Inflasi Mengancam Daya Beli Oleh Dwina Wardhani Nasution, SST

  • Bagikan

Kenaikan UMP bagi para pekerja setidaknya dapat menyesuaikan dengan inflasi di masing-masing wilayah. Jika UMP tak mampu menopang kenaikan harga, daya beli justru menurun kendati nominal UMP dinaikkan

Menyambut tahun 2022, kenaikan harga berbagai kebutuhan kembali tak terelakkan. Melonjaknya harga minyak goreng, cabai dan kebutuhan pokok lainnya terus menekan daya beli masyarakat. Efeknya sangat terasa pada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Sebab kelompok ini paling sensitif terhadap gejolak harga kebutuhan pokok.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi bulanan nasional pada Desember 2021 tercatat sebesar 0,57 persen. Angka ini mencetak rekor tertinggi selama dua tahun terakhir. Sementara inflasi tahunan 2021 tercatat sebesar 1,87 persen, meningkat dibandingkan dengan inflasi 2020 sebesar 1,68 persen.

Tingkat inflasi tahun 2022 perlu diwaspadai. Pasalnya inflasi yang terjadi bukan hanya lantaran tingginya permintaan, tapi lebih dikarenakan kenaikan biaya produksi dan distribusi. Selain itu, kenaikan harga pangan dan energi dunia serta sejumlah kebijakan yang akan digulirkan pemerintah berpotensi mendorong inflasi tahun ini.

Ancaman Inflasi

Tanda-tanda sederhana terjadinya inflasi adalah ketika emak-emak mulai merepet karena harga sembako yang meroket. Para emak kemudian meminta tambahan uang belanja agar konsumsi rumah tangga sehari-hari tetap terpenuhi. Artinya, dibutuhkan nominal uang yang lebih besar untuk membeli barang dalam jumlah yang sama.

Perubahan harga yang dikonsumsi oleh rumah tangga dihitung melalui formulasi Indeks Harga Konsumen (IHK). Merujuk konsep BPS, IHK merupakan indeks yang menunjukkan rata-rata perubahan harga dari suatu paket barang dan jasa yang umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.

Persentase kenaikan IHK dikenal dengan inflasi, sedangkan penurunannya disebut deflasi. Besarnya inflasi/deflasi yang terjadi setiap bulan, merupakan gabungan andil dari jenis barang/jasa yang mengalami fluktuasi harga pada bulan yang bersangkutan.

Inflasi tahunan Indonesia pada 2021 sebetulnya tergolong ringan dan terkendali, yakni sebesar 1,87 persen. Angka ini masih di bawah kisaran target pemerintah, yakni sebesar 3,0±1 persen.

Pada masa pemulihan ekonomi global, hampir semua negara mengalami inflasi. Seperti Singapura yang mencapai 3,8 persen (yoy November 2021) dan Malaysia sebesar 3,3 persen (yoy November 2021). Lonjakan inflasi juga terjadi di Amerika Serikat dengan tingkat inflasi menembus 7 persen. Tertinggi dalam empat dekade terakhir.

Meski tergolong ringan, para ekonom menyebutkan inflasi kali ini lebih didorong oleh biaya produksi, bukan hanya karena naiknya permintaan. Inflasi seperti ini bukan yang diharapkan karena tidak mencerminkan peningkatan konsumsi riil masyarakat.

Inflasi berdampak buruk bagi masyarakat yang memiliki pendapatan kecil dan tetap. Sebab nominal uang yang diterima tidak berubah, sedangkan harga barang/jasa semakin tinggi. Hal ini dipertegas dengan menurunnya upah riil buruh tani sebesar 0,65 persen dan upah riil buruh bangunan mengalami penurunan sebesar 0,56 persen pada Desember 2021.

Sebetulnya, masyarakat tergolong miskin dan rentan miskin bukan karena tidak bekerja. Mereka bekerja namun pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi konsumsi sehari-hari. Sedikit saja terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok, mereka terpaksa mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi porsi makan atau mengurangi pembelian barang.

BPS mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah Garis Kemiskinan. Inflasi yang tak terkendali dapat menaikkan besaran Garis Kemiskinan.

Berdasarkan rilis BPS angka kemiskinan nasional pada September 2021 kembali pada satu digit, yakni sebesar 9,71 persen. Atau secara absolut berkurang menjadi 26,50 juta jiwa. Meski menurun, jumlah ini masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi.

Naiknya harga bahan pangan dapat menurunkan daya beli kelompok rentan miskin. Jumlah kebutuhan makanan yang dihitung dari pemenuhan kalori pun semakin tak tercukupi. Akibatnya, penduduk rentan miskin dapat jatuh dalam jurang kemiskinan.

Konsumsi kelompok 40 persen terbawah dan kelompok rentan harus dipacu. Selain untuk menekan kemiskinan, juga dapat meningkatkan permintaan khususnya bagi UMKM. Sebab kelompok masyarakat inilah yang menjadi konsumen setia bagi produk-produk UMKM. Sehingga perputaran ekonomi pada kelompok menengah ke bawah dapat berjalan.

Harga komoditas yang memberi sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan harus diperhatikan. Beruntung, harga beras masih aman terkendali. Ironisnya, konsumsi rokok memiliki kontribusi terbesar kedua setelah beras. Kenaikan cukai rokok dikhawatirkan dapat berdampak pada konsumsi kebutuhan penting lainnya. Jangan sampai penambahan biaya rokok justru mengorbankan biaya konsumsi makanan pokok.

Maraknya kasus Covid-19 varian Omicron dapat memperlambat normalisasi rantai pasokan. Kenaikan harga gas elpiji, minyak goreng, dan telur dapat menaikkan harga produk makanan seperti roti dan gorengan. Ditambah lagi kenaikan tarif listrik dan PPN mengakibatkan bertambahnya biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Padahal dukungan daya beli diperlukan untuk membangkitkan sektor bisnis.

Inflasi juga mengakibatkan turunnya nilai mata uang. Langkah pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan bunga pinjaman. Tujuannya untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Di sisi lain, jika bunga pinjaman meningkat, maka pengembangan usaha dapat terhambat.

Antisipasi Penurunan Daya Beli

Upaya mendorong konsumsi rumah tangga bukan tanpa alasan. Pada tahun 2020 Sebesar 57,66 persen perekonomian Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Pelonggaran aktivitas sejak pertengahan tahun lalu telah membangkitkan daya beli masyarakat. Momentum ini harus terus dijaga.

Langkah antisipasi penurunan daya beli dapat dilakukan dengan memonitor perkembangan harga pangan global. Pemerintah juga harus memastikan kelancaran rantai pasokan. Tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia dijaga rendah. Selain itu insentif fiskal juga lebih dibutuhkan dibandingkan kenaikan pajak.

Kenaikan UMP bagi para pekerja setidaknya dapat menyesuaikan dengan inflasi di masing-masing wilayah. Jika UMP tak mampu menopang kenaikan harga, daya beli justru menurun kendati nominal UMP dinaikkan. Sebab, yang terpenting adalah memperkuat daya beli pekerja dengan meningkatkan upah riilnya.

Upaya pemerintah dengan memberikan subsidi harga kebutuhan bagi masyarakat kurang mampu dapat terus ditingkatkan. Seperti minyak goreng, LPG 3 kg, listrik, dsb. Tidak hanya dari sisi jumlah komoditas tapi juga keberlanjutannya.

Bansos juga masih menjadi andalan pemerintah untuk menekan angka kemiskinan. Perluasan bansos perlu dilakukan tidak hanya bagi penduduk miskin, tapi juga rentan miskin. Ketepatan penyaluran bansos baik dari segi waktu maupun rumah tangga sasaran harus diperhatikan. Jangan sampai menunggu tiga hingga empat bulan tahun anggaran berjalan

Setiap wilayah baik level provinsi maupun kabupaten perlu mengontrol harga dan pasokan komoditas yang memberi sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan. Kebijakan asimetris diperlukan karena kondisi masing-masing wilayah berbeda-beda.

Di tengah merebaknya Omicron dan berbagai tantangan di tahun 2022 ini, pemulihan ekonomi terus berlanjut. Program-program yang ada seyogyanya lebih mengedepankan kebutuhan masyarakat luas. Komitmen dan sinergi seluruh pihak baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat diperlukan dalam pengendalian inflasi dan peningkatan daya beli.

Penulis adalah ASN Di BPS Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

  • Bagikan