Ironi Kepala Daerah

  • Bagikan

Status opini WTP yang diperoleh bukan jaminan Pemda bebas dari praktik korupsi. Hal ini terbukti adanya sejumlah Pemda yang kerap meraih predikat opini WTP, tapi kepala daerah justru terjerat kasus rasuah. Ironi

Adalah Rahmat Effendi Walikota Bekasi yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu 5 Januari 2022. Pria yang dikenal dengan sapaan “Pepen” itu sebelum menjadi walikota merupakan wakil walikota. Ia menggantikan walikota, Mochtar Mohammad di tahun 2012 yang tersandung kasus korupsi.

Kini ia juga harus melakoni hal yang sama tersandung kasus korupsi seperti pendahulunya itu. Padahal ia punya kariernya yang moncer sejak menjadi anggota DPRD, ketua DPRD dan menjabat dua periode walikota 2013-2018 dan 2018-2023. Apa mau dikata, nasib berkata lain. Ia mengikuti jejak Mochtar, sebelum jabatannya berakhir di tahun 2023.

Seharusnya Pepen bisa belajar dari Mochtar dan sekian ratus kepala daerah yang harus mengakhiri masa jabatannya di balik terali besi. Fenomena semacam ini bukan cerita baru dalam dinamika politik lokal. Ada kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) di satu daerah sebelumya tersandung kasus korupsi dan kepala daerah berikutnya juga tersangkut hal yang sama.

Pepen selama menjabat sebagai walikota dua periode memperoleh puluhan penghargaan, baik dari pemerintah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pihak swasta. Sayangnya, ia diduga kuat terlibat kasus suap pengadaan barang dan jasa serta jual beli jabatan di Pemkot Bekasi. Dengan segudang prestasi yang diraih seharusnya tidak mesti terseret pusaran korupsi.

Rahmat Effendi bukan satu-satunya kepala daerah yang berprestasi dan mendapatkan banyak penghargaan akhirnya tersangkut kasus korupsi. Nama lain juga yang terjerat kasus korupsi, mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Sebagai kepala daerah yang dianggap berintegritas dan anti korupsi ia mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) di tahun 2017.

Ia juga mendapatkan banyak penghargaan sebagai kepala daerah yang sangat inovatif sejak menjabat Bupati di Kabupaten Bantaeng (2008-2013 dan 2013-2017) dan terpilih sebagai gubernur periode 2018-2023.

Dua tahun menjabat sudah menorehkan banyak prestasi, menerima puluhan penghargaan dari banyak lembaga. Ironisnya, jejak karier bupati pertama di Indonesia yang bergelar profesor itu harus berakhir di balik jeruji penjara selama 5 tahun.

Kepala daerah lain yang juga berprestasi tapi terjerat kasus korupsi adalah Bupati Probolinggo, Puput Tantriana. Dua periode sebagai bupati, Pemkab Probolinggo meraih berbagai penghargaan, mulai tingkat regional hingga nasional. Sejumlah inovasi yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan muncul dari ide bupati wanita termuda di Indonesia itu.

Di periode kedua terpilih sebagai bupati ia memproklamirkan diri berperang melawan korupsi. Meskipun kemudian ia sendiri tersandung kasus korupsi.

Kepala daerah berprestasi, menerima puluhan penghargaan dan mendapat status opini Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP) daerahnya. Ternyata terjerat kasus korupsi. Ini mengindikasikan korupsi di Indonesia sudah sangat banal, brutal dan menggila.

Jadi, jangan pernah berpikir kepala daerah berprestasi, meraih puluhan penghargaan tidak terlibat korupsi. Karena korupsi hanya soal kekuasaan, keserakahan, kebutuhan, kesempatan dan minusnya integritas diri.

Di sisi lain sistem birokrasi yang tertutup di lingkungan Pemda menyebabkan pengambilan keputusan berbagai proyek infrastruktur dan perizinan rawan praktik transaksional yang menguntungkan kepala daerah.

Tender proyek lewat penunjukan lansung, tender yang direkayasa, intervensi dan conflict of interest kepala daerah menjadi sumber korupsi.

Padahal semua pintu yang berpeluang terjadinya korupsi bisa diminimalisir. Tapi itu tidak dilakukan kepala daerah sebagai upaya preventiv mencehag terjadinya korupsi di internal Pemda.

Sementara aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) tidak diberdayakan sama sekali, Mengapa tidak lakukan pencegahan? Malah pembiaran yang terjadi, karena hal tersebut akan merugikan kepala daerah dari segi ekonomi.

Hal lain yang menjadi faktor penyebab kepala daerah yang sarat prestasi terseret pusaran korupsi disebabkan politik biaya tinggi. Pada saat kepala daerah mau maju sebagai paslon dia memerlukan dukungan dana besar yang tidak mungkin dari kantongnya sendiri.

Setelah menjabat, maka dia harus mengembalikan semua modal yang ludes. Korupsi menjadi jalan pintas yang ditempuh karena gajinya tidak akan cukup mengganti modal yang habis.

Opini WTP Vs Korupsi

Status opini WTP yang diperoleh bukan jaminan Pemda bebas dari praktik korupsi. Hal ini terbukti adanya sejumlah Pemda yang kerap meraih predikat opini WTP, tapi kepala daerah justru terjerat kasus rasuah. Ironi.

Boleh jadi status WTP yang didapat diperoleh dengan cara-cara yang tidak “wajar”. Senyataya opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi di lingkungan Pemda.

Pada dasarnya Pemda yang mendapatkan opini WTP, hanya sebatas pernyataan bahwa laporan keuangannya “bersih” dan disajikan secara wajar berdasarkan kaidah akuntansi pemerintahan yang berlaku.

Sepanjang tidak ada penyimpangan yang material dari standar akuntansi, maka opini WTP diberikan kepada Pemda. Hanya sebatas itu substansinya. Jadi, bukan menjadi jaminan Pemda/kepala daerahnya bersih dari praktik korupsi.

Idealnya, bila Pemda sudah mendapatkan opini WTP tidak ada lagi penyimpangan karena sudah terbangun pengendalian internal yang baik.

Untuk itu Pemda tidak perlu merasa hebat bila sudah mendapatkan predikat WTP apalagi menjadikan sebagai tolak ukur keberhasilan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Apalagi mengkaitkan dengan turunnya angka kemiskinan.

Artinya opini WTP bukan sebuah pernyataan jaminan bahwa Pemda sudah bisa dipastikan bebas dari tindak pidana korupsi.

Dengan demikian Pemda tidak perlu merasa bangga dengan perolehan opini WTP. Karena itu bukanlah tujuan akhir pengelolaan keuangan daerah. Predikat itu sebaliknya menimbulkan konsekuensi bagi Pemda agar mampu mengolerasikannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu, Pemda dituntut bisa meningkatkan pengelolaan keuangan, lebih transparan dan akuntabel yang memberi kemaslahatan bagi kepentingan publik bukan untuk kepentingan birokrat semata.

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padang Sidimpuan.

  • Bagikan