Framing Kerangkeng Langkat

  • Bagikan

Ia tahu pemilik media di balik framing menggenggam kebenaran. Dalam kasus rumah kerangkeng Langkat yang sama sekali tak terkait dengan tuduhan pidana terhadap Terbit Rencana Peranginangin itu, eloklah berpendirian atas dasar cover both sides. Jangan karena ia sudah kena OTT semua amalnya buruk

Menyusul peristiwa penangkapannya, publik dihadapkan pada satu fakta lain yang tak bertalian, yakni sejumlah orang ditemukan dalam kerangkeng di rumah Terbit Rencana Peranginangin.

Berita “Kerangkeng Langkat” (KL) itu seakan memperkuat pengesahan sosial politik atas tindakan KPK terhadap Bupati Langkat yang mulai menjabat 20 Februari 2019 itu. Padahal tidak ada kaitan satu sama lain.

Migran Care, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak, Organisasi Buruh, BNN dan Kepolisian, silakan memastikan apakah di sana ada perdagangan manusia, pelanggaran HAM, perbudakan modern, eksploitasi terhadap anak, dan kemungkinan tindakan melawan hukum lainnya.

Meski kutukan universal telah lama, perbudakan tetap berlanjut. Puluhan juta korban, setengahnya orang terjerat utang. Perempuan dan anak perempuan 71 persen, dan 1 dari 4 korban adalah anak-anak. (https://www.antislavery.org/slavery-today/modern-slavery/).

Beri juga rakyat pemahaman bahwa “kerangkeng manusia” adalah salah satu bentuk
pemidanaan. Dengan kapasitas 170 ribu yang dipaksakan untuk 360 ribu narapidana, justru Kemenkumham pun turut andil dalam pelanggaran HAM. (https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/9/28/1916/overcrowding-rutan-lapas-sumber-pelanggaran-ham.html).

Tetapi jangan dorong kenyataan sosial yang tak bertalian dari ranah lain mengotomatisasi realitas sosial KL. Satu lagi, sadarkan rakyat bahwa korban narkoba begitu massif. Salah satu dari dampak kepanikan nyatanya ialah penyelenggaraan lembaga rehabilitasi.

Negara tak sanggup menihilkan supply, akhirnya memilih merehabilitasi pecandu narkoba berbiaya tinggi. Karena itu sangat penting berfikir jujur menilai semua lembaga terkait kenarkobaan. Tanpa kecuali.

Indonesia kaya model alternatif, termasuk pendekatan medis yang terus meningkatkan apresiasi atas local wisdom ketabiban atau dengan bahasa ambigu dan merendahkan lainnya, dukun. Jangan abaikan faktor itu pada KL.

Mungkin ada yang melihat goes too far karena tak berizin. Lalu akan merekomendasikan apa Kepolisian dan BNN di KL yang diketahuinya sudah berusia lama itu?

Di Indonesia banyak keluarga putus asa. Kehabisan uang. Integritas moral rontok. Bahkan ada yang mengusahakan proses hukum sambil berharap jika berada di kurungan masalah selesai. Ini bukan tak berbiaya, dan duka dalam kurungan adalah pilihan sulit ketakberdayaan rakyat tak terlindungi.

Indonesia tak memiliki modalitas kuat untuk berbicara pemberantasan narkoba, terutama jika dibandingkan dengan kebijakan Duterte (Filipina). Tanpa melahirkan lembaga baru, ia memimpin penyelamatan bangsanya. Boleh saja ada orang Indonesia menuduhnya melanggar HAM, tetapi proses kelenyapan HAM jutaan orang secara senyap oleh narkoba ala Indonesia itu amat serius.

Framing Kenyataan Sosial
Saya akan memberi sejumlah contoh yang akrab dengan pengalaman di Sumut, dimulai dari sebuah kasus pribadi.

Tak lama setelah perkuliahan dimulai, saya melihat seorang mahasiswa mengantuk. Saat ia tertidur, saya memfoto, memasukkan hasilnya ke laptop dan menayangkan pada layar presentasi dengan judul “Kuliah Gerakan Sosial Kali Ini Tidak Bermutu, Mahasiswa Tertidur”.

Jika bahan itu dikirim seseorang ke sebuah media online, maka sahlah kesimpulan berdasarkan sebuah framing media. Reduksi memaksa representasi kenyataan dengan satu fakta (seorang tidur pulas), padahal lebih dari 40 orang lainnya berbeda.

Pernah dalam sebuah pergiliran berpidato saya bilang “Pak Abdillah ini korban politik.” Jika Damkar yang menjadi masalah, banyak pejabat lebih tinggi harus lebih dahulu ditangkap KPK, dan itu mungkin massif se tanah air.

Saya tertarik kasus Rahudman Harahap hanya karena tak bertemu data orang terdiskriminasi seperti dia, yang kasus usangnya (15 tahun) diburu untuk memidanakan.

Kasus Eldin remeh temeh, tetapi besar di mata KPK. Kasus pejabat nir-pengalaman Gatot Pujonugroho adalah suap pengesahan APBD. Sangkin kecilnya dipatut-patuti dengan menggabung objek pemeriksaan beberapa tahun anggaran agar nilai kerugian negara menjadi kesimpulan publik.

Jika kasus seperti itu dikumpul se tanah air (uang ketok), maka semua pejabat potensil masuk ke ruang kekuasaan hukum KPK. Sangat tak mungkin fakta seperti itu lebih mudah diendus di Sumut ketimbang di tempat lain di Indonesia yang luas koruptif ini.

Syahrial dituduh mempersembahkan uang yang cukup besar dibanding nilai APBD Kota yang dipimpinnya kepada seseorang. Selain itu Anda harus ingat sebuah nama lain, pimpinan KPK, yang dikaitkan tanpa tindaklanjut optimum.

“Pagar makan tanaman” yang belakangan dipecat dari jabatannya (penyidik KPK) mentersangkakan dan akrobat hukum pun mempertontonkan kegagapan menentukan status Syahril “diperas atau menyuap.” Keduanya berkonsekuensi hukum berbeda.

Saya tak berpretensi membantah tuduhan lain. Tetapi jual-beli jabatan bukanlah jenis yang karena langka mengharuskan KPK “berburu” ke Tanjungbalai. Fenomena inheren dalam sistem demokrasi transaksi korupsional Indonesia itu ada di mana-mana.

Sayangnya, semua fenomena yang saya utarakan itu telah menjadi bahan politik untuk konstruksi Sumut sebagai raja korupsi nasional. Mengapa begitu?

Framing Merendahkan Kemanusiaan
Banyak catatan sensitif soal media dan pengendaliannya, memastikan framing yang melanggar code of conduct dengan negasi cover both sides, digiring ke satu muara, penyengsaraan kehidupan.

Brookings Institution (2003) mengulas The Media and the War on Terrorism dalam sebuah perbincangan mengungkap kesulitan pelaporan, terutama ketegangan antara pemerintah dan pers, lalu mendesak perjuangan menyeimbangkan kebebasan berbicara dan hak untuk tahu dengan kebutuhan untuk melindungi klaim informasi sensitif demi kepentingan nasional.

Menyadari semangat perang melawan terorisme yang menabrak semangat era informasi yang semakin menakutkan, perbincangan menyesalkan dampak buruk atas umat Islam dunia yang tak terperikan. Percakapan ini mengeritik pensubordinasian banyak negara dalam perang khas Amerika melawan teror.

Catatan global lainnya ialah penghinaan atas kemanusiaan dan kedaulatan Irak. Awalnya mayoritas orang Amerika percaya senjata kimia pemusnah massal, lalu digiring mempercayai bahwa selain Osama, Saddam Hussein juga terkait, entah bagaimana, dengan serangan 11 September.

Laporan Komisi 9/11 dan banyak laporan lain menyimpulkan intelijen Amerika cacat, tetapi negara yang mengklaim paling bebas di dunia itu terus mengasupi warganya informasi salah tentang intervensi militer. Media tak menjalankan peran pengawas skeptik membongkar kebohongan.

Meski akhirnya banyak tak bergantung isu bohong senjata kimia pemusnah massal, atau hubungan dengan al-Qaeda, tetapi orang tetap mendasarkan dukungan perang pada informasi salah.

Philip Seib (2004) yakin perang dengan Irak berdampak terbesar pada jurnalisme sejak Perang Vietnam. Sebelum perang berikutnya, bagaimana media meliput konflik, dan urusan internasional lainnya, harus diawasi ketat.

Dadge (2006) mengeksplorasi media yang tak agresif menyelidiki setiap klaim administrasi dan badan intelijen. Laporan kritis tentang pemerintah harus ditingkatkan. Mengeliminasi arus tekanan pemerintahan, tekanan dari konsolidasi perusahaan, kepemilikan media, patriotisme dan sensor diri, dan faktor lainnya.

Lama Nelson Mandela mendekam di tiga penjara berbeda di bawah dikte imperatif tuan-tuan apartheidist yang merasa berhak menjadikan seluruh Afrika sebagai budak terhitung sejak Perjanjian Tordesillas (1494).

Pasca penganugerahan hadiah nobel, media Barat pun rajin mengutip ucapan Mandela. Anehnya, negara dan penduduk yang terus berjuang melepaskan diri dari berbagai bentuk perbudakan di benua lain pun malah merasa sangat senang mengadopsi kutipan itu menjadi semacam motto hidup, antara lain “bukan kekerasan jalan penyelesaian konflik”.

Media berhasil mempersiapkan dukungan moral dunia untuk melanggengkan hasrat Barat menjajah Afrika pasca Mandela.

Beratus tahun Batak distigmatisasi kanibal. Anda tahu siapa di belakang penghinaan ini. Semua suku di dunia pernah bertradisi yang mirip sebelum ajaran tauhid atau sebelum peradaban hukum tumbuh, mencermikan kerangka social order pada zamannya, dan bukan cara pemenuhan nutrisi.

Penutup
Effendi Gazali merasa gagal mengajarkan ilmu jurnalistik melalui perkuliahan lalu mundur dari jabatan guru besar. Ia tahu cover both sides difahami semua jurnalis dari organisasi mana pun (PWI, AJI, dll) meski keniscayaan kejahatan capital terus menyengsarakan. Ia tahu pemilik media di balik framing menggenggam kebenaran.

Dalam kasus rumah kerangkeng Langkat yang sama sekali tak terkait dengan tuduhan pidana terhadap Terbit Rencana Peranginangin itu, eloklah berpendirian atas dasar cover both sides. Jangan karena ia sudah kena OTT semua amalnya buruk.

Jangan blow up KL mengulangi blow up ketersangkaan-ketersangkaan orang lain, seperti terjadi pada Syamsul Arifin dengan festivalisasi kehadiran tokoh publik Dortje Gamalama karena pernah menerima pemberian setara harga one way ticket Jakarta-Medan.

Jangan pula seperti di sopo parjujian (gubuk tempat berjudi) “saat menang semua mempertuankan, saat kalah kucing kurap pun berani mengecam bahkan meludahi”. Selamatkan nasib manusia dari korban framing.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan