Pekerjaan Sosial Revolusioner

  • Bagikan

Perlawanan revolusioner dan perjuangan melawan pengawasan negara. Kebijakan sekuritisasi negara-negara neoliberal telah mempengaruhi peran Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial dengan melibatkan mereka dalam kebijakan dan tindakan pengawasan

Editor tamu jurnal “Critical and Radical Social Work” volume 7, No. 3, November 2019, Masoud Kamali & Jessica H. Jönsson, memberi penjelasan yang kuat mengapa perubahan revolusioner sangat perlu dilakukan oleh Ilmu Social Work (Pekerjaan Sosial) untuk menentang dominasi ideologi neoliberal dan tekanan partai politik saat ini di seluruh dunia.

Ancaman keduanya (dominasi ideologi neoliberal dan tekanan partai politik) begitu dahsyat, tak terkecuali terhadap orientasi dan pelaksanaan pendidikan dan penelitian. Sebagai disiplin ilmu yang bekerja untuk keaddilan social, ilmu Pekerjaan Sosial merasakan tekanan itu begitu dahsyat.

“Critical and Radical Social Work” adalah sebuah Jurnal Internasional yang sejak berdiri terus berupaya mempromosikan perdebatan pemikiran yang luas dalam tema penyelidikan Pekerjaan Sosial.

Menyorot tajam isu-isu menyangkut keadilan sosial aktual seperti dampak neoliberalisme global terhadap kesejahteraan sosial, dinamika gerakan sosial, bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan penindasan, serta masalah-masalah sosial global lainnya yang seolah sedang direncanakan begitu sempurna (perang, bencana) dan perubahan iklim.

Menghadapi fenomena kebangkitan partai politik rasialistik yang melumpuhkan di Universitas Swedia, misalnya, telah memungkinkan Masoud Kamali & Jessica H. Jönsson memberikan daftar saran praktis untuk perubahan yang diperlukan dalam Pekerjaan Sosial. Banyak di antara saran praktis itu tampaknya juga dapat berlaku untuk disiplin ilmu lainnya di seluruh dunia.

Teori Kritis, Radikal & Postkolonial

Sebagai akibat dari kebijakan neoliberalisasi yang agresif di banyak negara sejak tahun 1980-an, perguruan tinggi tidak lagi peduli dengan kolegialitas dan pembelaan ilmu pengetahuan serta demokrasi (Slaughter & Leslie (1997; Giroux (2007).

Mereka tergesa-gesa beralih menjadi institusi kewirausahaan yang di dalamnya mahasiswa kerap dianggap hanya sebagai konsumen, perguruan tinggi yang hanya sebagai produsen, dan akademisi tak lebih sebagai pekerja kontrak yang patuh.

Dalam kerumitan struktural seperti itulah jurnal “Critical and Radical Social Work” percaya bahwa penelitian, pendidikan, dan praktik Pekerjaan Sosial sebagai profesi yang bergerak dalam ranah pemulihan kondisi keadilan sosial harus mencakup tindakan revolusioner untuk melawan neoliberalisme global, neo-kolonialisme, dan rasisme.

Segera disadari bahwa banyak kolega dan cendekiawan pekerjaan sosial di seluruh dunia sangat ingin berkontribusi pada masalah yang diperlukan seperti itu. Sangat diperlukan mempertajam penerapan teori kritis, radikal dan postkolonial dalam menangani ketidakadilan sosial dan ketidaksetaraan struktural, termasuk pelatihan lapangan dekolonisasi dan fokus pada politik dan antirasis dalam program Pekerjaan Sosial.

Masoud Kamali sering dilaporkan karena dipandang menyebarkan ide-ide berbahaya seperti Islamisme dan juga dituduh meradikalisasi pemuda. Permusuhan terhadapnya juga terkait dengan perannya sebagai ketua “The Governmental Inquiry to Power, Integration and Structural Discrimination” (2004-2006) yang menyimpulkan bahwa diskriminasi struktural dan institusional serta rasisme adalah hambatan utama bagi integrasi para migran di Swedia.

Perkembangan politik yang mengglorifikasikan neoliberalisasi yang sekaligus juga diiringi fakta mundurnya kapasitas negara kesejahteraan, dan meningkatnya dukungan elektoral untuk partai penguasa, serta-merta telah menjadi perlindungan makin kokoh untuk serangan terhadap profil kritis ilmuan sosial dan gerakan antirasis di Swedia.

Keuntungan politik yang memenangkan hampir 18% kursi di parlemen dalam pemilihan 2018 (naik dari 5,7% dibanding tahun 2010) mencerminkan peningkatan pengaruh kelompok rasis dalam masyarakat Swedia, termasuk di dalam perguruan tinggi.

Pada Kamali’s Posting blog Racism Review misalnya, dirinci bagaimana program Pekerjaan Sosial inovatif Universitas Mid Sweden akhirnya menyerah pada lingkungan politik yang tidak bersahabat ketika beberapa sarjana antirasis memutuskan untuk meninggalkan Universitas sebagai protes terhadap meningkatnya rasisme sistemik.

Pergantian kepemimpinan universitas yang memaksa banyak sarjana antirasis berhasil menyesuaikan universitas dengan “kompleks akademik-industri-militer”, yang di seluruh dunia pasca 11/9 menganggap individu kritis dan non-Barat sebagai “bahaya dalam” (Giroux, 2007).

Masoud Kamali & Jessica Jönsson mengakui bahwa nasib program pendidikan Pekerjaan Sosial yang kritis dan global sama sekali tidak unik. Kebijakan ‘perang melawan teror’ dan sekuritisasi tampaknya memerlukan pengecualian dari para sarjana kritis dan antirasis dan memilih mendukung akses populasi kaya nasional kulit putih ke posisi ilmiah.

Hal ini diniscayakan oleh fakta banyaknya akademisi (kulit putih dan non-kulit putih) memilih diam tentang neoliberalisasi universitas dan rasisme institusional yang terjadi besar-besaran. Sebagaimana Hannah Arendt (1962: 464) bilang, teror itu menjadi kekuatan totalitas ketika menjadi independen dari semua oposisi dan ia menjadi diktum imperatif tertinggi ketika tidak ada lagi yang menghalangi jalannya.

Rekomendasi Akademik

Menurut Masoud Kamali & Jessica Jönsson, perubahan revolusioner yang harus terjadi dalam disiplin Pekerjaan Sosial untuk melawan neoliberalisme, rasisme, neo-kolonialisme dan imperialisme, dan untuk melawan peran destruktif dari negara kuat yang, bekerja sama dengan perusahaan kapitalis global dan industri militer, menghancurkan dunia kita dan masyarakat manusia, hendaknya mempertimbangkan beberapa hal.

Pertama, dekolonisasi pengetahuan yang meniscayakan pemantangan Barat-sentris. Perjuangan akademis melawan reproduksi kolonialitas dalam hazanah pengetahuan dan kebijakan pendidikan, dan komitmen untuk perubahan radikal dalam kurikulum pendidikan Pekerjaan Sosial.

Kedua, perlawanan revolusioner dan perjuangan menghadapi ketidakadilan kebijakan pemerintah. Akademisi dan praktisi Pekerjaan Sosial harus menolak dan mencela setiap kegiatan yang mereproduksi governmentalisasi, yaitu, setiap kegiatan yang membantu dalam reproduksi ‘kesadaran palsu’ tentang akar nyata dan struktural dari ketidaksetaraan global dan masalah sosial.

Terasa diperlukannya membentuk ‘dana solidaritas’ internasional untuk menyediakan sistem pendanaan alternatif bagi mendukung penelitian dan pendidikan radikal.

Ketiga, perlawanan revolusioner dan perjuangan melawan kekerasan simbolik yang selamanya dikontrol oleh kapitalis dan neoliberal atas pendidikan dan media nasional.

Memang dalam tataran global semua terasa telah memberi negara neoliberal dan agen kuat sarana untuk melegitimasi penindasan, pengetahuan kolonial, rasisme, dan globalisasi neoliberalisme dengan menghadirkan ketidaksetaraan sebagai konsekuensi dari ‘pilihan individu’ dan kapitalisme neoliberal sebagai ‘satu-satunya alternatif’.

Hal ini membutuhkan partisipasi aktif akademisi dan praktisi Pekerjaan Sosial dalam debat publik dan dalam menghasilkan ‘wacana revolusioner’ dan praktik baru yang menantang kategorisasi dan wacana yang menindas dalam politik dan media.

Keempat, perlawanan revolusioner dan perjuangan melawan pengawasan negara. Kebijakan sekuritisasi negara-negara neoliberal telah mempengaruhi peran Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial dengan melibatkan mereka dalam kebijakan dan tindakan pengawasan.

Ini membutuhkan posisi revolusioner dan refleksif Pekerja Sosial dalam praktik sehari-hari mereka dengan membangun hubungan yang langgeng dengan kelompok aktivis progresif dalam masyarakat sipil.

Ini bahkan mungkin memerlukan beberapa “tindakan illegal”, seperti membantu dan mengatur kelompok-kelompok terpinggirkan untuk mendapatkan hak-hak politik dan sosial meski itu selalu dianggap sebagai tindakan yang tidak diinginkan oleh pemerintah neoliberal.

Kelima, mempromosikan aktivisme dalam Pekerjaan Sosial. Pekerjaan sosial adalah profesi yang membela martabat manusia dan nilai semua manusia, terlepas dari tempat lahir, status, warna kulit, jenis kelamin, etnis, dan kategorisasi pembeda lainnya.

Artinya, pekerjaan sosial adalah profesi aktivisme dan antirasisme yang harus berpartisipasi dalam gerakan sosial lokal, nasional, dan global untuk pembebasan dari segala bentuk penindasan.

Penutup

Jika dihubungkan dengan sejarah modernisasi sebagai mazhab pendekatan pembangunan paling dominan khususnya pasca Perang Dunia Kedua, dengan ambisinya yang tak pernah surut, perguruan tinggi sebagai tempat produksi pengetahuan terbukti selalu menjadi perhatian pusat kekuatan politik dan ekonomi.

Gerakan global industri pertumbuhan (growth) itu selalu memiliki peran bermata ganda. Konflik asimetris terjadi sedemikian dahsyat sehingga melahirkan pemikiran kritis mendorong gerakan protes intelektual perlawanan sebagaimana sejarah membuktikan lahirnya mazhab ketergantungan (dependency) sekitar tahun 1970-an dan mazhab sistem dunia (world system) yang hadir kemudian dan yang dalam banyak hal menawarkan pendekatan diametral dan atau konvergensi sekaligus.

Tidaklah langka dalam catatan bahwa meski pun mazhab modernisasi bukanlah sebuah blue print dan rencana pembangunan yang tak menghitung risiko sosial, politik, kelembagaan dan ekonomi, tetapi praktik di seluruh dunia terus memperkaya bukti keberlangsungan luar proses damai terutama selama Perang Dingin.

Tak dapat disangkal bahwa mazhab modernisasi ini terus mengedepankan asumsi kebenaran paling suci dari setiap zaman sejarahnya yang belakangan terbukti selalu dapat disanggah. Pada sisi lain, kelembagaan akademik dalam menjadi tempat produksi pengetahuan yang hegemonik dan yang terus merambah ke wilayah dunia ketiga, disadari atau tidak, telah melahirkan kelas dan artikulasi penindasan kolonial.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan