Membangun Indonesia

  • Bagikan


Oleh Shohibul Anshor Siregar

Membangun Indonesia. Jangan takut berkata benar (politik bebas aktif sebagaimana diajarkan mahaguru H Agussalim), ketika negara-negara haus darah berkelahi menghasilkan penderitaan para pelanduk yang malang

Seorang politisi lokal dari PAN, yang “sedang diistirahatkan”, sebutlah MS, merencanakan sebuah acara. “Segera….On Air: Estafet Kepemimpinan. Tokoh Muda dan Masa Depan Sumatera Utara”. Ia mencatat sejumlah nama yang diklaimnya muda sebagai narasumber.

Pertama, Dr H. Saleh Partaonan Daulay, M.Ag., M.Hum., M.A (SPD). Ketua FPAN DPR RI (48 tahun). Kedua, Dr H. Dedi Iskandar Batubara, S.Sos., S.H, M.S.P (DIB), Anggota DPD RI (43 tahun). Tak disebutkan jabatan lain Ketua DPW Al-Washliyah Sumut.

Ketiga, H. Musa Rajekshah, S.Sos., M.Hum (MR), Wagubsu (48 tahun). MS tak menyebut Ketua DPD Tingkat I Golkar Sumatera Utara. Keempat, Drs Rapidin Simbolon, SE, MM (RS), Ketua PDI-P Sumut (55 tahun). Tak disebut calon petahana Pilkada Samosir yang tidak berhasil.

Bagi MS tokoh-tokoh ini layak memimpin Sumut pasca Eramas, kurang lebih hanya karena muda dan peran tertentu dalam jabatan, sembari mengabaikan defisit hak daerah dalam penentuan akhir calon Kepala Daerah.

Gubsu Usia Muda
MS tidak tahu, di antara Gubsu terdapat sejumlah figur berusia di bawah 50 tahun. Sutan Mohammad Amin Nasution (1904), menjadi Gubsu pertama 1947 (43 tahun). Abdul Hakim Harahap (1905), menjabat mulai 1951 (46 tahun). Ulung Sitepu (1917), mulai menjabat 1963 (46 tahun).

Marah Halim Harahap (1921), mulai menjabat 1967 (46 tahun). Legacy Sumut tak selalu karena usia muda. MS tidak tahu itu.

Kalau pilgubsu dilaksanakan 2024, maka usia SPD 50 tahun, DIB 45 tahun, MR 50 tahun dan RS 57 tahun. Jika definisi usia muda adalah di bawah 50 tahun, maka acara yang direncanakan MS adalah dorongan khusus kepada DIB, bukan yang lain.

Jika usul menunda pemilu berdampak perpanjangan masa jabatan Gubsu maka usia jagoan MS sudah akan terlalu tua dibanding para Gubsu termuda yang pernah memimpin Sumut.

Karena itu, jika muda dan milenialitaslah yang menjadi determinan utama MS, ia harus mencari figur kelahiran tahun 1980 sampai 1990. Bermutu atau tidak, tak perlu dipikirkan. Asalkan muda saja dan ada jabatan.

Perubahan Mindset
Masih belum berubah mindset usang yang udik ini, dan demokrasi terus merasa benar hanya berburu kekuasaan tanpa tahu bagaimana membela rakyat menderita oleh copy paste nilai-nilai pemerintahan kolonial.

Muda, millenial, kata kunci penyesatan. Selalu digunakan tanpa dasar hari-hari belakangan ini. Bicara tentang estafet kemimpinan, sesuai topik MS itu, SPD tak pernah terdengar berencana mengganti Zulkifli Hasan (satu-satunya Ketum PAN yang menjabat dua periode) dan jika Fraksinya punya daya, gagaslah impeachment agar Joko Widodo berhenti “berkicau”.

Asas terdalam yang harus ditorehkan untuk rencana MS tentulah sirkulasi kekuasaan. Jangan pura-pura tidak tahu, dan jangan kira orang di luar tidak tahu, bahwa PAN tempat SPD berlabuh itu sudah babak belur.

Sampai-sampai pendiri Mohd Amien Rais yang membuat banyak orang menjadi kaum elit tanpa kesyukuran dan mungkin sangat benar sinyalemen banyak orang “juga ikut mengkhianati reformasi”.

Kepemimpinan dan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat, hulunya di Jakarta, pemerintahan pusat, sesuai sistem. Jika pun SDP, DIB, MR, RS, dikukuhkan sekarang menjadi Gubsu atau gubernur Sumteng, Kepulauan Nias, Protap, sesuai hasrat pemekaran, taklah bisa banyak berbuat di tengah sistem otonomi sentralistik yang sangat ketat.

DIB tentu tahu “wilayah tempur” orang daerah yang dilegitimasi melalui pemilu untuk duduk di Senayan. Tak hanya dia, 30 orang dari partai, 4 elit rakyat, pergi ke Jakarta, menjadi orang pusat, tak pernah berani menyuarakan aspirasi rakyat daerah yang diwakilinya.

Tetapi mengapa yang terorbit melalui dapil provinsi ke kursi DPD, yang seyogyanya tak perlu takut kepada sesiapa sebagai “mandor besar” sebagaimana anggota Parpol yang diorbitkan ke Senayan, juga tidak berkiprah?

Memang DPD itu mirip Lembaga Swadaya Masyarakat. Kelebihan yang nyata memang berkantor di Senayan. Peran dan fungsinya sangat sepele dan berulangkali usaha untuk mengamandemen konstitusi mereka perjuangkan agar perannya terasakan penting dalam proses kenegaraan dan pemerintahan.

MR, Wagubsu. Dalam jabatannya itu rakyat banyak berharap. Sugguh, pekong demi pekong sudah menjadi fenomena inherent dalam sistem pemerintahan. Soekarno vs Hatta, mengabadikan hasrat menjadi Presiden Seumur Hidup.

Turunnya Soeharto bukan andil buruk BJ Habibie, namun tanyalah mengapa Golkar mencari celah menjatuhkannya hingga tak meneruskan kepemimpinan selanjutnya yang jika dia diberi kesempatan ada harapan kini kita tak lagi klenikis seperti sekarang ini.

Kisah-kisah lain juga sangat tak indah ketika pekong Gus Dur dengan Mega, SBY dengan M Jusuf Kalla dan kini Joko Widodo dengan Ma’aruf Amin.

Seseorang memberitahu Edy Rahmayadi ulang tahun 10 Maret 2022 yang lalu. Penulis datang dengan terlebih dahulu berjama’ah Subuh di masjid dekat rumahnya. Usai shalat, penulis segera beranjak, namun di shaf ke 5 ada Edy Rahmayadi, mengulurkan tangan dan saat salaman meminta penulis duduk dekat Beliau hingga zikir selesai.

Dari masjid menuju rumah berjarak beberapa belas meter. Ternyata di halaman telah tersedia berbagai instrumen acara khas ulang tahun. Isteri Beliau “memaksa” berbuka puasa (Kamis) dan jadilah seremoni ulang tahun itu. Segera penulis dibawa masuk ke ruangan dan hampir 1 jam berbincang.

Ibu Beliau hadir, itu momentum kami berpisah. Sebelumnya penulis tanyakan “cucu pertama kita lelaki atau perempuan?” Semoga untuk yang pertamakali nanti ada perempuan yang menjadi Pangdam I/BB, Pangkostrad dan Panglima TNI, penulis tegaskan.

Besoknya, Jum’at, seseorang dari kantor Gubsu menelefon dan ingin bertemu. Penulis persilakan datang ke kampus. Dari orang ini penulis tahu penggalan pidato ulangtahun Edy Rahmayadi:

“Saya baru didatangi seseorang yang banyak memberi pendapat tentang negara, bangsa dan Sumut. Saya sempat GR (gede rasa), tetapi hingga akhir pembicaraan saya tak mendengar ucapan selamat ulang tahun. Antara lain saya diingatkan jangan pekong. Padahal saya tak pekong dengan pak Ijeck. Kan Pak Ijeck?” Kata yang melaporkan itu mereka (Edy Rahmayadi dan Ijeck) pun berangkulan.

Memang penulis hanya ingin menegaskan itu saat berniat datang pada momentum ulangtahun Edy Rahmayadi. “Jika pun nanti kalian maju sendiri-sendiri, membuang Eramas, silakan. Tetapi itu bermakna karpet merah buat pasangan ketiga, dari partai pimpinan RS. Bukan dianya, sebab susah berkisah tentang demokrasi dan pemerintahan serta pembangunan dengan kendala tradisi internal partanya yang begitu rupa”.

Makroekonomi Konstitusi
Penulis tidak tahu suara MS ini didisain siapa, tetapi ingin berpesan: “Indonesia memerlukan pemikiran baru non-dendam, non-Islamofobia, non-klenikis, non-kolonialis, non-feodalistik, non-kasakkusukis, dan memerlukan taat makroekonomi konstitusi.”

Lima pesan imperatif konstitusi (Pembukaan) perlu ditelaah secara filosofis. Pertama, hapuskan penjajahan (jangan lagi ada namboruku “bertelanjang” di Sigapiton menghadapi kekuatan negara, diusir dari tanah nenekmoyangnya karena pemanjaan kapitalis);

Kedua, lindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah (jangan biarkan pengangguran dan rentetan PHK dan optimalisasi jawaban berupa UU Cipta kerja sungguh menorehkan duka amat dalam. Beri rakyatmu pekerjaan last resort. APBN dan APBD sanggup menampung itu. Bilang ke Sri Mulyani, setiap merumuskan APBN targetkan nol persen pengangguran.

Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Katakan kepada Joko Widodo, di mana ia sembunyikan minyak goreng hasil sawit nusantara yang melimpah.

Katakan kepada Mega, bermaksud apa menyuruh rakyat mengabadikan penderitaan rebus merebus dan panggang memanggang hanya karena oligarki sangat memerlukan mainan komoditi sawit dan produk turunannya untuk hegemoni mereka? Paksa pemerintah berpedoman pada pasal 33 UUD 1945.

Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD 1945 mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan. Mengapa hasilnya tak menggembirakan? Telaahlah di mana kekorupsian telah membatalkan perintah sakral konstitusi ini.

Pula, jangan merasa jagoan dengan BPJS, karena di negara welfare state hal-hal begitu bisa gratis. Jangan berdagang dengan rakyat untuk urusan pendidikan dan kesehatan.

Kelima, ikut menertibkan dunia. Speak up saat Xi Jinping menindas Uyghur. Saat Myanmar memburu Muslim. Saat Modi (India) mengeliminasi hak Muslim dan memburu mereka di ruang-ruang publik.

Membangun Indonesia. Jangan takut berkata benar (politik bebas aktif sebagaimana diajarkan mahaguru H Agussalim), ketika negara-negara haus darah berkelahi menghasilkan penderitaan para pelanduk yang malang.

Penutup
Berburu kekuasaan itu sah, dan memang mungkin orang hanya merasa hanya untuk itulah partai didirikan. Beberapa hari lalu BRIN menggelar forum daring Professor Talk bertema “Membangun dari Perbatasan”.

Mereka seperti memasukkan anggur lama ke botol baru. Malas memikirkan akar masalah Indonesia karena mindset Inlanderitas akibat terlalu lama dijajah bangsa asing; praktik penjajahan oleh bangsa sendiri; keasyikan elit didikte bangsa atau korporasi asing; dan keniscayaan kelompok amat kecil yang dimanjakan mendisain ekonomi dan politik sejak zaman penjajahan.

Jangan lupa, tuan-tuan, rakyat adalah determinan utama republik ini didirikan. Sejahterakan, jangan terus mengorbankannya demi legitimasi belaka, misalnya untuk insentif buruk perpanjangan masa jabatan dan atau penundaan Pemilu.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan