampil sebagai ujung tombak berkontribusi dalam perjuangan Indonesia dalam menentang kembalinya kolonialisme dan negara lain yang ingin meruntuhkan RI.

Sejalan dengan tekad para senior pendiri PWI, Hendry pun mencanangkan slogan ‘back to khittah’ dengan menyebut, PWI harus kembali ke jati dirinya sebagaimana rumusan para tokoh pers dalam Kongres PWI di Surakarta (Solo) 9 Februari 1946 bahwa PWI adalah bagian dari negara sehingga berkewajiban menjaga kedaulatan rakyat. Dengan demikian PWI harus hadir, bersikap, memberi solusi dalam setiap masalah bangsa. Karena PWI bukan sekadar organisasi wartawan tetapi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita juga mencatat PWI lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946. PWI menjadi wadah para wartawan untuk memperjuangkan bangsa lewat tulisan. Sedangkan SPS menaungi aspirasi pemilik perusahaan pers.

Peran ‘Watch dog’

Salah satu poin ‘’khittah’’ PWI yang mengalami masa suram, kian tergerus saat ini adalah peran media (pers) sebagai ‘watch dog’ atau ‘’anjing penggonggong’’ bagi elite kekuasaan. Kondisinya sudah memprihatinkan, dan bertolak belakang dengan komitmen para jurnalis Indonesia di masa lalu saat penggalangan kesadaran berbangsa, di mana para wartawan dari generasi 1945 yang umumnya sudah tiada, mereka begitu komitmen dengan idealismenya, terutama menjalankan sosial kontrol.

Fakta peran ‘watch dog’ semakin ”bias” seiring dengan kemajuan zaman dan perubahan pola hidup masyarakat (termasuk insan pers). Penegakan hukum semakin memprihatinkan, kasus korupsi semakin parah di pasca reformasi ketimbang masa orde baru. Sementara pers nasional dan daerah kian lupa dengan peran dan fungsinya berpihak pada publik menuntut kebenaran dan keadilan.

Wajar saja, walau jumlah anggota PWI semakin banyak (berkembang) namun komitmen menjalankan fungsi pers sebagaimana perintah ‘’khittah’’ PWI di awal pembentukannya pada 77 tahun lalu terlihat semakin mengalami degradasi (penurunan).

Pasti tidak hanya di kalangan PWI. Kita secara umum prihatin melihat fakta empiris hanya sebagian kecil wartawan dan media tertentu saja yang tetap komit menjalankan profesinya dengan semangat idealisme tinggi dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Masih taat hukum, taat etika, dan mengerti makna penting empat pilar (Pancasila – UUD45 – NKRI – Bhinneka Tunggal Ika) yang wajib dijaga dalam profesinya. Sebagian besar komunitas pers tak lagi militan dalam mencari bahan dan data untuk menghasilkan karya jurnalistik bernilai tinggi sekelas investigasi. Mereka lebih memilih masuk ‘’zona aman’’ dalam pertemanan online karena banyak faktor dan tuntutan kehidupan yang semakin kompleks sehingga tak lagi mampu bersikap profesional; sudah lupa dengan fungsi ‘watch dog’ mengawasi para aktor elite politik dan kekuasaan yang semakin mena-mena terhadap rakyat.

Justru itu, sikap Ketua PWI Pusat terpilih Hendry Ch. Bangun bertekad mengembalikan PWI ke ‘’khittah’’ sangat pas untuk kita dukung bersama-sama ‘stakeholders’ guna mengembalikan jati diri profesi mulia wartawan (pers) sebagai pilar keempat demokrasi agar tidak semakin memudar dan dikhawatirkan tinggal kenangan jika tidak ada upaya mengembalikan marwah profesi pers ke ‘’khittah’’nya oleh organisasinya sendiri.

Saat ini sudah semakin banyak kritik dialamatkan ke sejumlah media dan insan pers oleh para tokoh politik maupun kampus, apalagi menjelang suksesi kepemimpinan di level daerah maupun pusat, seperti pilpres. Kiranya sorotan pedas itu patut kita renungkan dan menjadi bahan introspeksi. Juga terkait kondisi media dan wartawan ikut terbelah menjadi dua kelompok, ada yang mendukung (pro) juga ada yang menolak (kontra). Pertanyaannya: Apakah salah? Kan ada kebijakan redaksi masing-masing media?

Sesungguhnya boleh saja pers berpihak, namun harus dijelaskan kepada publik mengapa media mendukung figur tertentu. Parameternya harus jelas berdasarkan ‘track record’ bukan mendukung secara membabi buta agar tidak muncul kritik pedas ala Rocky Gerung bahwa media semakin partisan dan mem’bebek’ sebagai corong atau humasnya pemerintah dan penguasa.

Tak pelak lagi pers yang sibuk berpolitik praktis terlibat aksi dukung-mendukung partai/figur akan mengabaikan ‘’fire wall’’ berarti mengabaikan undang-undang pers dan kode etik sehingga tak lagi menjalankan fungsinya secara profesional. Semakin jauh dari ‘’khittah’’nya kehilangan marwah harga diri karena kerap membela yang bayar ketimbang membela kebenaran dan keadilan.

Padahal, esensi pers profesional wajib menjaga independensi (ruang redaksinya) dengan menjaga jarak, bukan malah semakin mendekat dengan kekuasaan, yang seharusnya tidak berpihak dan tidak menjadi alat malah nyata-nyata ‘’berselingkuh’’ dengan elite politik dan kekuasaan tanpa merasa bersalah alias ‘’cuek bebek’’ saja. Ironi, mereka yang masih menjaga idealisme malah dibully.

Penutup

Selamat buat Hendry Ch. Bangun dan programnya. Pasti tidak mudah menjawab ”PR” berat buat Ketua PWI Pusat terpilih dan jajaran kepengurusannya periode 2023-2028 untuk mengembalikan militansi ribuan anggotanya di seluruh Indonesia kembali ke ‘’khittah’’ sebagaimana rumusan dan tekad para tokoh pers dari berbagai daerah saat berkumpul mendirikan PWI di Solo 1946.

Mencermati program kerja Ketua PWI Pusat terpilih untuk lima tahun ke depan, sepertinya realistis dan normatif. Tapi, bukan berarti akan mudah dicapai karena selalu ada saja campur tangan oknum orang-orang dalam dan di luar PWI yang ingin melibatkan organisasi wartawan terbesar ini masuk dalam perangkap ‘’cawe-cawe’’ (politik-ekonomi dll).
Jadi, intisari ‘back to khittah’ perlu dijabarkan dan disosialisasikan, terlebih poin bersikap kritis pada kekuasaan; membela rakyat kecil tertindas; meningkatkan pemahaman ideologi kebangsaan yang kian menipis.

Kiranya perlu tim khusus yang fokus mengawal program ‘’khittah’’ ini lewat pendidikan dan pelatihan berkesinambungan (di luar agenda UKW) untuk bisa menjawab ‘’PR’’ berat organisasi sebesar PWI di bawah komando Hendry secara benar. Tak boleh lagi ada wartawan dan media yang ‘syor sendiri’ bersikap dan bertindak ‘’ugal-ugalan’’ di tengah masyarakat (publik). Dan, itu harus dicontohkan dari kepala (pengurus).***

Penulis adalah Wapenjab Harian Waspada

  • Bagikan