Kuasai Nuklir Sekarang!

  • Bagikan

Produk dari negara seperti China akan terpukul karena tidak didukung lagi dengan BBM fosil yang cukup. Sedangkan negara-negara Barat yang sudah lama menjadi negara industri sudah siap dengan pembangkit nuklirnya, sehingga mereka siap mengekspor listriknya ke negara produsen kendaraan listrik seperti kita

Anda pasti tahu bahwa baterai hanyalah media penyimpan energi. Ia sama sekali tidak menghasilkan energinya sendiri. Posisinya sama dengan power bank atau memory card. Memory card tidak membuat foto-fotonya sendiri, tetapi kameralah yang membuat foto, kemudian tersimpan di memory card.

Keunggulan baterai adalah ia menyimpan energi untuk digunakan secara portable. Energi listrik yang sifatnya insidental (ada ketika pembangkit listrik sedang bekerja) bisa dijaga keawetannya oleh baterai untuk digunakan di ruang dan waktu yang berbeda.

Pendeknya, baterai bisa memutus sama sekali hubungan antara pembangkit dengan peralatan listrik untuk sementara waktu, baik secara ruang dan waktu.

Jika baterai bukan penghasil energi, lantas apa alasan Anda percaya bahwa kendaraan listrik itu bisa mengatasi pemanasan global/perubahan iklim ini? Anda tahu betul bahwa hubungan antara baterai dengan pembangkit listrik (charger) adalah komplementer, bukan substitusional.

Lantas, mengapa Anda berpikir bahwa kendaraan listrik adalah jawaban dari masalah perubahan iklim ini? Tentu saja mobil dan motor listrik itu tidak mengeluarkan emisi gas karbon seperti kendaraan konvensional.

Demikian juga dengan kipas angin di rumah saya, bisa menyejukkan kulit tanpa mengeluarkan asap sama sekali. Tetapi coba Anda pergi ke charger-nya (pembangkit yang memasok daya ke baterai mobil/motor itu), sebagian terbesar masih pembangkit berbasis fosil.

Ini artinya kendaraan listrik bukan tanpa masalah polutan sama sekali. Ia hanya memindahkan masalah saja, yaitu dari emisi gas karbon dari knalpot-nya sendiri kepada emisi pembangkit listrik itu. Sami mawon, kan?

Nuklir, Apa Boleh Buat!

Saya jelas mendukung kendaraan listrik. Apalagi sekarang pabrikan terkenal asal Korea Selatan itu sedang membangun pabrik baterai di Indonesia, saya semangat. Peta jalan industri kendaraan listrik yang terus disempurnakan pemerintah begitu meyakinkan bahwa kita mampu menjadi terdepan di industri itu.

Dan, sebenarnyalah kendaraan listrik bukanlah teknologi kelas tinggi. Ia bahkan bisa dibuat industri rumahan. Jauh lebih rumit kendaraan konvensional dengan sistem pembakaran internal. Artinya, ambisi Indonesia untuk menjadi pemain penting industri kendaraan listrik dunia bisa tercapai.

Pada saat yang sama, transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) tidak begitu meyakinkan. Aneka pertemuan internasional, apakah itu Paris Agreement atau baru-baru ini Pertemuan Antarpihak ke 26 (COP 26) di Glasgow, Inggris, juga tidak menghasilkan komitmen yang kongkret dari negara-negara peserta.

Di dalam negeri sendiri, realisasi dari target bauran EBT terhadap total energi nasional sebesar 23 % pada 2025 rasanya jauh panggung dari penyanyi. Begitu juga dengan pembiayaan, masih banyak lembaga/negara yang membiayai proyek pembangkit listrik fosil. Padahal, kenaikan rata-rata suhu global sebesar 0,5 derajat saja bisa berdampak fatal bagi alam.

Lalu, bagaimana baterai-baterai itu akan di-charge nantinya, kalau ternyata EBT masih belum jelas, sedangkan fosil sudah ditinggalkan? Ini pertanyaan saya kepada siapapun pemimpin dunia, yang saat ini sedang memperlihatkan sikap serba setengah-setengah soal jenis energi mana yang akan digunakan di masa depan saat hampir setengah Bumi bersorak menyambut era kendaraan listrik ini?

Saya bertanya, bagaimana para pemimpin dunia itu dapat menepis kecurigaan saya, bahwa EBT dan kendaraan listrik itu hanyalah halaman pertama yang semak eufemisme kata untuk mengantarkan kita pada realitas energi masa depan, energi berbasis nuklir?

Jujur saja, ketika saya melihat ada sikap men-dua dari banyak negara akan EBT vs EFK (energi fosil konvensional), saya tak begitu yakin EBT akan benar-benar mampu menggantikan peran EFK dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Kita memang punya potensi EBT yang besar, tetapi masih di atas kertas.

Demikian juga negara lainnya, tak beda jauh dengan kita. Sementara, kendaraan listrik dan semua peralatan serba listrik tinggal menghitung hari. Bukankah jawabannya adalah nuklir?

Jawaban Dalam Peta Jalan

Tetapi, ini bukan penolakan saya kepada energi berbasis nuklir. Saya hanya mencoba untuk sedalam mungkin mencecapkan kaki saya pada realitas energi masa depan. Bagi saya pribadi, pembangkit listrik tenaga nuklir adalah niscaya.

Sebab, mana mungkin semua benda mati dan benda hidup akan “memakan” kelapa sawit, kedelai, rapessed, jagung, dan lainnya. Saat semua entitas “makan” tumbuhan, situasinya lebih berbahaya dari nuklir. Mana mungkin pula kita kembali ke zaman pra-revolusi industri, saat kuda dan pedati jadi sarana transportasi. Maka saya mendukung energi berbasis nuklir.

Jadi, yang saya ingin katakan adalah jangan sampai kita jadi importir listrik dari negara lain yang sudah bertenaga nuklir. Kita yang buat kendaraan listriknya, tetapi mereka yang mengisi dayanya melalu pembangkit listrik nuklir, yang mungkin saja diberi judul green energy oleh mereka.

Ini terbalik. Selama ini, negara maju membuat produk manufakturnya, sedangkan bahan bakar fosilnya dari kita. Kalau kita tidak cepat kuasai pembangkit nuklir, maka posisi sudah terbalik.

Selain itu, yang saya ingin katakan adalah pemerintah sudah harus punya jawaban ketika pertanyaannya sampai pada darimana sumber penge-cas-nya, kalau ternyata EBT masih belum memadai, sedangkan EFK tak dipakai lagi? Darimana sumber penge-cas baterai itu, apakah EBT atau EFK, sebenarnya adalah bagian terbesar peta jalan industri kendaraan listrik itu.

Jika sekarang warga dunia belum bertanya, hal itu lebih karena kendaraan listrik belum tersosialisasikan sejauh progres pembuatannya. Selain itu, mungkin karena warga dunia masih percaya bahwa EBT itu benar-benar mampu memenuhi kebutuhan seluruhnya sehingga publik belum kritis.

Kelak, ketika kendaraan listrik itu sudah wara-wiri di jalanan, laporan tentang perubahan iklim yang terus-menerus tidak menggembirakan, dan harga pangan melonjak karena tumbuhan diolah jadi BBM, maka pasti pertanyaan darimana sumber penge-cas baterai itu akan menyeruak dari warga dunia.

Jika jawabannya masih juga dari energi fosil, reaksi warga dunia kemungkinan 2, yaitu (1) berapa keuntungan dunia industri yang begitu kreatif memainkan isu perubahan iklim untuk memasarkan produk kendaraan listrik mereka pada kami, atau (2) kembalikan uang kami.

Pendeknya, entah apa yang akan terjadi jika pemerintah-pemerintah di dunia tidak siap dengan jawaban darimana naterai-baterai itu di-cas.

Perang Energi

Mengapa saya bersumsi bahwa EBT dan kendaraan listrik itu hanyalah halaman pertama penuh eusfemisme kata untuk menuju halaman selanjutnyan yang penuh dengan realita keras bernama energi nuklir?

Begini : Perang dagang raksasa-raksasa ekonomi dunia mulai mengarah pada perang energi. Kemajuan negara berkembang dan tertinggal di bidang industri dan pasar mulai tidak terbendung oleh negara-negara maju.

Telah tampak nyata bahwa dominasi negara maju di bidang industri hanya tersisa di sektor militer saja. Sedangkan di sektor sipil, pasar mulai didominasi produk dari negara yang selama ini dianggap negara tidak maju. Mulai dari sendal jepit sampai mobil dibuat bukan oleh negara maju lagi.

Lantas, maukah negara-negara maju itu mengalami pengurangan dominasi terharap negara lainnya? Pasti tidak. Mau menggunakan cara-cara militer untuk menjaga dominasi juga tidak mungkin. Maka, perang dagang adalah cara yang paling moderat.

Baku-pukul tarif masuk barang-barang antara AS – China telah menghancurkan rantai pasok global, menciptakan angka kemiskinan dan penganggur baru, dan menjatuhkan dunia dalam krisis ekonomi baru.

Tapi, tampak negara-negara korban perang dagang yang sekarang mengalami peningkatan kemiskinan dan penganggur baru itu masih aman, mungkin terjaga oleh Covid-19 sehingga krisis itu tidak menjelma menjadi aksi jalanan.

Maka, perang dagang kemungkinan besar akan diperluas ke perang energi dimana produksi minyak fosil akan dikurangi secara besar-besaran. Ketika dunia mengalami masalah kecukupan energi fosil, maka produk apapun yang kompelementer dengan BBM fosil tidak akan laku.

Artinya, produk dari negara seperti China akan terpukul karena tidak didukung lagi dengan BBM fosil yang cukup. Sedangkan negara-negara Barat yang sudah lama menjadi negara industri sudah siap dengan pembangkit nuklirnya, sehingga mereka siap mengekspor listriknya ke negara produsen kendaraan listrik seperti kita.

Ya, sepertinya mereka sedang menggiring kita ke ruang pertama berjudul EBT, dan kemudian kita kecewa karena EBT jauh panggang dari api-nya. Lalu setelah kecewa, kita masuk ke ruang kedua, nuklir, dimana negara nuklir itu sudah sangat siap dengan ekspor listrik nuklirnya.

Tentu saja Anda tidak akan melihat jaringan kabel raksasa dari negara-negara nuklir ke negara berkembang dalam rangka jual-beli listrik. Mereka akan memasang instalasi nuklirnya di negara-negara importir, tetapi dengan 100 persen di bawah kontrol mereka.

Alangkah beruntungnya negara-negara nuklir itu, mereka memiliki sumber energi murah, strabil, dan melimpah jika dibanding fosil atau energi otot kuda. Sedangkan kita menyiapkan kendaraan listrik yang pasti fanatik menyerap listrik produk mereka. Kita jadi konsumen lagi.

Penulis adalah Pengajar Di Perguruan Tinggi, Ketua Pokja pada Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumut, Alumnus STIK “Pembangunan” Medan.

  • Bagikan