Pembangkangan Calon Professor

  • Bagikan

Dalam kasus dosen yang memperjuangkan hak calon untuk menjadi profesor menjadi bukti bahwa pembangkangan intelektual ada dan masih akan terus diperjuangkan

Ada hal menarik dalam dunia akademik dan hukum di negeri kita terkait dengan gelar profesor pada masa ini. Media massa begitu massif memberitakan persoalan ini. Misalnya, diberitakan dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati buka-bukaan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Lewat kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Sri membeberkan bahwa dia ditawari lulus jadi profesor asalkan mencabut gugatan ke Kemendikbud di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Maqdir juga menolak mentah-mentah alasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Riset Dikti Kemendikbud), Nizam, yang menyebut Sri terlambat mengajukan proses profesor ke Kemendikbud.

Sri merupakan calon profesor yang sudah direstui UI. Namun namanya tiba-tiba tidak lulus di Kemendikbud Ristekdikti. Sri kemudian menggugat ke PTUN Jakarta. Atas apa yang dia alami, Sri menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang judicial review UU Guru dan Dosen yang diajukan oleh dosen Universitas Indonesia (UI), Sri Mardiyati. Dalam sidang itu, para pihak akan mengajukan ahli ke MK, salah satunya Yusril Ihza Mahendra, yang akan menjadi ahli dari Sri Mardiyati.

Dalam perkara ini, ada permohonan untuk menjadi pihak terkait, yaitu dari Universitas Indonesia. “Majelis sudah mengambil keputusan, mengambil ketetapan, yaitu permohonan menjadi pihak terkait dikabulkan,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan di channel MK, Selasa (28/9/2021).

Adapun pemohon yang diwakili pengacaranya, Maqdir Ismail, meminta diberi kesempatan oleh MK agar menghadirkan ahli lagi, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Maqdir menilai Yusril memiliki pandangan kritis di kasus itu sehingga dinilai bisa menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan.

Hakim konstitusi Saldi Isra mencecar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) soal mudahnya pejabat mendapatkan gelar profesor. Di sisi lain, dosen yang meniti karir setengah mati malah susah mendapatkan puncak tertinggi dalam dunia akademik itu.

Saldi Isra menyebut, menyambung apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof Arief, Yang Mulia Prof Enny, ini sekarang kan dalam praktik begini. Profesor kehormatan dengan profesor yang dari kampus karena karir itu dalam praktik seperti enggak ada bedanya.

Hal itu disampaikan dalam sidang di MK dan tertuang dalam risalah sidang yang dilansir website MK, Kamis (9/9/2021). Kemendikbud dalam sidang itu diwakili oleh Irjen Kemendikbud, Chatarina Girsang. Saldi merupakan guru besar Universitas Andalas, Padang. Sedangkan Arief adalah guru besar Undip Semarang dan Enny adalah guru besar UGM, Yogyakarta.

Saldi juga menanyakan soal standar penilaian kelayakan menjadi profesor. Sebab, ada kandidat yang lolos di tingkat universitas, tapi dimentahkan oleh Dikti dengan penilaian sebaliknya. Kemendikbud diminta membuat sistem yang tidak mempersulit kandidat profesor karir.

Di samping kasus Sri di atas, kasus yang lain juga mengemuka. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI) Dr Gilbert Simanjuntak menang melawan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Gilbert menggugat Kemendukbud ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena usulannya sebagai profesor ditolak Kemendikbud.

Hal itu tertuang dalam putusan PTUN Jakarta yang dilansir website-nya, Rabu (26/1/2022), Dr Gilbert tercatat mengantongi Nomor Induk Dosen Nasional 0322016407 pada 8 Februari 2017. Gelar Doktornya ia raih dari FK UI Pada 31 Agustus 2013.

Adapun kasus ini bermula saat FK UKI menilai Gilbert layak menjadi professor. Akhirnya, Rektor UKI mengirimkan surat usulan gelar Profesor Gilbert ke Kemendikbud pada 23 Februari 2021. Tapi usulan itu ditolak Kemendikbud lewat Surat Keputusan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Nomor 1418/LL3/PT/2021 pada Maret 2021.

Alasannya, Gilbert saat ini sudah menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta dan status PNS-nya adalah berasal dari PNS Departemen Kesehatan. Gilbert tidak terima dan menggugat Kemendikbud ke PTUN Jakarta. Gayung bersambut. Gugatan Gilbert dikabulkan.

Disebutkan bahwa, “Menyatakan Batal Surat Keputusan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Nomor: 1418/LL3/PT/2021 Hal Pengembalian Usulan Profesor an. Dr. Gilbert W.S. Simanjuntak tertanggal 25 Maret 2021. Memerintahkan Tergugat Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III mencabut Surat Keputusan Nomor 1418/LL3/PT/2021 Hal Pengembalian Usulan Profesor an. Dr. Gilbert W.S. Simanjuntak tertanggal 25 Maret 2021,” demikian bunyi putusan yang diketok Eko Yulianto dengan anggota Estiningtyas Diana Mandagi dan Sahibur Rasid.

PTUN Jakarta menilai keputusan penolakan usulan profesor Dr Gilbert bertentangan dengan Asas Proporsionalitas. Salah satunya Kemendikbud menolak usulan gelar profesor dengan dalih Gilbert kini menjadi anggota DPRD DKI Jakarta 2019-2024. PTUN menepis argumen Kemendikbud itu.

Pembangkangan Warga Sipil
Kasus-kasus di atas bisa akan terus muncul kepermukaan dan terus massif. Kesadaran kelompok intelektual yang akan memperjuangkan “hak professornya” akan terus muncul. Apa yang bisa kita baca dari kasus-kasus di atas?

Pertama, pembangkangsn Sipil dan kaitannya dengan pembangkangan politik. Karena kasus penganugrahan Professor terkait dengan masalah sipil dan politik. Kasus di atas terkait erat dengan apa yang disebut sebagai Pembangkangan Sipil.

Sebaliknya, pembangkangan politik menolak cara kita diatur: ia menolak struktur partisan politik, tuntutan reformasi kebijakan, seruan untuk identifikasi partai, dan ideologi yang mendominasi periode pasca-Perang.

Kita memahami, Ketika masalah pengajuan Profesor dimasukkan ke dalam istilah ini, masalah yang dihadapi pengadilan dengan tampaknya sama sekali tidak asing. Gagasan bahwa gerakan sosial baru terlalu baru untuk dipahami dengan menarik label lama telah berulang fitur teori politik radikal selama bertahun-tahun.

Para dosen di perguruan tinggi—yang selama ini terkesan diam, kini berani protes, membangkang untuk memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan gelar Profesor.
Klaim tersebut mewakili tanggapan bijaksana terhadap masalah menggambarkan protes dalam hal berlaku adil terhadap kebaruan mereka dan keaslian radikalisme mereka.

Tetapi selain menunjukkan kepekaan terhadap momen itu, penolakan pengadilan dari label yang lebih tradisional memanfaatkan kecurigaan yang lebih dalam tentang gagasan pembangkangan sipil, kesiapan untuk menerima apa yang mungkin terjadi disebut argumen dari bawah, argumen yang seharusnya tidak kita cita-citakan pembangkangan sipil karena itu tidak cukup radikal.

Tapi jika itu diperdagangkan pada kesalahpahaman tentang sifat pembangkangan sipil kemudian pada akhirnya mungkin tidak ada alasan bagus untuk menyangkal bahwa Gerakan Pendudukan melibatkan kebangkitan pembangkangan sipil dalam bentuk baru dan benar-benar skala masif (Tony Miligan, 2013).

Pembangkangan Sipil terhadap kepentingannya dan mencoba melepaskan diri dari tekanan kekuasaan sebenarnya bukan hal baru. Literatur yang ada tentang pembangkangan sipil menunjukkan beberapa baris dari pertentangan.

Kontribusi inti ditetapkan selama satu abad oleh Henry Thoreau, Leo Tolstoy, Mohandas (“Mahatma”) Gandhi dan Martin Luther King telah dilapis oleh kumpulan komentar yang jauh lebih besar dan ketidaksepakatan, beberapa di antaranya muncul dari keterlibatan langsung dalam protes, beberapa di antaranya lebih tanpa gesekan.

Juga tidak ada perpecahan bi-partisan antara akun aktivis dan akun pengamat pembangkangan sipil dan akibatnya tidak ada cara untuk mengistimewakan yang satu di atas yang lain untuk sampai pada posisi tak terbantahkan dari jenis tertentu. Dalam arti tertentu, tidak ada konsep pembangkangan sipil yang telah disepakati bersama yang telah terbukti stabil selama jalannya waktu.

Alasan mungkin masih ditawarkan untuk mengatur beberapa hal masuk dan yang lain keluar bahkan jika alasan yang dipertanyakan tidak alasan akhir atau pembungkaman. Contoh nyata dari satu alasan untuk dimasukkan dan pengecualian adalah kesinambungan dengan penggunaan masa lalu, namun kesinambungan tersebut dapat dipahami dalam berbagai cara yang berbeda; itu mungkin melibatkan kesinambungan dengan Tolstoy, atau dengan Gandhi, atau dengan satu kombinasi sumber-sumber klasik dari yang lain.

Kemungkinan kesinambungan seperti itu membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa ini adalah konsep dengan sejarah, yang mengubah cara masyarakat sipil ketidaktaatan telah dipahami tidak perlu dibaca sebagai proses di mana serangkaian konsep yang sangat berbeda telah saling menggantikan sementara berparade dengan nama bersama yang sama.

Meski begitu, itu bukan masalah sederhana untuk menyelesaikan apa, di zaman kita sendiri, harus dimasukkan dan dikecualikan. Alasan lain mungkin ikut bermain selain dari preseden sejarah. Sebuah kasus dapat dibuat untuk menyeimbangkan banding ke sejarah (dan dalam arti tertentu) ke belakang) pertimbangan, dan pertimbangan yang berbeda dan semacam lebih berwawasan ke depan, seperti kepedulian untuk mempertahankan relevansi konsep.

Penutup
Berbagai alasan mungkin ditawarkan untuk menjelaskan mengapa protes terjadi dan mengapa mereka mengambil bentuk yang mereka lakukan terlepas dari kenyataan bahwa banyak dari mereka yang terlibat mungkin tidak menentang kekerasan sebagai titik prinsip. Yang jelas, dalam kasus dosen yang memperjuangkan hak calon untuk menjadi profesor menjadi bukti bahwa pembangkangan intelektual ada dan masih akan terus diperjuangkan.

Penulis Dosen Ilmu Politik Fisip USU.

  • Bagikan