Membangun Narasi Aceh Damai

  • Bagikan

Oleh Tabrani Yunis

Pagi Sabtu, 30 September 2023, ketika melayat adik sepupu meninggal, Ir. Ahlan Rinaldi, yang merupakan putera Almarhum Zakaria Ahmad, mantan Kepala Museum Aceh, penulis bertemu Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof. Ishak Hasan di tempat itu. Kami duduk di sofa yang bisa ditempatkan oleh 3 orang. Penulis duduk di tengah diapit oleh Pak Amir yang kini masih bertugas di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh dan sebelah kiri adalah Prof. Ishak Hasan.

Biasalah kalau di sela-sela waktu menunggu prosesi mempersiapkan salat dan pengantaran ke pemakaman, ada kesempatan untuk saling bercerita atau berbagi ilmu dan pengalaman. Ya, dari pada hanya terdiam tanpa kata, maka pertemuan yang tak direncanakan itu, bisa lebih bermanfaat. Pertemuan ini pun menjadi pertemuan yang sangat berharga bagi penulis. Alasannya, ya, karena pertemuan itu, selain bisa memyambung tali silaturahmi yang lama terputus. Kedua, pertemuan ini terasa eksklusif bagi penulis karena bisa berdiskusi secara kritis dan produktif dengan dua narasumber yang sangat pakar atau sarat pengetahuan dan pengalaman. Penulis mendapatkan banyak pengetahuan dari dua orang ini.

Sebelum Prof Ishak Hasan datang, percakapan berlangsung antara penulis dengan Pak Amir. Beliau banyak dan sangat faham tentang sejarah Aceh, termasuk sejarah masuknya Islam di Tanah Serambi Makkah. Penulis mendapat pengayaan atau enrichment di bidang sejarah. Ya, dari percakapan yang sangat singkat dengan Pak Amir, penulis menyimpulkan betapa pentingnya pengetahuan mengenai sejarah bagi generasi bangsa ini. Belajar sejarah akan mengajarkan kita tentang segala peristiwa, pengalaman, baik dan buruk yang terjadi di masa lampau, menjadi pelajaran di masa kini dan di masa depan. Dengan belajar sejarah kita akan bisa bernarasi tentang apa yang terjadi, siapa tokoh atau pelaku, kapan, di mana, mengapa hal itu terjadi dan bagaimana terjadi dan pelajaran apa yang bisa diambil.

Semua itu, mengajarkan kita agar kita tahu fakta, bahkan proses sesuatu itu terjadi. Maka, bagi kita sebagai bangsa, pasti memiliki sejarah, seperti halnya sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan dari penjajah yang dahulu menjajah bangsa ini. Dengan mempelajari sejarah pula, kita akan tahu dan faham tentang segala perubahan yang terjadi di masa lalu, sesungguhnya selalu Menengah uni kehidupan kita di masa kini dan di masa depan dalam berbagai aspek. Oleh sebab itu, kita juga pernah diingatkan oleh founding father, Soekarno, agar tidak merupakan sejarah.

Nah, perbincangan soal sejarah bersama Pak Amir, bersambung erat dengan perbincangan penulis dengan Prof. Ishak Hasan, yang saat ini menjadi Rektor UTU di Meulaboh, Aceh Barat. Beliau ternyata juga sangat concern dengan apa yang terjadi di lingkungan kehidupan masyarakat di Aceh, sejarah Aceh, maupun nasional. Ya, Aceh sebagai bagian dari sejarah nasional, memiliki catatan sejarah yang sangat panjang. Aceh memiliki sejarah kelam sejak masa penjajahan, masa Indonesia Merdeka, masa-masa konflik Aceh yang begitu panjang, lebih kurang 30 tahun itu, hingga membuat catatan Perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Vanta, Helsinki yang hingga kini disebut dengan MoU Helsinki.

Nah, terkait dengan hal itu, beliau sangat risih melihat tempat-tempat atau fasilitas bersejarah yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya pemeliharaan oleh pihak yang berwenang, mulai dari gerbang masuk Aceh dengan tugu yang tak terawat, situs-situs sejarah yang tak memberikan pelajaran buat atau bagi generasi muda. Beliau misalnya memberikan contoh tentang Peninggalan sejarah di Aceh.

Maka, dalam konteks peninggalan sejarah Aceh misalnya ada kuburan Belanda yang menjadi bukti sejarah bahwa ada banyak pasukan tentara Belanda yang tewas atau gugur di Aceh dan dikebumikan di Kerkof, Banda Aceh. Seharusnya, kata Prof. Ishak Hasan, di komplek kuburan itu ada narasi -narasi damai yang penting diambil hikmah oleh setiap generasi. Narasi itu bisa saja disampaikan dengan damai. Misalnya, kuburan ini adalah bukti kekejaman perang. Hindarilah perang dan bangunlah perdamaian. Bukan hanya itu, tidak jauh dari Kerkof, ada Gunongan, yang tampak sepi itu. Harusnya agar generasi Bangsa ini faham akan eksistensi Gunongan, bisa juga dibuat narasi damai Aceh bahwa Gunongan adalah bukti cinta sang raja dahulu terhadap sang puteri. Tentu ada banyak situs sejarah Aceh yang bisa diberikan narasi-narasi damai, sejalan dengan upaya Pemerintahan Aceh membangun damai Aceh, pascapenandatanganan MoU Helsinki yang belum semua butir perjanjian itu diimplementasikan. Ya, ini hanya beberapa contoh narasi damai dalam membangun Aceh Damai.

Sayangnya pertemuan dan perbincangan kami tidak bisa berlangsung lama. Kami tidak bisa berdiskusi lebih panjang, karena prosesi di rumah duka sudah Siap untuk mensalatkan jenazah di masjid. Perbincangan pun harus terputus, walau masih banyak hal penting yang belum sempat digali lebih banyak dan lebih dalam. Tulisan ini pun sesungguhnya menjadi catatan kecil yang penting untuk diperdalam dan didiskusikan agar bisa menjadi bahan pemikiran dalam membangun Aceh damai, kini dan untuk di masa depan. Sebab, damai Aceh, bukan lah hanya untuk dinikmati oleh generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang. Semoga!

Penulis adalah pengamat pendidikan, mantan guru, pegiat literasi dan jurnalistik

  • Bagikan