Imajinasi Umat

  • Bagikan
Imajinasi Umat

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Umat dalam keberagaman dan ijtihadnya terus dinamis dalam memahami diri dan menjawab tantangan-tantangannya. Imajinasi umat tak selalu anggun dan ini terkait dengan tantangan yang demikian besar

Globalisasi semakin mempercepat integrasi. Konsep negara-bangsa sebagai unit politik dan identitas kolektif dipertanyakan. Apakah negara-bangsa masih relevan? Bagaimana umat, sebagai komunitas transnasional yang berdasarkan pada kesamaan keyakinan dan nilai-nilai, dapat melampaui batas-batas negara-bangsa dan membentuk imajinasi, solidaritas, dan praksis yang lebih inklusif dan berkeadilan?

Umat Islam menghadapi tantangan besar. Mereka memiliki jumlah, pendidikan, komunikasi, dan kreativitas yang tinggi untuk berkontribusi. Namun terfragmentasi, termarginalisasi, dan riuh oleh konflik sejarah kolonialisme dan geopolitik.
Konsep umat sebagai ungkapan persaudaraan global, kekuatan sosial, dan keyakinan agama, sering bertabrakan dengan identitas yang dibangun berdasarkan faktor-faktor lain. Globalisasi dan kapitalisme mengubah hubungan antara negara dan masyarakat; dan di berbagai belahan dunia, nasionalisme berbasis budaya atau agama telah muncul sebagai ancaman bagi umat Islam.

Sangat diperlukan eksplorasi yang tiba pada jawaban pertanyaan bagaimana umat, sebagai konsep dan praktik, menantang dan mengubah pemahaman tentang politik, hukum, dan etika. Juga sangat penting memelihara hasrat ingin tahu tentang bagaimana umat dapat menjadi sumber kritik, solidaritas, dan perlawanan terhadap dominasi Barat dan neoliberalisme.

Tentang tak disepelekannya mempertimbangkan bagaimana umat dapat berkontribusi pada pembentukan identitas, komunitas, dan gerakan sosial inklusif dan pluralis yang mengundang berbagai disiplin ilmu dan perspektif teoretis yang berurusan dengan sejarah masa lalu, masa kini dan masa depan.

Salah satu tantangan utama adalah mengakui dan menangani kompleksitas hubungan antara umat Islam sebagai komunitas global dan negara-bangsa sebagai bentuk organisasi politik dominan. Sejumlah karya tampak berusaha menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana umat Islam memahami, menegosiasikan, atau menantang konsep-konsep seperti kedaulatan, kewarganegaraan, hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.

Umat Islam adalah komunitas global. Terdiri dari orang-orang beriman dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Negara-bangsa adalah bentuk organisasi politik berbaasis wilayah, identitas nasional, dan kedaulatan dengan segenap interaksi dengan negara-bangsa, baik masa lalu maupun sekarang.
Islam adalah agama dengan sistem politik dan norma yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada tauhid, keadilan, dan persaudaraan yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk ekonomi, hukum, dan pendidikan.

Namun bagaimana praktik institusi umat diimplementasikan? Bagaimana dinamika kekuasaan dan kepentingan internal dan bagaimana peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial serta bagaimana hubungan antara ekonomi dan politik ditata di dalamnya?

Selain memiliki identitas dan tujuan yang sama, beribadah kepada Allah dan menegakkan keadilan di muka bumi, teorisasi spesifik umat sebagai komunitas politik antara lain juga mencirikan egalitarianisme yang mengharuskan hak dan kewajiban yang sama dalam demokrasi yang setiap anggota memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, dan umat adalah komunitas yang toleran dengan setiap anggota memiliki hak untuk menjalankan agamanya masing-masing.

Konstruk umat memiliki imajinasi yang kuat tentang masyarakat Islam yang ideal, harus mampu bekerja keras untuk mewujudkan idealitas, dan sekaligus harus toleran terhadap perbedaan pendapat dan pandangan. Imajinasi umat begitu penting. Menjadi motivasi untuk kerja keras mewujudkan masyarakat ideal. Imajinasi ini juga dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi. Salah satu institusi umat adalah zakat, salah satu instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang belum dioptimalisasi betapapun ia sangat penting bagi eksistensi umat.

Dinamika kekuasaan dan kepentingan internal umat dapat menjadi tantangan dalam mewujudkan masyarakat ideal. Umat harus memiliki kesadaran dan komitmen menjaga persatuan dan kesatuan. Peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi umat Islam tidak terbatas dalam penyediaan layanan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan, tetapi juga dalam memperjelas keberadaannya sebagai bagian integral dari komunitas-komunitas tak terbantahkan dalam perjalanan masyarakat demokratis yang maju.

Secara umum, teori politik dan norma-norma Islam dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan masyarakat global yang ideal. Namun, penerapan teori politik dan norma-norma Islam dalam kehidupan bermasyarakat membutuhkan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat dari umat Islam.

Karya-karya dalam kajian ini mengundang keterlibatan kritis termasuk The Umma and the Dawla karya Tamim al-Barghouti (2008) yang menganalisis hubungan historis dan kontemporer antara konsep umat (komunitas Muslim) dan dawla (negara). Umat bukanlah entitas homogen, melainkan beragam dan dinamis, dibentuk oleh berbagai faktor geografi, budaya, ideologi, dan politik. Perspektif kritis yang ditawarkan tentang peran dawla dalam krisis politik dan sosial yang dihadapi saat ini, dan menyerukan pemikiran ulang tentang hubungan antara umat dan dawla untuk mencapai keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia begitu menantang.

The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (Wael Hallaq, 2012) mengeritik tajam konsep negara modern yang dianggap tidak sesuai. Negara modern adalah produk sejarah Barat yang dipengaruhi oleh rasionalitas sekuler, kapitalisme, nasionalisme, dan kekuasaan birokratis. Tidak hanya gagal memenuhi aspirasi moral dan politik umat, tetapi juga menimbulkan berbagai kontradiksi yang sulit dipecahkan. Negara modern muncul di Eropa pada abad ke-16 dan ke-17 yang kemudian menyebar melalui kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi.

Ovamir Anjum menyumbangkan kajian tentang pemikiran dan pengaruh Ibn Taymiyyah, seorang ulama abad ke-13. Memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai bidang ilmu, dan menulis lebih dari 500 buku dan risalah yang menginspirasi banyak gerakan dan kelompok Islam di masa lalu dan sekarang, baik yang moderat maupun radikal, Ibn Taymiyyah menghadapi tantangan zaman dan mengembangkan visi Islam yang inklusif, rasional, dan dinamis.
Buku Anjum berkontribusi penting bagi studi Islam dan hubungannya dengan dunia modern terutama karena keterangannya tentang Ibn Taymiyyah dalam menghadapi tantangan zaman dan mengembangkan visi Islam yang inklusif, rasional, dan dinamis (Politics, Law, and Community in Islamic Thought The Taymiyyan Moment, 2012).

Reza Pankhurst (Inevitable Caliphate?: A History of the Struggle for Global Islamic Union, 1924 to present, 2013) mengeritik berbagai upaya dan gerakan yang bertujuan mengembalikan kekhalifahan Islam sebagai institusi politik pasca 1924. Ia menelusuri faktor-faktor historis, ideologis, dan geopolitik yang telah membentuk wacana dan praktik revivalisme Islam era modern.
Ia juga mengkaji tantangan dan kontradiksi gerakan-gerakan tersebut, seperti ketegangan antara universalisme dan partikularisme, peran demokrasi dan hak asasi manusia, serta dampak intervensi dan hegemoni Barat. Menurutnya kekhalifahan bukanlah hasil yang tak terelakkan dari sejarah Islam, melainkan sebuah proyek kontingen dan diperebutkan yang mencerminkan aspirasi dan perjuangan umat Islam di dunia yang terus berubah.

Mona Hassan (Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History, 2016) menganalisis berbagai komunitas Muslim di berbagai tempat dan waktu yang terus berusaha memahami, memperebutkan, dan menggunakan ide kekhalifahan sebagai simbol otoritas, identitas, dan legitimasi tanpa enggan menerangkan bagaimana kekhalifahan telah digunakan dan disalahgunakan oleh kekuatan kolonial dan pascakolonial, serta oleh kelompok-kelompok radikal seperti ISIS, untuk memajukan agenda dan kepentingan mereka sendiri.

Andrew F. March (The Caliphate of Man: Popular Sovereignty in Modern Islamic Thought, 2019) memasuki perdebatan modern seputar konsep kekhalifahan dan hubungannya dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan sekularisme. Para pemikir kontemporer menafsirkannya untuk menjawab tantangan dunia modern dan berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah lembaga yang tetap atau abadi, tetapi lembaga yang dinamis dan terus berkembang yang mencerminkan visi pemikiran politik Islam yang beragam dan majemuk.

Bukunya yang lain, Islam and Liberal Citizenship: The Search for an Overlapping Consensus (March, 2011) menganalisis kesesuaian pemikiran politik Islam dan prinsip-prinsip demokrasi liberal dengan telaahan pada berbagai interpretasi doktrin dan sumber-sumber Islam, dan bagaimana semua itu berhubungan dengan nilai-nilai inti kewarganegaraan liberal, seperti hak asasi manusia, kebebasan sipil, pluralisme, dan toleransi.

Joseph J. Kaminski (Islam, Liberalism, and Ontology A Critical Re-evaluation, 2021) menantang narasi dominan tentang hubungan antara Islam dan liberalisme dengan mengajukan argumen bahwa Islam dan liberalisme bukanlah entitas yang monolitik atau statis, melainkan fenomena yang kompleks dan dinamis yang telah berevolusi dan berinteraksi dari waktu ke waktu.

Kaminski memberi analisis seimbang mengenai isu-isu yang dihadapi umat Islam dan kaum liberal di dunia modern, serta menawarkan dialog yang konstruktif dan kritis di antara keduanya. Umat dalam keberagaman dan ijtihadnya terus dinamis dalam memahami diri dan menjawab tantangan-tantangannya. Imajinasi umat tak selalu anggun dan ini terkait dengan tantangan yang demikian besar.

Tulisan seperti ini di Indonesia dapat dianggap berbahaya oleh penguasa, hanya karena pemahaman demokrasi yang sangat terbelakang dan diboboti asa pemaksaan kekuasaan yang menentang asas dan nilai demokrasi. Para akademisi juga tampaknya sudah sangat terbiasa dalam ketakutan yang tak mencerminkan watak akademis jika harus berbicara tentang topik semacam ini.

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan