Multiple Intelligent: Teori Kecerdasan Yang Memanusiakan

Oleh: M. Syafi’i Saragih

  • Bagikan
Multiple Intelligent: Teori Kecerdasan Yang Memanusiakan


DALAM dunia pendidikan, istilah “cerdas” selalu mengacu pada nilai yang dicapai oleh peserta didik. Semakin tinggi nilai yang diraih, maka semakin pintar pula anak. Sementara itu, peserta didik yang nilainya rendah, maka akan dikatakan bodoh. Akhirnya, anak didik yang kesulitan mendapatkan nilai tinggi pada mata pelajaran di sekolah, jauh dari kata “cerdas”.

Dengan pandangan ini, maka kecerdasan hanya milik sebagian anak saja. Kecerdasan menjadi istilah yang privilage bagi keturunan manusia yang dianggap cerdas karena nilai mata pelajarannya yang tinggi.

Faktanya, tidak semua anak yang dianggap cerdas di kelas, mampu melakukan hal lainnya di luar keterampilannya dalam dunia akademik. Sebut saja dalam hal seni musik.

Kebanyakan anak juara kelas tidak terampil dalam memainkan alat musik atau bernyanyi. Sebaliknya, justeru anak yang dianggap tidak cerdas memiliki kemampuan yang lebih dalam hal ini.

Begitu pula dalam hal lain seperti olahraga. Anak yang juara di kelasnya, belum tentu mahir mengolah si kulit bundar. Justeru mereka yang dianggap bodoh tampil lebih menonjol, bahkan tak jarang mengharumkan nama sekolah.

Demikian pula, banyak anak yang dulunya tidak memiliki prestasi akademik di sekolah justeru sukses menjadi pengusaha, politikus, olahragawan, seniman dan lainnya. Bahkan sebaliknya, banyak pula anak yang dulunya memiliki nilai akademik yang tinggi, tidak mampu membuatnya suskes di masa depan.

Tentu fakta ini merupakan anomali dalam dunia pendidikan. Konsepsi kita tentang anak juara tidak selaras dengan fakta di masa depannya. Ini disebabkan karena sempitnya pemaknaan terhadap kata “cerdas”.

Kecerdasan yang diukur hanya dengan nilai akademik saja, pupus oleh fakta-fakta di lapangan yang tidak sejalan dengan konsep tersebut. Ini berarti perlu memperluas makna kecerdasan agar pendidikan kini lebih komprehensif, sehingga proses pembelajaran di kelas-kelas mampu melejitkan kemampuan masing-masing anak lewat potensi kecerdasan yang dimilikinya.

Dalam hal ini diperlukan rekonstruksi pada makna kecerdasan yang kemudian diterjemahkan lewat reformulasi kurikulum agar menjawab persoalan yang ada.

Teori Kecerdasan Howard Gardner

Howard Earl Gardner adalah tokoh pendidikan dan psikologi terkenal yang mencetuskan teori tentang kecerdasan majemuk atau multiple intelligences. Dia berkebangsaan Amerika yang lahir dengan nama lengkap Howard Earl Gardner pada tanggal 11 Juli 1943 di Scranton, Pennsilvania.

Ia seorang ahli psikologi perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University Amerika Serikat.

Gardner menolak asumsi bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Setiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda.

Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan dan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.

Pandangan Gardner ini menegaskan bahwa tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing. Di mana kecerdasan ini tidak serta merta muncul begitu saja, tetapi perlu adanya upaya eksternal untuk melejitkkan kecerdasan tersebut.

Dalam hal ini, orang tua, selaku motor pertama pendidikan anak, eksistensi dan perannya sangat vital, kemudian sekolah, sebagai institusi formal juga mempunyai peran yang sama.

Dalam teori ini, kecerdasan berarti kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dinilai dalam satu atau lebih pengaturan budaya atau komunitas.

Teori ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sembilan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik-tubuh, musik, antarpribadi, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial.

Pengembangan kecerdasan ganda dapat dilakukan dengan metode pendidikan termasuk metode pendidikan Islam.

Hal ini dilakukan untuk membangun proses pendidikan Islam yang humanis dan bahagia serta memaksimalkan kecerdasan ganda anak.

Teori ini akan memaksimalkan anak menjadi berkembang dengan baik sesuai dengan kecerdasannya yang paling menonjol. Anak yang kurang baik kecerdasan linguistiknya, pasti memiliki keunggulan dalam kecerdasan lain.

Misalnya saja, ada anak yang sulit belajar di kelas, nilainya tidak tinggi, tingkat penerimaannya terhadap materi juga rendah, tapi dalam hal lain ia bisa saja unggul.

Dengan begitu, keberhasilan anak dalam belajar tidak selamanya diukur dengan angka-angka. Namun, dengan seberapa mampu anak memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya, tentu setelah ia mendapatkan proses pendidikan yang humanis dan estetis.

Teori ini menyarankan agar guru mengajak siswa mengalami banyak hal dalam perjalanannya. Tentu saja, pengalaman itu adalah yang berhubungan dengan penguatan sikap dan perilakunya.

Teori ini membuka kemungkinan bagi setiap anak untuk belajar dan mencapai tugas perkembangan. Multiple intelligences menghindarkan anak dari kegagalan tugas perkembangan, seperti rasa rendah diri dan tidak bahagia, rasa ketidaksetujuan dan penolakan sosial, yang akan penguasaan tugas perkembangan baru.

Tugas perkembangan akan terganggu jika anak tidak memperoleh kesempatan untuk belajar apa yang diharapkan oleh kelompok sekolah, tidak memperoleh bimbingan dalam belajar, dan tidak memiliki motivasi untuk belajar.

Sebaliknya anak akan terdukung oleh lingkungan yang memberikan kesempatan anak untuk belajar, bimbingan belajar dari orang tua dan pendidik, serta motivasi yang kuat untuk belajar (Hurlock, 1997).

Hal ini berarti, multiple intelligences memberi kesempatan pada anak untuk mendapatkan dukungan dalam mencapai perkembangannya.

Teori Yang Memanusiakan


Mengapa saya katakan bahwa teori ini memanusiakan?. Karena teori ini menyadari bahwa setiap manusia memliki kecerdasannya masing-masing.

Teori ini menegaskan bahwa semua manusia cerdas dengan segala kelebihan-kelebihannya. Teori ini sesuai dengan fitrah manusia, bahwa manusia pada proses kejadiannya adalah sesuatu yang luar biasa.

Ini sebagaimana digambarkan dalam Alquran yang artinya; “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. Al Mu’minun: 12-14).

Perhatikan ayat di atas, apakah kita akan menyebutkan bahwa manusia dilahirkan dengan proses yang biasa-biasa saja?

Proses terciptanya manusia dari alam rahim adalah proses yang sangat menakjubkan, karena Allah SWT terlibat langsung dalam proses tersebut, ini bisa kita pahami ketika Allah Swt menggunakan kata “خلقنا” (Kami ciptakan), di mana Allah Swt dalam hal ini selain melibatkan Diri-Nya juga melalui proses yang sesuai dengan Sunnatullah, juga melibatkan yang lain.

Yaitu proses alamiah itu sendiri, termasuklah faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya janin dalam rahim. Proses yang memakan waktu hingga sembilan bulan itu, di mana kasat mata manusia tidak dapat melihat secara zahir, tapi bisa dirasakan dengan sangat baik, adalah bukti nyata bahwa manusia bukanlah makhluk atau produk yang biasa, namun luar biasa. Itulah mengapa teori ini sejatinya memanusiakan manusia secara fitrah berdasarkan segala potensi kecerdasan yang dimilikinya.

Tugas Sekolah

Dengan demikian, teori kecerdasan ini bisa menjadi solusi atas persoalan capaian belajar siswa di sekolah.

Perlu rekonstruksi makna kecerdasan dari paradigma lama ke baru. Kecerdasan yang sebelumnya dipahami sebatas capaian kognitif saja, kini harus diperluas lebih ke depan, agar pendidikan lebih luwes dan akomodif, dalam artian, memberi tempat bagi siswa yang daya serapnya rendah terhadap materi-materi pembelajaran. Karena memang umumnya, mereka ini lebih unggul dalam kecerdasan lainnya seperti musikal dan lainnya.

Sering ditemukan, anak yang rendah nilai mata pelajarannya di kelas, tapi ia pintar dalam memainkan gitar dan bernyanyi, ada anak-anak yang cenderung suka berkebun, ini yang disebut dengan kecerdasan naturalis.

Ada anak yang cerdas dalam menulis, mengolah kata, menggambar, olahraga dan lain sebagainya. inilah yang disebut dengan kecerdasan majemuk.

Tentu saja, kecerdasan ini harus dimunculkan pada anak didik. Di sinilah kemudian sekolah mempunyai peran yang lebih besar. Bagaimana sekolah memainkan perannya?

Dalam proses pendidikan, kurikulum sebagai sistem yang mengantarkan warga sekolah sampai pada visi dan misinya, menjadi alat yang harus dikuatkan.

Tiga kurikulum sekolah, yaitu intra kurikuler, ekstra kurikuler, dan hidden kurikuler harus dimanage dengan sebaik mungkin untuk menjawab dan mengakomodir tujuan pendidikan, yaitu terjadinya perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku peserta didik.

Dalam hal ini, termasuklah di dalamnya pengembangan skill kemampuan anak yang tidak hanya terpusat pada kemampuan kognitif saja. Namun juga kecakapan lainnya sebagaimana yang dirumuskan dalam teori kecerdasan majemuk.

Adapun untuk menyahuti potensi sembilan kecerdasan yang ada pada diri anak, maka sekolah mau tak mau harus memberdayakan seluruh sumber daya manusia dan alamnya, termasuklah kurikulumnya.

Sekolah tidak boleh hanya sibuk dengan proses kegiatan pembelajaran di kelas saja (intra kurikuler), tetapi juga ekstrakurikuler dan hidden kurikuler.

Karena keduanya, sebagaimana disebutkan tadi, sebagai wadah yang berfungsi mengakomodir potensi kecerdasan lainnya. Sebut saja kecerdasan kinestetik. Ini adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan dan skill anak dalam bidang olahraga.

Faktanya, sering kita temukan, ada anak yang tidak “pandai” dalam bidang akademik, nilai mata pelajarannya biasa-biasa saja, bahkan mungkin sangat rendah.

Tetapi, ia begitu lihai dalam mengolah si kulit bundar. Bahkan tanpa diperintah untuk bermain bolapun, ia akan terus memainkannya. Ini karena anak, baik sadar atau tidak, sengaja atau tidak, secara alamiah sedang menumbuhkembangkan kecerdasannya tersebut.

Contoh lain, ada anak yang di kelas kurang memiliki semangat dalam belajar, dalam hal olahraga, seni, dan bidang lainnya ia juga kurang menonjol. Namun, ia begitu disenangi oleh banyak temannya karena sikap dan perilakunya yang suka menolong.

Nah, ini juga adalah kecerdasan. Inilah yang disebut dengan kecerdasan interpersonal. Kemampuannya dalam menjalin hubungan dan interaksi dengan orang lain terlihat baik.

Dengan begitu, maka sekolah harus memaksimalkan ketiga kurikulumnya. Selama ini, sekolah-sekolah lebih dominan fokus pada intrakurikuler.

Adapun ektrakurikuler dan hidden kurang mendapat porsi yang seimbang. Kalaupun ada hanya sekedar saja tanpa dikelola secara profesional.

Alhasil, anak-anak yang tidak mendapatkan nilai tinggi di sekolah, dianggap anak “bodoh”, tidak berkembang, malas, indisipliner, dan stigma-stigma negatif lainnya. Padahal bisa jadi itu karena sekolah, dalam hal ini para guru dan seluruh perangkat pendidiknya, belum menemukan kecerdasan anaknya.

Untuk itu, sekolah perlu melakukan pemetaan psikologis pada setiap siswa, baik dilakukan oleh para ahli secara profesional, maupun oleh SDM sekolah dengan menggunakan pendekatan yang holistik-humanis, untuk kemudian melakukan pengembangan, apakah itu memberdayakan yang sudah ada, atau juga membuat kegiatan ekstrakurikuler yang baru, dengan tujuan children empowerment pemberdayaan anak.

Dengan begitu, maka stigma negatif pada anak akan beralih pada frame yang positif.

Sebagai contoh, ketika ada anak yang suka sekali mencoret-coret tidak hanya di kertas, tetapi juga di kursi, bangku atau dinding sekolah, guru tidak langsung men-judge-nya sebagai anak nakal, tetapi dengan pengetahuan tentang kecerdasan majemuk, maka guru sudah bisa mendekteksi bahwa bisa jadi anak ini memiliki kecerdasan gambar picture smart yang menonjol.

Dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler seni lukis di sekolah, maka anak tadi bisa diarahkan dan dikembangkan kemampuannya menjadi lebih baik, dan siapa sangka, bisa saja kelak ia menjadi pelukis profesional dan ternama seperti Basuki Abdullah atau Affandi.

Begitulah seyogyanya sekolah. Dengan menggunakan paradigma teori kecerdasan majemuk, akan melihat anak sebagai bibit-bibit unggul yang siap dilejitkan.

Dengan begitu, setiap anak akan mendapatkan kenyamanan dalam belajar, karena ia belajar sesuatu yang ia sukai. Ia merasa dihargai karena ia dipandang sebagai anak cerdas, ia merasa didorong, dan diberdayakan.

Jika pendidikan di sekolah istiqomah kosisten dengan ini, maka tidak menutup kemungkinan ke depannya akan muncul anak-anak berprestasi dalam bidangnya masing-masing, yang tentu akan membawa nama sekolah dan membanggakan. Wallahu A’lam. (Penulis Dosen, Penulis Buku & Pendidik di Pesantren Modern Al Barokah)

  • Bagikan