Kala Guru Terjerat Pinjol

  • Bagikan
Kala Guru Terjerat Pinjol

Oleh Tabrani Yunis

Bulan Agustus 2023 lalu berita mengenai pinjol, atawa pinjaman online banyak diberitakan di berbagai media, baik media cetak, konon lagi media online yang jumlahnya semakin banyak sejalan dengan berkembangnya teknologi digital. Tak pelak lagi, kalau berita mengenai pinjol menjadi sangat viral. Dengan viralnya beritan di media online memberitakan tentang pinjaman online (pinjol) tersebut, maka setiap saat kita bisa membacanya, di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja yang tertarik membacanya. Jadi, begitu mudah bagi kita untuk mengakses berita-berita mengenai pinjol. Bahkan, Kompasiana sebuah flatform media online yang banyak memuat tulisan para Kompasioners, juga menjadikan pinjol sebagai tema atau topik pilihan. Sehingga masalah pinjol menjadi bahan atau inspirasi bagi para penulis.

Kehebohan berita mengenai pinjol adalah setelah Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari, mengungkap korban pinjaman online (pinjol) ilegal terbanyak adalah guru, korban PKH, hingga ibu rumah tangga sebagaimana diberitakan oleh Detiknews, 21 Agustus 2023.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Yusri yang menyebutkan, pinjaman online (Pinjol) saat ini sangat banyak peminat. Umumnya, kata dia, mereka berprofesi guru. 
“Jumlah guru menggunakan pinjol sekitar 42 persen,” kata Yusri, saat acara launching ATM Visa dan Mastercard di BSI UMKM Center Aceh di Banda Aceh, Rabu, 9 Agustus 2023. (AJNN, 09 Agustus 2023)

Menyimak isi pernyataan kedua sumber yang kompeten di atas, serta dari yang diberitakan oleh berbagai media yang sangat banyak sekarang, kala banyak guru menjadi yang sangat dominan terjerat pinjol, di satu sisi, kita ikut merasa sangat prihatin, walau sebenarnya kita juga belum tahu persis atau belum melihat data yang akurat, apakah besarnya jumlah guru peminjam lewat online tersebut adalah guru-guru PNS yang sudah memiliki gaji tetap setiap bulan, atau para guru honor, guru bakti atau guru kontrak. Kita tidak menemukan data tersebut. Andai dari jumlah yang besar tersebut juga termasuk para guru yang sudah memiliki gaji tetap dan sudah menerima dana sertifikasi, ada sejumlah pertanyaan yang mencuat dari ruang keingintahuan (curiousity) kita.

Terlepas dari apakah jumlah peminjam dana di pinjol adalah guru PNS, kontrak atau honor, yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa harus meminjam di pinjaman online? Mengapa tidak ke lembaga keuangan resmi seperti bank-bank yang kini banyak beroperasi hingga ke kecamatan? Bukankah guru memiliki akses terhadap kredit di Bank?

Bila kita cari jawaban mengapa banyak guru dan bahkan sangat dominan meminjam dana ke pinjol, seakan mengindikasikan bahwa para guru sulit, bahkan tidak bisa mengakses pinjaman atau kredit di bank. Namun, bila kita sidik dan melihat realitas pinjaman atau kredit, hampir tidak ada guru yang tidak mengambil kredit di Bank. Para guru kita sudah umumnya terjerat utang di Bank hingga mencapai masa pensiun. Dengan banyaknya utang di Bank, tentu uang gaji atau pendapatan yang diperoleh setiap bulan sudah tidak cukup lagi untuk membiayai biaya hidup sehari-hari. Sementara kebutuhan hidup terus meningkat. Lalu, dalam keadaan sulit begitu, ingin meminjam lagi di Bank, pinjaman sebelumnya belum lunas. Pasti Bank tidak mau memberikan lagi. Maka ketika ada tawaran dari pinjol yang begitu mudah, walau pun jumlah pinjaman kecil, banyak guru yang tanpa memikirkan risiko pinjol yang mematikan. Akhirnya, langsung meminjam dan terjerat.

Kala para guru terjerat pinjol, maka layak kita ikut prihatin, fakta itu bukanlah hal yang mengherankan. Karena di luar pinjol juga kemungkinan banyak guru yang terjerat pinjaman di berbagai lembaga keuangan seperti bank, koperasi,dan lain-lain termasuk pinjol. Sebab, bila kita menyelami lebih jauh pada persoalan terjeratnya para guru ke dalam lilitan pinjol disebabkan banyak alasan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, tak dapat dimungkiri bahwa guru sebagai bagian dari masyarakat global yang terus berubah, kebutuhan hidup yang terus bertambah, yang secara sadar atau tidak, terus terbawa dan hanyut dalam budaya konsumtif. Gaya hidup ( life style) guru berubah dan selera guru semakin tinggi. Selalu ingin dapat membeli dan memiliki barang-barang atau produk yang sesungguhnya bukan kebutuhan mendesak, kecuali keinginan mendesak, memaksa mereka untuk membelanjakan uang yang ada dan bila tidak ada uang harus pinjam, tak peduli dengan gaji yang semakin tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dalam praktik kehidupan menggunakan pameo lebih besar pasak dari tiang. Apalagi ketika merasa gaji sudah bertambah, maka semakin bertambah besar keinginan tersebut.

Ke dua, ini adalah bukti rendahnya kemampuan literasi keuangan para guru. Ya. Bila memiliki kemampuan literasi keuangan, para guru yang terjerat pinjol tersebut, bisa mengatur keuangan mereka dengan baik dan bijak, sehingga tidak terjebak dalam tindakan pinjaman yang tidak perlu. Selama ini, ketika budaya konsumtif menyelimuti jiwa, maka ketika gaji dirasakan tidak cukup untuk bisa membeli barang atau produk yang diinginkan, maka solusi yang ada di benak adalah mencari sumber pinjaman. Sumber pinjaman yang lazim dilakukan adalah bank. Untuk meminjam uang di bank, Para guru harus menggadaikan SK dan bila diperlukan sekalian surat tanah atau bangunan untuk mendapatkan kredit di Bank. Sayangnya, sering pula setelah mengambil kredit di bank, ambil lagi di lembaga keuangan lain. Sehingga ketika waktu gajian tiba, uang yang dibawa ke rumah tidak cukup lagi. Akhirnya terjebak lagi dalam gaya hidup gali lubang, tutup lubang. Sangat memprihatinkan, bukan? Tentu saja.

Ke tiga , tentu saja sangat memprihatinkan karena secara ideal, guru-guru sebagai sosok yang mengajarkan dan mendidik kita untuk cerdas dan bijak menjalani hidup, mereka tidak terjebak, apalagi terjerat dengan pinjaman online yang illegal. Mereka harus tahu bahwa there is no free lunch. Pinjol, apakah legal atau illegal, bahkan bank bukanlah lembaga sosial yang mau membantu guru-guru yang kesulitan uang, melainkan lembaga pencari keuntungan yang sebesar-besarnya, baik legal, maupun illegal. Baik halal, maupun haram.

Ke empat secara eksternal, di era digital ini, jasa keuangan seperti Pinjol itu sudah muncul beberapa tahun lalu dan kini semakin banyak. Ada yang legal dan tidak sedikit yang illegal. Pinjol ini membutuhkan peminjam sebanyak -banyaknya. Semakin banyak peminjam, semakin kencang perputarannya. Maka, pinjol terus berupaya mencari konsumen baru dan memelihara konsumen lama. Lagi pula, kehadiran pinjol sebagai aktivitas ekonomi yang muncul di era digital yang menjadi alternatif bagi orang-orang yang membutuhkan pinjaman uang. Pinjol menawarkan dan memberikan layanan pinjaman uang tanpa harus datang ke lembaga keuangan seperti Bank atau Koperasi dan lainnya, tetapi cukup dengan menggunakan Handphone sebagai media komunikasi dan pendataan, serta mempelajari psikologi peminjam.

Menuai Petaka

Ketika seorang guru terjebak dengan pinjaman online, yang menawarkan berbagai macam memudahkan dan kecepatan proses pencairan pinjaman online, maka kala itu ia mulai menuai petaka. Karena di balik kemudahan yang mereka berikan tersebut tidak difahami sebagai jebakan bagi para peminjam. Ya, segala kemudahan itu adalah perangkap. Sebab, bila peminjam sudah terperangkap, nasibnya sudah seperti tikus yang terperangkap alat tangkap tikus. Malah lebih buruk lagi. Pinjaman itu menjadi petaka bagi para penerima layanan pinjaman online tersebut. Mereka mengumpulkan data peminjam. Bila si peminjam mengalami kemacetan dalam pembayaran, mereka akan mengirimkan SMS kepada orang-orang dekat, sahabat atau malah

Banyak peminjam yang mungkin mengalami kemacetan dalam membayar utang di pinjol yang berujung petaka. Mereka mengalami ancaman atau teror dari pengelola pinjol lewat SMS atau media lain yang mudah mereka gunakan. Teror-teror tersebut membuat para peminjam kebingungan dam stress yang sangat mengganggu, bahkan bisa dikatakan mereka melakukan pembunuhan karakter si peminjam. Mereka mengirimkan pesan SMS kepada orang lain yang mengenal peminjam. Misalnya kepada kepala sekolah, Abang atau adik si peminjam. Begitu dahsyatnya cara mereka mengejar si peminjam hingga yang bersangkutan benar-benar stress. Apalagi ketika macet dalam melakukan pembayaran bisa jadi semakin berat karena suku bunga yang tinggi dan denda yang terbilang tidak sedikit, sehingga bisa semakin menumpuk hutang sebelumnya. Jadi pusing dan stress bukan? Tentu saja stress, bahkan sangat memalukan.

Penulis pernah menerima pesan SMS yang mengagetkan dari nomor yang tidak kenal. Apa yang mengagetkan itu, ada dua hal. Pertama pengirim pesan tidak dikenal. Kedua, isi pesannya yang begitu kasar, dengan kata-kata kotor dan penuh ancaman. Penulis sempat dibuat bingung. Soalnya, mendapat pesan itu tiba-tiba, tidak kenal, lalu diancam pula.

Para guru memang harus bijak. Jangan sampai terjerat kredit atau pinjaman online, baik legal, apalagi ilegal. Meminjam uang di layanan pinjaman online memang mudah, tetapi bisa berujung musibah.

Penulis adalah emerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

  • Bagikan