Jangan Hukum Siswa

  • Bagikan
Jangan Hukum Siswa

Oleh Tabrani Yunis

Tragis nian nasib Pak Akbar Sarosa, guru honorer, Pendidikan Agama Islam ( PAI) di SMK Negeri 1 Taliwang, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Ia dituntut Rp 50 juta karena tegur siswa tak salat. Liputan6.com menulis bahwa Akbar dituntut Rp50 juta oleh orangtua murid yang tidak terima anaknya dihukum karena tidak mau salat. Unggahan tentang kasus tersebut dibagikan melalui video singkat di akun TikTok @deni_ali28. Lalu, cerita tentang kasus ini banyak diberitakan di berbagai media, baik cetak, online dan media elektronik lainnya, setelah juga viral di media sosial. Kasus ini menguras rasa iba banyak orang, karena sikap orang tua, yang memperkarakan guru, dengan tuntutan dalam bentuk yang sesungguhnya tidak mampu dipenuhi oleh Pak Akbar, yang berstatus guru honorer dan hanya memiliki gaji 800.000 sebulan. Menyedihkan, bukan?

Ya, tentu saja sangat menyedihkan dan juga mengharukan. Lho, bagaimana Ya, maksud menyedihkan dan mengharukan itu? Ya, menyedihkan karena seperti dirasakan banyak orang, dalam kasus ini adalah apa yang dilakukan Pak Akbar, menyuruh salat berjamaah adalah tindakan baik dan terpuji. Artinya Pak Akbar tidak mengajak anak ke tindakan negatif dan merusak moral. Kedua, mengajak dan mengajarkan anak -anak salat adalah bagian dari tanggung jawab guru. Karena dalam sebuah pembelajaran, seorang guru memiliki tugas dan kewajiban serta tujuan untuk mengubah tiga ranah, yakni kognitif, afektif dan psychomotoris. Konsekwensinya, ada kewajiban membangun akhlakul Kharimah. Ke tiga, kasus ini adalah bukti semakin renggangnya hubungan kontrol dan sinergi antara elemen tripusat pendidikan yang dalam hal ini pola relasi antara guru ( sekolah) dengan orangtua (keluarga). Harusnya sinergi mendidik harus tumbuh dan berkembang antara guru atau sekolah dengan pihak orangtua atau keluarga.

Ya, apa boleh buat. Mencermati berbagai sumber berita, ternyata selain menyuruh atau mengajak salat, Pak Akbar seperti diakuinya ada mencolek atau mencubit sedikit dan tidak sampai terluka, sesuai dengan pengakuan para siswa. Namun, siswa yang menjadi korban langsung melapor pada orang buta dan orang tuanya pun tidak mau menerima perlakuan pak Akbar. Akhirnya berbuah laporan untuk proses hukum. Betapa sialnya Pak Akbar Sarosa. Ya, sial karena harus berurusan dengan hukum dan dituntut membayar 50 juta rupiah. Semakin sedih, bukan? Pasti sangat sedih karena gaji Pak Akbar hanya Rp. 800.000 sebulan. Mau bayar dengan apa?

Kini ibarat nasi telah jadi bubur, Pak Akbar memang harus berurusan dengan hukum dan harus membuktikan apakah ada tindak kekeresan yang dilakukan itu melukai atau berbekas dan  berlawanan hukum, hingga dituntut dengan delik melakukan kekerasan serta membayar Rp 50 juta. Jumlah yang cukup besar, bukan hanya bagi guru honorer, namun juga berat bagi guru PNS yang sudah golongan IV sekali pun. Wajar saja kalau banyak pihak merasa sedih dan prihatin terhadap nasib guru Akbar Sarosa ini. Tampaknya, tidak ada jalan lain bagi Pak Akbar, karena proses hukum terus berjalan. Oleh sebab itu, apabila memang ada tindak kekeresan yang dilakukan oleh guru, maka perlu disiapkan bukti tindak kekekerasan atau perundungan seperti bekas cubitan atau pukulan, serta hasil visum yang memberatkan guru sebagai pelaku. Hal ini perlu, agar kita bisa memutuskan rantai kekerasan di lembaga pendidikan.

Sementara kepada orangtua korban, kita berharap bila pihak orang tua marah dan menuntut guru karena diajak salat berjamaah, menuntut guru sedemikian rupa, adalah keputusan yang sebaiknya ditinjau ulang. Dikatakan demikian, ajakan sang guru bukan untuk mencelakakan anak atau siswa. Kalau pun ada tindakan mencubit, bila itu mencelakakan anak, maka alangkah bijak bila dilakukan visum. Bila hasil visum positif, tidak salah dilanjutkan untuk diproses hukum. Ini pun bila tidak ada jalan untuk dimaafkan.

Nah, lain nasib Akbar Sarosa, lain pula nasib yang dialami oleh seorang guru yang terjadi di Madrasah Aliyah (MA) Plingawetan, Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah, pada tanggal 25 September 2023 lalu. Seorang siswa MA tersebut membacok gurunya, Ali Fatku Rohman, karena merasa sakit hati terhadap gurunya yang tidak mengizinkannya untuk ikut ujian tengah semester. Sadis, bukan? Begitulah nasib buruk yang menimpa para guru, ketika menghukum siswa, baik secara psikis, maupun fisik. Guru pasti akan berhadapan dengan berbagai risiko yang mengancam dirinya atau pun yang merugikan diri guru itu sendiri. Itulah realitas kekinian. Oleh sebab itu, para guru yang kini sedang menjalankan tugas dan kewajiban mengajar dan mendidik peserta didik di sekolah, harus banyak belajar dari kian banyaknya kasus kekerasan yang mengancam guru, akibat salah memberi hukuman kepada peserta didik. Para guru, harus benar-benar faham bahwa kini zaman sudah berubah. Berubah zaman, membawa banyak perubahan perilaku siswa dan juga orang tua. Perubahan ini adalah tantangan berat bagi guru. Sebab guru yang tidak hanya menjalankan tugas untuk meningkatkan kaulitas pembelajaran pada ranah pengetahuan (kognitif), ketrampilan dan juga sikap (afektif). Harus diakui bahwa selama ini guru mungkin bisa berhasil mengubah anak-anak menjadi pintar, dan terampil, namun masih semakin susah membangun sikap dan perilaku atau karakter anak menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas peningkatan kualitas karakter anak yang sesungguhnya berawal dari rumah. Anak pertama sekali belajar sikap dan karakter atau akhlak baik, atau buruk adalah di dalam keluarga.

Kini, selain harus lebih banyak belajar dari perubahan zaman,  selayaknya para guru bersikap dan bertindak lebih hati-hati dan bijak dalam menghadapi perubahan perilku anak-anak, peserta didik di sekolah yang kini sudah jauh berubah. Dalam menghadapi anak-anak, generasi milenial yang disebut-sebut sebagai generasi yang memiliki ciri yang sangat berbeda dengan genarasi para guru sekarang, para guru harus selalu extra sabar, tidak boleh terpancing emosi, apalagi merasa kehilangan harga diri karena anak-anak tidak mau mematuhi perintah, aturan sekolah atau disiplin sekolah. Sebab, apabila terpancing, emosi guru bisa naik dan meningkat. Akibatnya akan melahirkan tindak kekerasan yang tidak menguntungkan guru. Guru bisa terancam jiwa, karena anak-anak pemilik era milineal ini. Para guru harus sadar bahwa sekarang banyak soiswa yang nekat membunuh guru, hanya karena merasa sakit hati terhadap guru, seperti kasus yang menimpa guru Madrasah Aliyah di Plingawetan Demak, Jawa Tengah itu. Sangat berbahaya,bukan?

Ya, apalagi banyak orang tua yang sangat tidak menginginkan adanya guru yang menghukum anak mereka dengan hukuman fisik. Kondisi ini membuat guru di sekolah merasa semakin serba salah. Di satu sisi, harus mengajarkan disiplin, berakhlak mulia, di sisi lain, tidak boleh ada sanksi atau hukuman bagi anak, apalagi hukuman fisik. Bukan saja karena orang tua yang tidak rela, tetapi juga saat ini anak-anak dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi, posisi guru terasa menjadi sangat dilematis dan bagai memakan buah simalakama. Namun, itulah yang harus dihadapi oleh guru dengan bijak, sabar, serta hati-hati dalam berinteraksi dengan para peserta didik di sekolah.

Penulis sendiri, sebagai sosok yang pernah menjadi guru selama lebih kurang 40 tahun di semua level pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, Akademi hingga Perguruan Tinggi punya banyak pengalaman dalam menghadapi para peserta didik di semua jenjang pendidikan itu. Pengalaman yang berawal dari seorang guru yang masih muda, mengajar di Sekolah Dasar ( karena penulis tamatan Sekolah Pendidikan Guru atau SPG Negeri Banda Aceh). Penulis menghadapi berbagai kondisi peserta didik dan pengalaman itu memperkaya sikap penulis sebagai guru yang harus selalu humanis dalam mengajar. Penulis berusaha berusaha mengajar dengan cara atau teknis yang menyenangkan dan membuat penulis juga senang.

Namun, selesai penulis kuliah dari Program Diploma II, Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, lalu diangkat menjadi guru bahasa Inggris di sekolah swasta yang para siswanya adalah anak-anak yang dengan karakter yang keras dan berbeda dengan di sekolah negeri lainnya.

Di sini, penulis sebagai guru yang masih muda saat itu, terpaksa menghukum siswa karena memang tidak bisa diatur. Penulis pernah mencubit siswa, namun bedanya saat itu mereka tidak melawan dan orang tua tidak mempermasalahkan dengan cubitan tersebut, karena pemahaman orang tua saat itu tujuannya adalah untuk mendidik. Lagi pula saat itu, belum ada Undang-Undang perlindungan anak. Selama 10 tahun penulis mengajar di sekolah swasta tersebut dan kemudian pindah ke sekolah favorit di kota Banda Aceh. Di sekolah favorit, bukan tidak ada siswa yang keras kepala dan membuat guru emosi. Namun, berbekal pengalaman mengajar di SMP Swasta tersebut penulis kemudian tersadar bahwa penulis tidak boleh menghukum siswa baik verbal maupun fisik.

Oleh sebab itu, penulis banyak belajar dan menemukan cara mengajar yang menyenangkan yang membuat para siswa patuh dan berpartisipasi penuh dalam proses pembelajaran itu. Caranya adalah menghadirkan cinta di ruang kelas dan di luar kelas. Penulis membuat cara pembelajaran yang menarik dan memposisikan diri sebagai guru yang entertain. Cara ini membuat para siswa patuh dan mengikuti apa yang penulis perintahkan. Kalau pun ada sangsi, maka sangsi itu adalah sangsi yang telah disepakati, sesuai konsensus yang dibuat pada awal masa belajar di setiap semester. Dengan konsensus itu, tidak ada hukuman yang memberatkan, kecuali sadar karena kesalahan sendiri dan harus menerima risiko, namun bukan hukuman fisik. Dengan cara ini, para guru terhindari tindakan memberi hukuman kepada siswa.

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh
 
 
 

  • Bagikan