Membangun Pendidikan Aceh Tanpa Grand Design?

  • Bagikan

Oleh Tabrani Yunis

Sudah lama keinginan untuk menulis tentang Grand Design Pendidikan Aceh. Penulis menganggap bahwa untuk membangun pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan serta sesuai dengan harapan harus memiliki Grand Design Pendidikan. Dengan adanya Grand Design ini kita bisa secara holistik memahami mimpi besar pendidikan Aceh ke depan. Ya, adanya grand’ design tersebut, kita akan dapat membaca, mengetahui dan mempedomani arah atau kiblat pendidikan Aceh sejak disagiante hingga ke depan. Jadi, posisi Grand Design pendidikan Aceh itu penting. Oleh sebab itu, Penulis pun kemudian terus berusaha mencari tahu tentang keberadaan grand’ design pendidikan Aceh tersebut.

Sayangnya niat menulis hal itu pun terhenti sekian lama, menjadi sekadar ide, karena belum menemukan sejumlah referensi yang menyatakan bahwa Aceh selama ini membangun sektor pendidikan dengan berpedoman kepada Grand Design pendidikan Aceh.

Namun pada tanggal 12 September 2023, saat penulis sedang menikmati segelas minuman jahe hangat dan sepiring ketela rebus di cafe Cut Ayah yang tidak begitu jauh posisinya dengan POTRET Gallery di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh, penulis membuka dan membaca Serambi Indonesia dan menemukan tulisan Prof. Dr. Apridar dengan judul, “ Grand Design Pendidikan Aceh”.

Saat membaca judul tulisan itu, penulis langsung berkata sendiri. Nah, “ ini yang dicari – cari selama ini. Akhirnya dapat juga”. Ya, sebuah pencarian yang cukup lama dan belum pernah menemukan Grand Design Pendidikan Aceh. Maka, penulis merasa mendapat mutiara yang terpendam. Namun, setelah membaca tulisan Prof. Dr. Apridar tersebut, harapan untuk mendapatkan Grand Design Pendidikan Aceh kembali buyar. Mengapa?

Ya, setelah membaca berulang-ulang dengan tujuan menemukan wujud dari Grand Design tersebut. Penulis tetap tidak menemukan wujud Grand Design Pendidikan Aceh, kecuali penjelasan-penjelasan yang sangat normatif dan retorika tentang Grand Design Pendidikan Aceh. Prof. Dr. Apridar menjelaskan bahwa GRAND Design Pendidikan Aceh adalah upaya komprehensif untuk meningkatkan mutu pendidikan di provinsi tersebut, dengan fokus pada pengembangan guru, kurikulum yang relevan, infrastruktur yang memadai, dan pemberdayaan masyarakat. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing untuk generasi Aceh yang lebih baik di masa depan ( Serambinews.com) 10 September 2023.

Dari penjelasan di atas, penulis kembali bertanya, apakah ini yang dimaksud dengan Grand Design pendidikan Aceh? Bila ya, apakah Grand Design ini mencakup semua jenjang pendidikan dan jenis serta ragam pengelola pendidikan Aceh? Pertanyaan ini perlu dijawab, karena ketika kita berbicara soal pendidikan Aceh, atau kualitas pendidikan Aceh yang selama ini kita perdebatkan, kita terjebak dengan generalisasi. Maksudnya, ketika kualitas lulusan SMA rendah, yang diklaim adalah pendidikan Aceh rendah. Padahal bila dikatakan pendidikan Aceh, tidak hanya kualitas sekolah -sekolah menengah atas (SMA) maupun SMK di bawah naungan Dinas Pendidikan Aceh, tetapi mencakup semua jenjang pendidikan dari Sekolah Dasar hingga perguruan Tinggi, dari sekolah -sekolah atau lembaga pendidikan di bawah Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/kota, Kemenag, Badan Dayah, dan instansi lain seperti Perindustrian dan lain-lain, termasuk Kemendikbudristek pada level Perguruan Tinggi.

Nah, bila dicermati penjelasan Prof. Dr. Apridar mengenai Grand Design pendidikan Aceh tersebut, sangat terasa ada penyempitan makna akan pendidikan Aceh. Ya, dari penjelasan itu tersirat bahwa Pendidikan yang dimaksud hanya mencakup pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Cobalah dibaca, tidak ada sedikitpun menyentuh aras pendidikan Tinggi di Aceh yang sejatinya adalah bagian dari pendidikan Aceh dan ketika membuat Grand Design Pendidikan Aceh, Perguruan Tinggi harus masuk dalam Grand Design Pendidikan Aceh. Ya, sudahlah. Yang jelas dari pencarian Grand Design Pendidikan Aceh adalah sebuah misteri. Dikatakan misteri, karena sudah lama penulis cari, hingga kini belum ditemukan seperti apa konsep atau wujud Grand design Pendidikan Aceh itu.

Tentu seperti kita lihat sekarang. Masing-masing menjalankan sesuai keinginan dan program serta masalah sendiri. Tidak ada sinergi dan Koordinator. Ya, ketika Grand design Pendidikan Aceh tidak ada, atau tidak pernah dibuat, maka ketiadaan Grand Design Pendidikan Aceh adalah sebuah bukti nyata bahwa pemerintah Aceh selama ini menjalankan program pendidikan, tanpa ada mimpi besar, mimpi bersama yang secara bersama ingin dicapai dan diusahakan untuk dicapai. Kalau pun ada mimpi adalah mimpi pendidikan Nasional. Padahal Aceh memiliki status lex specialist dalam hal pendidikan.

Idealnya Aceh sebagai daerah yang mengelu-elukan pendidikan sebagai sektor yang diistimewakan atau diberi otoritas dan otonomi, harus memiliki Grand Design Pendidikan yang bukan hanya sekadar hasil strategic planning di semua instansi pengelola Pendidikan. Barangkali inilah sebabnya, pendidikan Aceh berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan politik penguasa di semua level. pemerintah kabupaten dan kota sendiri, Pemerintah Provinsi juga sendiri, Kemenag dan badan dayah juga sendiri-sendiri dan begitu pula halnya dengan perguruan tinggi yang ada di Aceh. Ya, apa mimpi besarnya? Anggaran? Ya, itulah yang dikejar kelihatannya.

Seharusnya mimpi besar dan bersama itu menjadi trigger,dan guidance dalam menyusun Grand Design pendidikan Aceh. Misalnya (bila ini mimpi besar) membangun pendidikan Aceh yang Islami, namun mimpi itu juga kandas. Bayangkan saja, dulu sudah dirancang kurikulum pendidikan Aceh yang Islami, namun kurikulum itu tidak jelas di mana kuburnya. Kalau lah mati, kita bisa melihat kuburnya, namun kurikulum yang dirancang dengan biaya yang tidak sedikit itu hilang tanpa rimbanya.

Seharusnya para pemerintah Aceh dan para pemangku kepentingan pembangunan pendidikan Aceh membuat Grand Design pendidikan Aceh sebagai sebuah rencana strategis untuk membangun pendidikan Aceh yang ideal, sesuai dengan mimpi besar masyarakat Aceh. Jadi, sangatlah penting agar proses pembangunan pendidikan Aceh bisa berjalan sesuai rencana, berjalan dan bahkan berlari di atas track yang benar. Maka diperlukan konsep Grand Design Pendidikan Aceh sebagai blue print utuh, yang menjadi pedoman bagi semua pelaksana dan pelaku pendidikan di Aceh mulai dari level pendidikan dasar, menengah hingga Perguruan Tinggi di Aceh. Bukan hanya menjadi pedoman bagi Dinas Pendidikan Aceh di level Provinsi, tetapi juga Institusi lainnya seperti Badan Dayah, Dinas Pendidikan di semua kabupaten/ kota, Kemenag, dan institusi lain yang mengelola pendidikan, termasuk Majelis pendidikan Aceh yang selama ini hanya bagai parasit saja itu. Penulis khawatir, kalau daerah ini, sebagai daerah yang memiliki dana yang besar untuk membangun pendidikan Aceh, tidak mempunyai Grand Design pembangunan pendidikan Aceh, membuat anggaran pendidikan yang besar habis sia-sia. Maka, wajar saja lah selama ini proses pembangunan pendidikan Aceh tampak tidak terarah dan hanya mengikuti ke mana arah kepentingan rezim. Ya, tidak terkoordinasi dengan baik. Masing-masing pengelola pendidikan di daerah ini berjalan sendiri -sendiri dengan menggunakan berbagai slogan dan icon yang sesuai selera penguasanya. Misalnya menggunakan jargon, syariah, namun dalam pelaksanaan bisa jauh dari syariah, kecuali seperti kata orang Aceh, cari ap. Cari makan. Mengapa demikian?

Ya, terbukti bahwa dana pendidikan yang begitu besar dianggarkan untuk pendidikan, habis begitu saja, tanpa membawa hasil atau perubahan yang signifikan. Ibarat kata pepatah, arabo habis, besi binasa. Uang dana pendidikan hanya habis untuk kepentingan proyek yang tidak membangun pendidikan Aceh secara terencana dan terukur. Walau pun ada Majelis Pendidikan Aceh, hanya menjadi Majelis serdadu tua, hanya menjadi lembaga yang menampung orang-orang yang post power, tanpa mampu membuat konsep dan langkah perbaikan pendidikan Aceh. Selayaknya kita bertanya, Quo vadis Pendidikan Aceh?

Penulis adalah Pengamat Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Aceh

  • Bagikan