Megaproyek IKN Legacy Indonesia? Oleh Shohibul Anshor Siregar

  • Bagikan

Tetapi nasib megaproyek IKN tidak mesti dibayangkan sama dengan bangunan kantor Gubsu yang tak kesampaian itu. Makin banyak orang meragukan megaproyek IKN yang digagasulang Jokowi. Memaksapatutkannya sebagai legacy kepemimpinan juga sangat debatable

Pertengahan 1988 yang lalu, di sebuah lokasi dalam wilayah Kabupaten Deliserdang, berbatasan dengan Jalan Willem Iskander Medan, di atas tanah eks HGU PTPN berukuran amat luas, pernah dirampungkan pembangunan sebuah bangunan besar. Papan mereknya “Kantor Gubernur KDH Tingkat I Provinsi Sumatera Utara.”

Waktu itu pelaksanaan pembangunan dan acara peresmiannya dipercepat untuk menandai berakhirnya masa jabatan orang nomor satu dalam pemerintahan. Tetapi hari-hari setelahnya pejabat pengganti merenovasi kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) yang hingga kini tetap beralamat di Jalan P.Diponegoro Nomor 30, Medan.

Selain menjadi salah satu pertanda awal kesemberonoan politik pemerintah nasional dan lokal memperlakukan aset eks HGU PTPN yang hingga kini terus bermasalah, bangunan kantor pun tidak pernah menjadi sebuah legacy sama sekali.

Lahan amat luas eks HGU PTPN yang digunakan dan yang sebetulnya dipagar beton keliling itu pun kini telah dibagi-bagi. Di atasnya telah berdiri berbagai bangunan megah milik para pihak meski di sebagian sisa lahannya masih berdiri kantor pemerintahan.

Begitulah. Kerap sebuah megaproyek dipandang sangat layak oleh pemodal. Tetapi tidak selalu terterima bagi masyarakat luas. Meski awalnya terbukti mengendalikan, tetapi pemodal tak selamanya berhasil mendikte kekuasaan berikutnya.

Apa masalahnya? Ketimbang mengarahkan tudingan kepada kekuasaan yang menolak megaproyek pada periode berikutnya, sangat lebih masuk akal menelaah irasionalitas pemilik megaproyek yang memaksakan kehendak menjelang masa jabatannya berakhir.

Mempertanyakan 8 Prinsip IKN

Dinamai Nusantara, IKN menjanjikan 8 (delapan) prinsip (https://ikn.go.id/). Pertama, mendesain sesuai kondisi alam. Lebih dari 75 persen kawasan hijau. Ada klaim 100 persen penduduk memiliki akses mudah ke ruang terbuka hijau, dan 100 persen konstruksi ramah lingkungan (setiap bangunan bertingkat institusional, komersial, dan hunian).

Kedua, Bhinneka Tunggal Ika, dengan argumen bahwa 100 persen integrasi seluruh penduduk, baik lokal maupun pendatang; 100 persen warga dapat mengakses layanan sosial dengan mudah; 100 persen tempat umum dirancang menggunakan akses universal, kearifan lokal, dan desain inklusif.

Ketiga, terhubung, aktif, dan mudah diakses; karena 80 persen perjalanan diklaim dengan transportasi umum atau mobilitas aktif; 10 menit ke fasilitas penting dan simpul transportasi; kurang dari 50 menit koneksi transit ekspres dari kawasan inti pusat pemerintahan ke bandara strategis pada 2030.

Keempat, rendah emisi karbon; karena instalasi kapasitas energi terbarukan akan memenuhi 100 persen kebutuhan energi IKN; 60 persen peningkatan efisiensi energi dalam bangunan umum yang baru pada 2045; dan net zero emissions di IKN pada 2045.

Kelima, sirkuler dan tangguh; karena 10 persen dari lahan seluas kawasan pemerintahan IKN tersedia untuk kebutuhan produksi pangan; 60 persen daur ulang semua timbulan sampah pada 2045; dan 100 persen air limbah akan diproses melalui sistem pengolahan pada 2035.

Keenam, aman dan terjangkau; karena 10 kota terbaik menurut Global Liveability Index pada 2045; semua permukiman di kawasan pemerintahan IKN memiliki akses terhadap infrastruktur penting pada 2045; perumahan yang adil dengan perbandingan 1:3:6 untuk jenis perumahan mewah, menengah, dan sederhana.

Ketujuh, kenyamanan dan efisiensi melalui teknologi; karena memperoleh peringkat very high dalam perangkat e-Gov Development Index oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB); 100 persen konektivitas digital dan TIK untuk semua penduduk dan bisnis; dan lebih dari 75 persen kepuasan bisnis dengan peringkat layanan digital.

Kedelapan, peluang ekonomi untuk semua; karena nol persen kemiskinan di IKN pada 2035; PDB per kapita negara berpendapatan tinggi; dan rasio Gini regional terendah di Indonesia pada 2045.

Delapan prinsip itu mirip sebuah daftar keinginan yang masih bisa ditambah beberapa nomor ke belakang, baik dengan menggunakan ungkapan-ungkapan Sanskerta mau pun istilah teknis berbahasa Inggeris yang lazim digunakan oleh para pengendali megaproyek dunia.

Tetapi seluruh kekuatannya telah runtuh. Pertama, tatkala Menteri paling bertanggungjawab untuk megaproyek IKN ini mengaku tidak tahu-menahu status kepemilikan lahan-lahan yang ditunjuk menjadi lokasi IKN. Tak hanya mencerminkan perencanaan yang buruk, tetapi juga indikasi dikte oligarki (https://bisnis.tempo.co/read/1554063/kepala-bappenas-tak-tahu-ada-konsesi-tambang-di-ibu-kota-negara).

Kedua, awalnya disebut tak akan menggunakan sepeser pun dana APBN. Tetapi kemudian, seperti megaproyek Joko Widodo tertentu lainnya, janji penuh meyakinkan terpaksa diralat. IKN didanai APBN sebesar 19.2 persen dari total biaya yang diperlukan. Terakhir melonjak menjadi 53,3 persen (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220118103039-532-747970/tembus-rp200-t-apbn-jadi-penopang-anggaran-ibu-kota-baru).

Ketiga, ketika perancang Istana Negara di IKN, I Nyoman Nuarta mengungkap anggaran berkisar Rp2 triliun, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menilai terlalu mahal. Hanya untuk Istana Negara, tak masuk akal membelanjakan Rp2 triliun, hanya untuk satu fungsi bangunan. Sangat sangat berlebihan (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220211075847-20-757806/istana-ikn-makan-biaya-rp2-triliun-ridwan-kamil-anggap-tak-masuk-akal).

I Nyoman Nuarta ternyata seorang pematung. Protes Asosiasi Profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) tak diindahkan (https://bisnis.tempo.co/read/1448447/5-asosiasi-kritik-desain-istana-di-ibu-kota-baru-nyoman-nuarta-10-juga-boleh).

Bangunan gedung Istana Negara seharusnya merefleksikan kemajuan peradaban/budaya, ekonomi dan komitmen pada tujuan pembangunan berkelanjutan dalam partisipasi di dunia global.

Seharusnya menjadi contoh bangunan yang secara teknis sudah mencirikan prinsip pembangunan rendah karbon dan cerdas sejak perancangan, konstruksi hingga pemeliharaan gedungnya.

Harus disesuaikan menjadi monumen atau tugu tengaran (landmark) pada posisi strategis di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan dilepaskan dari fungsi bangunan istana (https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/filosofi-hingga-kritik-desain-istana-negara-di-ibu-kota-baru/3).

Karena itu narasi yang berusaha menunjukkan keunggulan amat teknis lainnya tak lagi menarik untuk dibincangkan, termasuk yang pernah dikemukakan Joko Widodo: minim risiko bencana; sangat strategis karena secara geografis berada persis di tengah Indonesia; lokasi calon ibu kota baru berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang; infrastruktur di dua kabupaten sudah relatif lengkap; dan pemerintah sudah menyiapkan lahan luas di calon ibu kota baru 180.000 hektar (https://www.merdeka.com/peristiwa/lima-alasan-jokowi-pilih-penajam-paser-utara-kutai-kartanegara-jadi-ibu-kota-baru.html).

Tak ayal, belakangan, dengan berbagai bentuk ekpresinya, pengeritik IKN tak lagi hanya terbatas pada orang di luar “Solidaritas Nasional Cebong” (https://m.tribunnews.com/nasional/2022/02/08/polemik-pindah-ikn-dari-digugat-ke-mk-hingga-adanya-petisi-mantan-pendukung-jokowi?page=all).

Spektrum sorotan kritis meluas. Tak hanya berkisar pada argumen pindah IKN sebagai aksi lari dari masalah sebagaimana dilontarkan oleh Emil Salim (https://www.cnbcindonesia.com/news/20190823175736-4-94284/emil-salim-please-pak-jokowi-tak-perlu-pindah-ibu-kota).

Imajinasi Orang Miskin

Dianggap tak peka, ekonom Faisal Basri mengkritik pengalihan pendanaan pengendalian Covid-19 ke rancangan IKN. Menurutnya, ini adalah kejahatan luar biasa (https://bisnis.tempo.co/read/1552589/dana-covid-19-digunakan-untuk-ikn-faisal-basri-kejahatan-luar-biasa/full&view=ok).

Faisal Basri mengaku dulu memilih dan terus mendukung Joko Widodo. Sekarang ini menilai sudah pada situasi critical moment. Ucapannya yang amat sensitif pantas dipetik: “Para oligarki yang sebetulnya mirip koalisi jahat. Koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling buka-bukaan karena pembagiannya tidak merata. Akhirnya rakyat tahu semua dan kita harus mempercepat proses rakyat tahu semua itu agar perlawanan rakyat betul-betul terwujud” (https://news.detik.com/berita/d-5922603/faisal-basri-ramal-moral-pemerintahan-ambruk-sebelum-2024-simak-lagi-sosoknya).

Penutup

Semua ini terkait dengan negara dan bangsa yang tetap berkutat pada kemiskinan. Kemiskinan itu budaya, involusi yang menyulitkan gerak keluar dari jepitan kesulitan ekonomi yang parah.

Selalu ada kombinasi kultur dan struktur yang menyebabkan gagasan lemah. Jarak pandang (visi) tak jauh. Rasa puas atas jawaban-jawaban mengambang dan karitatif sangat menonjol dalam psikologi dendam kemiskinan.

IKN adalah sebuah objek imaginasi di tengah kesulitan awam yang faktanya terus semakin menderita (ekonomi, sosial, hukum dan politik). Para awam berusaha menangkap makna obsesionalnya, menautkan dengan semua wujud peradaban ragawi yang pernah disebut produk kecerdikan manusia di atas permukaan bumi.

Tetapi nasib megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) tidak mesti dibayangkan sama dengan bangunan kantor Gubsu yang tak kesampaian itu. Tetapi kini makin banyak orang meragukan megaproyek IKN yang digagasulang Presiden Joko Widodo.

Kata mereka yang kini tak lagi terbatas dari kalangan “solidaritas nasional cebong” itu, IKN bukan solusi Indonesia. Memaksapatutkannya sebagai legacy kepemimpinan juga sangat debatable.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan