Mal : Penyokong Globalisasi

  • Bagikan

Makanan atau minuman di tempat merek global di mana pun dan di negara mana saja cita rasanya sama, tidak berbeda. Inilah penyeragaman cita rasa dunia, cita rasa globalisasi, dengan mal sebagai penyokong

Mal sebagai pusat perbelanjaan modern bukan fenomena lokal melainkan gejala dunia, yang bermula dari Amerika Serikat. Amerika Serikat menginisiasi berdirinya tempat perbelanjaan dengan konsep parkir lebih luas di awal abad ke dua puluh.

Kemudian tahun 1950-an bersamaan dengan perkembangan masyarakat teknologi di negeri paman sam, mal pusat perbelanjaan modern berdiri dengan gedung bertingkat. Pusat perbelanjaan modern yang meninggi ke atas dengan tempat parkir luas.

Ditambah lagi ruang gerai berpendingin terus berkembang sampai di tahun 1970-1980-an menjadi pusat perbelanjaan modern meluas ke berbagai negara. Awal 1990-an mal modern bertumbuh ke penjuru dunia, sampai akhirnya tidak ada lagi belahan dunia yang tidak mempunyai mal.

Saat ini mal menjadi gejala jagad raya dengan perluasan konsep perbelanjaan dunia, modern dan saling meniru interior dan desain gerai dari satu negara ke negara lain. Karena menjadi rancang bangun bagian dari ekonomi dunia (kapitalisme) pertukaran barang-barang dari satu negara dengan produk negara lain tak pelak mal dijuluki sebagai penyokong globalisasi.

Globalisasi adalah hegemonisasi nilai yang seputar kapitalisme dan demokrasi yang dipancarkan dan disebarkan dari Amerika ke seluruh negara jagad raya. Antara globalisasi dan mal berkorelasi berdekatan. Mendunianya globalisasi sama sebangun dengan meluas mal ke penjuru dunia.

Sedari mula perkembangan sampai pertengahan 1950-an jauh berbeda dengan mal tahun 1990-an sampai sekarang. Mal seperti yang disaksikan berdiri kota besar suasana mirip dengan mal di negara lain. Mal tidak saja sebagai lokasi membeli bahan keperluan keseharian, tetapi juga tempat rekreasi akhir pekan.

Setiap mal mempunyai lokasi parkir luas yang dapat menempatkan ratusan kendaraam tidak saja di halaman parkir sekalilingnya, juga dapat diparkir di lantai bawah sampai lantai tertinggi yang aksesnya dapat langsung menuju gerbang masuk mal. Parkir luas berdekatan dengan pintu masuk mal semakin mendorong pengunjung bertandang.

Mal juga sebagai tempat rekreasi karena dirancang untuk pengunjung menghabiskan waktu berbelanja sampai ratusan menit berkeliling antara satu gerai ke garai lain ke gerai lainnya. Setiap ruang (gerai) didesain agar pengunjung kerasan menikmati produk yang djual.

Ruang (gerai) ditata dan disain dengan apik dengan gaya eksotis, lokal dan campuran berbagai tata letak adopsi berbagai mal dari negara manapun.

Mal menyediakan tempat mobil, sepeda motor, produk elektronik, kecantikan, busana, alat olah raga, bioskop, sepatu, cukur rambut,toko buku, keperluan rumah tangga, salon, arloji, resto kuliner Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Tionghoa atau oriental dan barat.

Lain dari ini ada gerai minuman yang asalnya dari berbagai negara selalu dipadati pengunjung. Malah dalam waktu tertentu mal menyelenggarakan pameran busana, mobil, sepeda motor, furnitur, pameran diskon alias potongan harga produk, dan sebagainya.

Ruang gerai ditampilkan dalam ruangn berpendingin, bersih, indah, tertata baik, pelayanan prima yang acap menampilkan perempuan cantik laki dan laki-laki muda ganteng dengan mengeluarkan kata-kata bahasa dunia (Inggris) saat meneririma pengunjung. Pengunjung atau pembeli dibuat rasa nyaman, aman dan tentu menyenagkan saat berada di dalam mal.

Mal juga mempunyai penggolongan dalam industri idan status kota yang besar. Di kota kabupaten satu dengan lainnya keberadaan mal bergantung dari kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

Di kabupaten yang relatif maju dan menampakkan modernitas dalam msyarakatnya akan bermunculan mal yang menyediakan produk-produk lebih mendunia ketimbang daerah yang masyarakatnya masih belum tergolong sejahtera biasanya mal menyediakan produk-produk untuk kelas menengah bawah sehingga dapat menyedot golongan menengah bawah terdorong menghabiskan waktu di mal.

Berbeda dengan mal kelas menengah bawah, mal di kota besar terutama Jakarta selain ada mal berkategori papan atas dengan sasaran pasar orang berpunya juga terdapat mal tergolong kelas menengah.

Urban

Di mal papan atas gerai-gerainya menyediakan produk merek dunia yang harganya sampai ratusan juta. Di mal papan atas merek dagang bergengsi seperti Louis Vuitton, Hermes, Cartier, Chanel, Burberry, Gucci, Tory Burg, Coach, Bally, Christian Dior dan sebagainya mudah dijumpai yang biasanya untuk melihat model terbaru produk-produk bergengsi tinggi calon pembeli rela antri berpanjang-panjang.

Demikian juga tas tangan, busana. sepatu merk dunia yang harganya tidak terjangkau orang kebanyakan selalu diburu orang berpunya. Produk merek dunia yang sedang terpajang di mal negara lain dalam waktu tidak lama dijumpai di mal papan atas.Jika ingin menyaksikan orang berpunya membeli produk dagang masyhur dunia dapat dilihatdi mal papan atas kota besar terutama Jakarta.

Mal sebagai penyokong globalisasi menyediakan kebutuhan primer dan sekunder pengunjungnya. Ia dikreasi bukan untuk keperluan perorangan (individual) melainkan keluarga urban menengah dan atas.

Jika pengunjung seseorang dan keluarga membeli produk, biasanya setelah membelinya tidak langsung hengkang ke luar mal pulang ke rumah. Pengunjung mal biasanya menyiapkan waktu berjalan mengitari satu gerai ke lainnya yang mulanya hanya untuk melihat sessuatu.

Tetapi kemudian karena terhipnotis berada di mal yang tadinya tak berniat membeli bisa jadi terpincut produk tertentu ujungnya dengan mudah mengeluarkan kocek untuk membelinya.

Sesudah berputar menyambangi gerai satu tentu akan berpindah ke gerai lain meskipun hanya melihat tanpa membeli. Jika merasa haus atau lapar dengan mudah mampir di gerai makanan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, China atau juga mencari makanan selera nusantara untuk mengisi rasa lapar.

Jika tidak makan bisa beristirahat ke gerai minuman semisal Starbuck, Dennys, The Coffee Bean and the Tea Leaf, Paris Baquette, Kenangan Heritage, dan sebagainya. Makanan atau minuman di tempat disebut di atas di mana pun dan di negara mana saja cita rasanya sama, tidak berbeda. Inilah penyeragaman cita rasa dunia, cita rasa globalisasi, dengan mal sebagai penyokong.

Saat makan minum pengunjung biasanya berfoto menunjukkan momen sedang menikmati makan di resto dengan variasi makanan. Momen berfoto disebar ke media sosial dengan harapan agar terbaca teman-teman yang bergabung di media sosial. Selesai makan atau minum bagi yang menjalankan solat mal menyediakan tempat solat.

Selesai shalat pengunjung dapat melanjutkan berjalan ke lantai lain untuk cuci mata melihat produk lain atau juga mencari lokasi strategis berswafoto yang kemudian diunggah ke media sosial.

Mal sengaja mendisain setiap ruang menjadi indah, nyaman, dingin, memesona dan kemodernan untuk menjerat agar pengunjung berlama-lama. Makin lama berada di mal makin besar uang yang dikeluarkan membeli produk.

Di sinilah mal berfungsi memproduksi budaya konsumen melecut pengunjung menjadi konsumtif dan mendikte apa yang dikonsumsi masyarakat. Tersebab itu jika pengunjung mal di hari libur berseliweran terlihat memakai busana, tas tangan, dan sepatu bermerk dunia yang harganya tak terjangkau orang kebanyakan.

Pengunjung membeli barang mewah di mal, dipakai dan diperlihatkan di mal yang merupakan ruang pamer produk bermerek dan status sosial.. Dengan menenteng tas tangan, sepatu dan busana mahal di ruang gerai mal dengan mudah ditebak kedudukan posisi seseorang dalam masyarakat.

Pun orang yang bekerja padat setiap harinya, di akhir minggu selalu menghabiskan waktunya di akhir minggu berbelanja, menikmati sajian makanan minuman dan menonton bisokop di mal.

Bermain dan membunuh waktu di mal di akhir pekan membawa kenikmatan tesendiri. Mereka tidak perlu lagi bersusah payah mencari tempat tertentu membunuh waktu, tetapi cukup berselancar dan berkongkow mengisi waktu setelah bekerja penuh setiap harinya sampai menjelang akhir pekan

Mal menjadi bagian denyut nadi masyarakat urban, tempat keluarga berkumpul bersama dan sebagai tempat hiburan. Makin besar uang yang dibelanjakan membeli produk yang ditata kapitalisme global makin nyata masyarakat urban menjadi sekrup penyokong globalisasi.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan