Di Sekolah Unggul Pun Lahir Tukang Pukul

  • Bagikan

Oleh Tabrani Yunis

Hari itu, 6 Oktober 2023, ada dua tulisan menarik yang dimuat di Kompas.id. Tulisan pertama berjudul “ Kurikulum Merdeka Merundung” dimuat pada pukul 08.59 WIB dan tulisan kedua berjudul “ Kita Perlu Bicara Tentang Perundungan”. Tulisan pertama menguraikan rentetan aksi perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan di tanah air. Mulai dari kasus perundungan siswa SMP Negeri Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah, yang motifnya pelaku tersinggung atas perbuatan korban yang mengaku-ngaku sebagai anggota gengnya. Lalu pada hari yang sama, seorang siswi SMP berinisial HSR yang berusia 16 tahun, menganiaya temannya karena diduga korban telah merebut pacarnya. Sementara 2 hari sebelumnya siswa Madrasah Aliyah (MA) yang membacok gurunya, Ali Fatkur Rohman , guru MA di Plingawetan, Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah pada tanggal 25 September 2023 dengan motif sakit hati karena tidak diizinkan ikut ujian tengah semester. Dari tulisan pertama, yang ditulis oleh Saifur Rohman tersebut menyimpulkan bahwa kasus-kasus perundungan yang dilakukan siswa sekolah Menengah telah menjadi preseden buruk. Beliau juga mengaitkannyq dengan kurikulum Merdeka yang telah menghilangkan nilai-nilai filosofis yang terdalam dari pendidikan Indonesia.

Sementara tulisan pada tulisan kedua, yang dipublikasikan pada Pukul 11.00 WIB itu, penulisnya Roy Martin Simamora terkait dengan merebaknya aksi perundungan di lembaga pendidikan mengatakan bahwa kita harus mengikuti bahwa tanggung jawab untuk memberantasnya ada di tangan kita semua. Kita harus, sebagai individu dan sebagai masyarakat memupuk budaya empati, pengertian dan rasa hormat. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat berharap untuk mengalahkan momok ganas perundungan yang ada di tengah-tengah kita. Kita berada di persimpangan jalan dihadapkan pada tantangan berat, untuk mengatasi momok perundungan.

Membaca rentetan kasus perundungan seperti yang dipaparkan dalam dua tulisan tersebut, ingatan penulis tertuju kepada kasus-kasus perundungan yang terjadi di lembaga -lembaga pendidikan di Aceh, sebagai daerah yang dikenal taat beragama, bahkan menjadikan Aceh sebagai negeri syariat. Ya, kasus perundungan di lembaga pendidikan juga sering terjadi.

Kasus perundungan yang masih sehat dalam ingatan kita adalah kasus pengeroyokan kakak kelas III terhadap Febrian Hafis, siswa kelas II SMA Modal Bangsa di Musalla asrama sekolah tersebut yang terjadi usai kegiatan pengajian rutin malam Jumat pada tanggal 20 Juli 2023. Kasus itu menjadi berita yang menggemparkan dunia pendidikan dan di tengah masyarakat Aceh. Betapa tidak, berita tindak kekerasan yang dilakukan para siswa atau kelompok siswa tersebut diberitakan si banyak media, baik online maupun cetak. Bukan hanya di sajikan oleh sejumlah media online di Aceh, juga diberitakan oleh media di luar Aceh, termasuk detik.com, Kompas.com dan lain-lain. Selain heboh di media online, juga ribut diperbincangkan para netizen yang peduli pada persoalan pendidikan dan kekerasan di lembaga pendidikan seperti yang terjadi di SMA Negeri Modal Bangsa yang merupakan sekolah unggul dan di unggulkan di Aceh, karena ini adalah sekolah kebanggaan masyarakat dan Pemerintah Aceh.

Wajar saja kalau kasus itu menjadi bahan perbincangan atau diskusi para netizen di media sosial. Tidak sedikit orang yang menyesalkan terjadinya kasus itu di sekolah yang berbasis boarding dan dikategorikan sebagai sekolah unggul terbaik di negeri syariah ini.

Pokoknya kasus perundungan di SMA N Modal Bangsa ini menjadi kasus yang sangat memprihatinkan dan sangat kita sesali. Karena kasus ini kembali mencoreng dan memperburuk wajah pendididkan Aceh yang saat ini masih belum membuat kita berbesar hati, karena lama terpuruk dan buruknya pengelolaan pendidikan di daerah ini. Apalagi bila kita telusuri fenomena atau sebut saja realitas yang ada, yang perlu kita ketahui bahwa banyak orang tua bangga memasukan anak ke sekolah boarding, tapi tidak pernah mau tahu apa yang dilakukan anak di sekolah boarding tersebut.

Tak dapat dimungkiri pula bahwa kasus tindak kekerasan atau perundungan di sekolah boarding dan sekolah unggul terjadi bukan hanya sekali, tetapi terus berulang. Kejadian di MOSA kemungkinan setiap tahun terjadi. Namun, bila kualitas kasusnya tidak berat, dapat diselesaikan dì tingkat sekolah dan tidak menjadi berita di media.

Nah, bila diinterogasi alasannya sering dengan alasan balas dendam, karena ia dulu mengalami hal yang sama, cemburu, sakit hati dan tidak jarang karena ada budaya gengster atau masalah territory seniority. Sayangnya ketika kasus perundungan terjadi, walau dibawa ke ranah hukum, sering sekali untuk penyelesaian kasus perundungan ditempuh secara kekeluargaan. Cara ini dianggap sebagai sebagai pilihan. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh yang menyayangkan orang tua korban melaporkan kasus itu ke Polresta Banda Aceh, sebagaimana diberitakan oleh AJNN, 5 September 2023 “ Asbaruddin menyayangkan atas laporan orang tua korban ke Polresta Banda Aceh. Pasalnya, pihak sekolah dan Disdik Aceh sudah berupaya melakukan mediasi guna menyelesaikan permasalahan itu secara internal”.

Nah, apakah penyelesaian masalah perundungan dengan cara berdamai atau diselesaikan secara internal, lalu bisa memutuskan rantai kekerasan atau perundungan di lembaga pendidikan? Tentu saja tidak, sebab cara ini hanya bisa mengatasi kasus per kasus. Sementara kasus baru yang pelaku siswa lain, akan juga melakukan hal serupa, karena kalau pun dilakukan nanti akan diajak berdamai atau diatasi secara kekeluargaan.

Dalam banyak kasus perundungan, penyelesaian dengan cara ini akan membuat kasus perundungan akan terus berulang, karena tidak ada sangsi atau hukuman atas perbuatan mereka. Cara ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Aksi perundungan atau kekerasan yang bakal terjadi lagi adalah aksi kekerasan yang bisa saja dilakukan oleh pelaku yang sama, bisa pula oleh pelaku lain.

Nah, ketika kasus perundungan atau kasus tindak kekerasan sering terjadi di sekolah unggul, maka pertanyaan umum adalah apa artinya sekolah unggul, kalau outputnya melahirkan “Tukang Pukul”? Sungguh ini sebuah kegagalan lembaga pendidikan memanusiakan manusia, bukan?

Penulis adalah pemerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh

  • Bagikan