Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah

  • Bagikan
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah

Oleh Tabrani Yunis

Ada rasa jengah, prihatin dan bahkan malu kita mendengar atau membaca berita di media tentang kemampuan literasi Anak negeri ini yang masih rendah. Betapa tidak? Sudah cukup lama kita membaca berita serupa di dalam berbagai literatur di tanah air, baik dari buku-buku, laporan-laporan World Bank, UNICEF maupun di media massa, seperti surat kabar, majalah, media elektronik maupun media online hingga kini.

Kita paling kurang, bisa menyimak apa yang diberitakan oleh Kompas.id edisi 02 Oktober 2023 yang lalu. Kompas.id edisi terbit membuat judul berita seperti ini; “Kemampuan Memahami bacaan Masih Rendah”. Judul yang membuat kita pilu. Dikatakan demikian, karena Indonesia sudah merdeka 78 tahun lamanya, namun cita-cita founding father mencerdaskan anak bangsa, masih belum terwujud dengan baik.

Ya, bayangkanlah. Kompas.id kemudian memaparkan bahwa kemampuan literasi anak-anak sekolah di Indonesia berada dalam keadaan darurat. Di jenjang SD, baru 61.3 persen dari population siswa yang memiliki kompetensi di atas minimum dan SMP sekitar 59 persen. Angka kompetensi terendah juteru di jenjang SMA yang baru mencapai 49,26 persen atau turun dari tahun lalu yang sebesar 53,85 persen. Angka-angka yang menyesakkan dada kita.

Data ini, tentu masih relevan dengan data yang dikeluarkan UNESCO beberapa tahun lalu yang menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!

Ya, sudah terlalu banyak dan sering kita membaca berita tentang minat baca dan kondisi kemampuan literasi Anak negeri di berbagai media. Sebagai contoh saja, KOMPAS.com- 03 April 2020 memaparkan bahwa OECD mencatat peringkat nilai PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 menempatkan siswa Indonesia dalam peringkat yang kurang memuaskan. Kemampuan Literasi siswa Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara, Matematika  berada di peringkat 72 dari 78 negara, dan Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai PISA siswa Indonesia juga cenderung stagnan dalam 10-15 tahun terakhir.

Bila begini kondisinya dan berlangsung sekian lama, hingga berada dalam kondisi darurat, kemajuan apa yang bisa dicapai oleh Bangsa ini? Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kondisi buruk ini? Mengapa pula persoalan yang sama hingga Indonesia kini sudah hampir seabad, tapi masih berkutat pada persoalan dasar atau akar masalah? Apakah karena Pemerintah Indonesia tidak menemukan akar masalah pendidikan di negeri ini?

Bisa jadi begitu. Padahal di era digital yang banjir bacaan ini, harusnya kompetensi literasi Anak negeri ini meningkat dan semakin tinggi, karena tidak terhambat oleh minimnya bahan bacaan. Selain itu, proses pencerdasan dan peningkatan minat membaca, sekarang sudah sangat beragam dan sangat accessible dan lebih murah serta mudah. Serta masih banyak kemudahan lain yang bisa digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan literasi anak negeri ini.

Kiranya, Pemerintah Indonesia harus malulah sedikit dan mau belajar dari kesuksesan negara lain dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya manusia (SDM) di negara yang sudah lebih dahulu maju. Sebenarnya, bila kita belajar dari keberhasilan Finlandia yang selama ini sering kita gadang-gadangkan itu adalah karena Finlandia sudah berhasil membuat anak-anak Finlandia yang berusia 15 tahun, sangat mahir dan bagus kemampuan literasi, numerasi dan sains. Itulah kunci Sukses mereka. Tidakkah ini ditemukan setiap para ahli dari Indonesia belajar ke Finlandia itu? Bila tidak, belajarlah lebih banyak.

Rendahnya kemampuan membaca yang masih banyak pada tataran literal yang masih sulit memahami bacaan, adalah bukti rendahnya peradaban bangsa ini. Ketika memahami bacaan saja masih rendah, bagaimana bangsa ini mampu mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang dihadapi bangsa ini, hingga mampu melakukan kontemplasi untuk memberikan solusi terhadap persoalan hidup dan untuk mampu bersaing dalam percaturan global. Jadi, harus difahami bahwa masih rendahnya kemampuan memahami bacaan, adalah masalah literasi. Rendahnya kemampuan literasi Anak bangsa adalah akar masalah yang harus segera diatasi oleh Pemerintah dan bangsa ini.

Masalah rendahnya kemampuan literasi, numerasi dan sains bangsa ini, harus segera dituntaskan. Bila tidak, akar masalah ini akan menyebabkan kualitas pendidikan kita terus rendah. Membangun kemampuan literasi, numerasi dan sains adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah Indonesia harus lebih serius membangun kemampuan literasi, numerasi dan sains anak-anak negeri ini. Bila tidak, kita akan terus berhadapan dengan konsekwensi. Bangsa Indonesia menjadi pecundang, bukan pemenang. Padahal, selama ini kita begitu gembira karena memiliki bonus demografi. Ya, kita adalah bangsa yang sedang menikmati bonus demografi, memiliki generasi usia produktif, bagaimana kita bisa menikmati bonus, kalau kemampuan memahami bacaan saja masih rendah?

Nah, bagaimana pula anak bangsa ini bisa bersaing secara global, bila kemampuan memahami bacaan saja masih rendah? Bukan hanya itu, Pemerintah Indonesia saat ini juga semakin sering menjual komoditas politik dengan barang dagangan Indonesia emas di tahun 2045 yang semakin di depan mata. Pertanyaannya, bagaimana akan bisa mendulang emas, bila rakyatnya memahami bacaan saja belum lancar? Bukankah ini membahayakan dan mengancam serta mendiskreditkan semua harapan yang sudah dideklarasikan?

Sangatlah rugi bangsa ini bila tidak mampu memanfaatkan bonus demografi yang sedang kita miliki, yang memberikan banyak keuntungan bagi kemaslahatan hidup bangsa Indonesia saat ini, bila terjegal oleh rendahnya kemampuan literasi, numerasi dan sains. Bonus itu akan menjadi buih yang terapung-apung di permukaan air, hanya mengikuti gerak air dan angin. Ya, apa artinya bonus demografi melimpah, bila kualitas rendah? Bukankah hanya akan menjadi bangsa yang kalah dalam segala hal?

Ya, bila kemampuan literasi, numerasi dan sains tidak dengan segera ditingkatkan, impian bangsa ini menjadikan tahun 2045, momentum 100 tahun atau satu abad negara Republik Indonesia (NKRI) melahirkan generasi emas, hanya lah sebuah ilusi. Dikatakan demikian, karena untuk bisa mewujudkan generasi emas, syarat dasarnya adalah membangun dan meningkatkan Ketiga kemampuan tersebut. Bila Ketiga kemampuan itu sudah tinggi, seperti yang dimiliki oleh anak-anak Finlandia yang berumur 15 tahun itu, Apa pun yang diberikan kepada Anak-anak bangsa ini, Insya Allah akan sangat mudah.

Oleh sebab itu, bangunlah kemampuan literasi, numerasi dan sains dengan serius seperti yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat Finlandia. Sebab, bila kemampuan memahami bacaan saja masih bermasalah, masih rendah bagaimana mewujudkan lahirnya generasi emas? Hmmm, mimpi kali ya?

Penulis adalah Pemerhati Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh

  • Bagikan