Paradoks Batas Usia Capres

  • Bagikan

Oleh Andryan, SH, MH

Putusan MK terhadap batasan usia Capres/Cawapres, tidak hanya terkesan bersifat paradoks di tengah berbagai pandangan sinis terhadap kewibawaan MK yang sarat dengan konflik kepentingan, tetapi juga anomali/menyimpang dari ruang konstitusional serta nalar yang sehat

Menjelang pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang sarat dengan kontroversi dan bernuansa politis. Kita ketahui, putusan MK tentang batasan usia calon presiden sebagaimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana berbunyi:

“Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, tetap menjadi syarat mutlak. Hal ini tentu saja MK berpandangan perihal batas usia Capres-Cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang atau sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan sepenuhnya Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Walaupun demikian, polemik justru mengarah pada ketentuan yang di dalilkan MK bahwa adanya pengecualian apabila seorang yang pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah meskipun tidak mencapai umur 40 tahun.

Kontroversi panas putusan MK tersebut, tidak hanya pada anggapan publik terhadap inkonsistensi MK dalam memutus pengujian undang-undang yang bersifat open legal policy karena disatu sisi MK menegaskan ketentuan batasan umur bagi Capres/Cawapres adalah ranah kebijakan yang dibuat oleh DPR bersama presiden, tetapi di sisi lainnya MK justru memunculkan norma dengan adanya pengecualian terhadap batasan umur bagi Capres/Cawapres.

Apabila kita melihat karakteristik putusan MK, maka dapat dikatakan MK menggunakan model putusan inkonstitusional bersyarat. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK. Munculnya putusan model inkonstitusional bersyarat tidak dapat dilepaskan dari tidak efektifnya putusan model konstitusional bersyarat karena kesalahan addressat putusan MK dalam memahami putusan model tersebut.

Disentting Opinion

Dalam putusan tersebut, setidaknya empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Menariknya, putusan MK terhadap batas usia Capres/Cawapres, menjadi putusan fenomenal dalam sejarah berdirinya MK. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari argumentasi serta gestur yang disampaikan oleh hakim lainnya melalui disentting opinion.

Saldi Isra, diawal pendapatnya menyebut bahwa Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

Tidak kalah dengan Saldi Isra, hakimm MK lainnya juga memberikan argumen kerasnya, Wahiduddin Adams, menegaskan jika MK mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah MK melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar. Hal ini saja kembali menjadikan MK masuk sangat jauh ke area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945.

Anomal Putusan MK

Putusan MK terhadap batasan usia Capres/Cawapres, tidak hanya terkesan bersifat paradoks di tengah berbagai pandangan sinis terhadap kewibawaan MK yang sarat dengan konflik kepentingan, tetapi juga anomali/menyimpang dari ruang konstitusional serta nalar yang sehat.

Dapat kita apahami bersama, anomali putusan MK terhadap pengujian undang-undang, jika dipahami dalam konteks hubungan pengujian undang-undang dan pembentukan undang-undang merupakan improvisasi MK dalam menghadapi model pembentukan undang-undang yang berkarakter formal prosedural. Tidak berhenti sampai disitu, sisi positif dari putusan bersyarat juga memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara secara langsung.

Adanya pemaknaan dari norma, diposisikan untuk mengisi kekosongan hukum bagi masyarakat luas. Berimbang dengan adanya sisi positif, sisi negatif dari putusan bersyarat adalah bergesernya posisi MK dalam pengujian undang-undang dari negative legislator menjadi pseudo positive legislator (pembentuk undang-undang yang semu). Mengapa kita katakan semu? Hal ini karena MK sebagai pelaksana pengujian undang-undang, justru telah melaksanakan fungsi pembentukan undang-undang secara tidak langsung dengan memberi pemaknaan terhadap norma yang diuji.

Beriringan dengan adanya sisi kemanfaatan dan kepastian hukum dari anomali putusan MK, maka masih menyisakan adanya peluang dikemudian hari untuk diuji kembali dengan permohonan yang mempunyai legal standing berbeda dari permohonan sebelumnya. Adanya norma baru dalam anomali putusan MK, ternyata malah dianggap merugikan hak konstitusional seseorang atau lembaga negara, mengingat karakter anomali putusan mempunyai sifat mengikat diluar para pihak (erga omnes). Disamping itu juga, memungkinkan adanya friksi yakni penafsiran dalam putusan bersyarat yang menyamarkan kadar konstitusional atau inkonstitusionalnya sebuah norma.

Batasan usia minimum 40 tahun bagi Capres/Cawapres, tentu saja bertujuan agar mempunyai kapasitas dari sisi intelektual, kecerdasan emosi, spiritualitas, dan kematangan dalam berpikir, mengingat tugas seorang presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintah, juga sebagai kepala Negara yang akan menjalin kerja dengan pemimpin dunia lainnya

Putusan sarat kontroversial MK tidak cukup menimbulkan kegaduhan di ranah publik, juga membuat disharmoni di internal MK sendiri yang semakin meruntuhkan pilar-pilar MK sebagai pengawal konstitusi. Setidaknya sejarah mencatat, MK tidak hanya terlibat dalam konflik kepentingan dalam memutus suatu perkara, juga MK telah membuka ruang untuk melanggengkan praktek politik dinasti yang semakin menyesatkan.

Penulis adalah Dosen dan Kepala Bagian HTN/HAN UMSU, Kandidat Doktor Ilmu Hukum USU.

  • Bagikan