Demokrasi Oligarki

  • Bagikan

…upaya untuk mengakhiri oligarki yang terbungkus dalam demokrasi oligarki akan semakin sulit dilakukan, oligarki dikhawatirkan akan semakin kokoh, sementara kekuatan untuk menghadapinya akan semakin lemah

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang kekuasaannya berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dapat dilakukan dengan demokrasi langsung oleh seluruh warga, atau demokrasi tak langsung melalui perwakilan.

Melalui demokrasi mestinya menjadikan rakyat selalu dilibatkan dalam pembuatan hukum kenegaraan termasuk dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.

Sementara oligarki adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang berjumlah sedikit yang umumnya terbagi dalam elit sosial, pemilik tanah, bangsawan kaya, perwira militer berpangkat tinggi, akademisi populer, orang-orang filsuf, agamawan, penguasa bela diri, dan lain-lain.

Karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkan. Karena definisi oligarki sederhana dan samar, banyak argumen dibuat untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang sebagai oligarki. Pada waktu bersamaan, mudah juga bagi yang tertuduh untuk menghindari tuduhan tersebut.

Oligarki cenderung bersifat klan, bergaul hanya dengan orang-orang yang memiliki nilai yang sama. Selain ditujukan untuk menjaga stabilitas, hal ini juga dilakukan untuk mencegah orang-orang dengan ide dan perspektif baru memasuki kelas penguasa.

Karena salah satu tujuan utama oligarki adalah stabilitas sosial, maka keputusan oligarki cenderung konservatif untuk melestarikan status quo. Untuk aspek ekonomi, oligarki biasanya meningkatkan ketimpangan pendapatan, karena terbiasa dengan gaya hidup mereka yang mewah dan istimewa, para pemain oligarki dan orang dekat mereka sering mengantongi sebagian besar kekayaan negara secara tidak proporsional.

Dengan kekuasaan yang sangat besar bahkan hampir tanpa batas, para pelaku oligarki ini dapat membuat kesepakatan di antara mereka sendiri untuk membatasi pasar bebas, menetapkan harga, menolak manfaat tertentu untuk kelas bawah, atau membatasi jumlah barang yang tersedia untuk masyarakat umum.

Tentu saja pelanggaran terhadap kaidah ekonomi ini akan merugikan rakyat dan dapat berdampak buruk pada masyarakat secara luas. Untuk kehidupan sosial, oligarki dapat berdampak pada pergolakan sosial.

Ketika orang menyadari bahwa mereka tidak memiliki harapan untuk bergabung dengan kelas penguasa, mereka akan melakukan perlawanan dan bukan tidak mungkin akan memunculkan pertentangan dan tindakan kekerasan baik dari para pemain oligarki yang merasa adanya ancaman bagi mereka maupun dari pihak yang melakukan perlawanan.

Secara umum, para pemimpin oligarki bekerja untuk membangun kekuatan mereka sendiri dengan sedikit atau tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Sepanjang sejarah, oligarki sering kali bersifat tirani dan mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk mempertahankan stabilitas sosial.

Semua bentuk pemerintahan, baik demokrasi, teokrasi, maupun monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Dalam sistem demokrasi, pemain oligarki menggunakan kekayaan dan kekuatan mereka untuk mempengaruhi pejabat terpilih.

Iklim demokrasi yang mestinya subur dalam memberikan kebebasan rakyat dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, melalui oligarki, akan terancam. Para pelaku oligarki mampu membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan suatu bangsa.

Para oligarkis melahirkan demokrasi oligarki yaitu suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil.

Untuk Indonesia, diyakini yang menjadi salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi adalah oligarki demokrasi. Oligarki demokrasi dengan cepat kembali terkonsolidasi setelah peristiwa reformasi 1998 yang antara lain karena saat itu tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing sesama mereka.

Sehingga kekuatan dan kekuasaan malah jatuh ke tangan para oligarkis. Meskipun Indonesia tetap memberlakukan dan merasa menjalankan demokrasi, tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah oligarki demokrasi dan sampai sekarang masih (atau mungkin) semakin menyandera demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan, kewenangan, kenikmatan, kenyamanan, dan kepentingan mereka.

Secara perlahan, dengan kekuatan yang dimiliki yang semakin besar dan cepat, oligarki membuat demokrasi di Indonesia semakin mundur dan lemah yang ditandai dengan makin menguatnya kelompok elite, makin melemahnya keterwakilan, makin terbatasnya pilihan politik atau keberagaman, serta makin melemahnya check dan balance.

Faktor tidak memadainya infrastruktur hukum serta lemahnya pengorganisasian dan mobilisasi antar aktor civil society, menjadikan para oligarkis tampil lebih dominan dan mendistorsi.

Demokrasi oligarki semakin tampak jelas, dimana atas nama demokrasi, oligarkis memanfaatkan situasi ketimpangan sumber daya material dalam melangsungkan manuver politik sekaligus sebagai modal utama untuk memenangkan konstestasi politik.

Mahalnya biaya politik serta makin intensnya politik transaksional atau dagang sapi, membuat semakin kecilnya peluang para calon pemimpin potensial yang tak memiliki dana untuk memenangi pemilu baik daerah maupun nasional, baik di legislatif maupun di eksekutif.

Sebaliknya, semakin mudah bagi para oligarkis untuk mempertahankan kekuasaannya dan menyingkirkan rival politiknya, sekaligus menutup akses bagi pendatang baru yang tidak memiliki basis materi yang memadai.

Berlangsungnya demograsi oligarki di negeri ini telah menyandera nilai-nilai demokrasi dan membuat kelompok elite semakin menguasai hampir semua aspek. Untuk aspek penegakan hukum, hasilnya adalah banyaknya ketidakadilan dan tidak diterapkannya aturan dasar hukum sebagaimana mestinya.

Untuk urusan ekonomi, demi menguntungkan para oligarkis, kebijakan terkesan dibuat sedemikian rupa sehingga mereka bisa mendapatkan perlakuan istimewa baik dari sisi kecepatan, kepastian, kemudahan, keamanan, maupun demi terjaminnya kelancaran untuk segenap urusan terkait dengan bisnis mereka.

Pendek kata, dengan demokrasi oligarki, para oligarkis mengendalikan institusi politik dan ekonomi, dua institusi yang pada dasarnya saling berkaitan, sehingga dengan sistem hubungan kekuasaan yang ada, memungkinkan para oligarkis melakukan akumulasi kekayaan dan memiliki otoritas beserta seperangkat mekanismenya untuk mempertahankan kondisi ini tetap berada di bawah kendali mereka.

Mereka mengasai berbagai sumber daya kekuasaan yang mencakup hak politik formal, jabatan resmi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, memiliki kekuasaan pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material (material power).

Akibatnya, dampak kekuasaan oligarki semakin terlihat memunculkan ketidaksetaraan yang ekstrim antar warga, baik ketidaksetaraan ekonomi maupun ketidaksetaraan politik.

Jadi demokrasi oligarki ini mesti dihentikan agar persoalan kemunduran demokrasi dan ketidaksetaraan dapat diatasi. Salah satu cara mengatasinya adalah adalah adanya peningkatan kualitas pendidikan politik, pemberdayaan ekonomi rakyat, penguatan civil society, perbaikan regulasi terkait pelembagaan partai dan kualitas lembaga demokrasi serta pemeliharaan nilai-nilai dasar demokrasi.

Dengan pendidikan politik yang intensif dan berkualitas serta meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi dan sumber informasi yang valid, masyarakat semakin sadar akan hak dan tanggungjawabnya serta semakin terbuka akal pikirannya tentang apa yang sedang terjadi.

Melalui pemberdayaan ekonomi rakyat, maka rakyat secara ekonomi akan lebih mandiri dan tidak mudah lagi diumpan dan diiming-imingi materi untuk menggerakkan dan mengarahkan mereka sesuai kemauan para oligarkis tersebut.

Dengan perbaikan regulasi kepartaian, diharapkan akan menutup atau setidaknya mengurangi akses para oligarkis dalam mengendalikan partai dan akan menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi khususnya di dalam partai-partai yang ada.

Apabila semua hal tersebut terwujud, maka secara otomatis civil society akan terbentuk dan control terhadap pemerintahan akan semakin kuat. Jika ada kelompok elite atau para oligarkis yang memanfaatkan situasi dan keadaan untuk kepentingannya sendiri, maka masyarakat bisa bersikap, mengkritik, dan melakukan tindakan yang tepat untuk menghentikannya.

Tentu saja upaya untuk mengawal berjalannya nilai-nilai demokrasi akan terwujud, jika para pembela demokrasi dan “orang-orang lurus” bersatu dalam satu kekuatan, sehingga masyarakat sipil memiliki posisi tawar yang lebih besar jika berhadapan dengan para pelaku oligarki tersebut.

Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, banyak intelektual, akademisi dan kalangan kampus, aktivis, centeng, jawara, tukang kipas, dan tukang bisik yang malah justru bersaing untuk menjadi kaki tangan para oligarkis dan memperebutkan ransum makanan yang ditabur-taburkan dan dihambur-hamburkan.

Ibarat binatang piaraan, mereka berebut jatah yang diumbar oleh “tuannya”. Mereka akan menjadi anak manis yang akan menjadi pasukan pembela dan siap berhadapan dengan siapa saja yang mengganggu “tuannya”. Mereka muncul dalam wujud organisasi tanpa bentuk, “buzzer pemburu rupiah”, “kelompok pendemo bayaran”, “pengamat upahan”, dan lain sebagainya.

Akibatnya upaya untuk mengakhiri oligarki yang terbungkus dalam demokrasi oligarki akan semakin sulit dilakukan, oligarki dikhawatirkan akan semakin kokoh, sementara kekuatan untuk menghadapinya akan semakin lemah.

Karena itu, sesungguhnya tidak benar jika dikatakan bahwa demokrasi kita “kebablasan”, yang benar adalah demokrasi kita telah “terpenjara” oleh oligarki, sehingga tatanan demokrasi didominasi oleh koalisi kepentingan para oligarkis yang predatoris dan penunggang demokrasi serta melahirkan demokrasi oligarki sekaligus meminggirkan kekuatan masyarakat sipil.

Apa yang terjadi pada masa orde baru, praktis berlanjut hingga kini meskipun orde baru telah berubah menjadi orde reformasi, tetapi aparatur negara masih tetap didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris dengan sosok yang memiliki karakter yang sama dengan para oligarkis masa orde baru.

Para pemimpin partai, para pejabat yang menduduki posisi pengambil kebijakan publik dan posisi strategis di pemerintahan, dan penguasa media mainstream, diisi oleh elit-elit berwajah baru yang bereinkarnasi dari elit-elit lama di masa orde baru yang akan terus melakukan sirkulasi dan berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki.

Jika demikian halnya, kita tinggal menunggu saja apa yang akan terjadi, siapa tahu ada invisible hands yang akan menyelamatkan bangsa ini dari kepincangan, kesewenangan, ketidakadilan, ketidaksetaraan, keterpurukan, perpecahan, pertikaian, malapetaka dan bencana.

Penulis adalah Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA.

  • Bagikan