Pengembangan Wawasan Kependidikan oleh M.Ridwan Lubis

  • Bagikan

Permasalahannya tidak hanya pada ilmu sosial dan kealaman tetapi juga ilmu keagamaan sehingga perlu mengkaji metode pengembangan keilmuan yang terintegrasi antara bidang

Keberadaan pendidikan merupakan faktor amat penting dalam kehidupan umat manusia. Setiap berkembangnya kemajuan pada suatu bangsa doitentukan oleh perhatian mereka terhadap pendidikan.

Letak pentingnya pendidikan terletak pada dua hal yaitu etos yang akan membuka cakrawala wawasan pemikiran manusia dan berikutnya pada pemahaman terhadap makna dan tujuan pandangan hidup.

Terbukanya cakrawala pemikiran karena melalui pendidikan diperoleh informasi tentang berbagai perkembangan pengetahuan masyarakat.

Dan tentunya, pemikiran masyarakat dalam memahami suatu persoalan pada umumnya terdapat keragaman. Melalui pendidikan maka seorang manusia terdidik membangun jati diri pribadinya dengan mempertemukan berbagai keragaman itu yang kemudian menghasilkan pemikirannya dalam bentuk sintesa tertinggi.

Melalui sintesa itulah seorang terdidik membangun karakter pribadinya. Terdapat perbedaan dalam memahami arti pendidikan yang disimpulkan dalam dua orientasi cara pandang.

Pada masyarakat yang berpandangan bahwa pendidikan sebagai jalan untuk meningkatkan prestise maka orientasi terhadap pendidikan dipandang sebagai jalan menaikkan prestise.

Sehingga pencapaian gelar yang berjejer di samping nama aslinya akan dipandang sebagai indikasi menaikkan daya tawar guna memperoleh penghargaan dari masyarakat.

Tidak jarang terjadi, cara berpikir yang demikian, keilmuan yang berlatar ilmu sosial dipandang lebih mudah sampai ke batas penantian mencapai gelar kesarjanaan.

Kerancuan cara berpikir demikian pada seorang yang kebetulan memikul amanah memimpin sebuah institusi atau jabatan tentu akan mengalami kesulitan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang dihadapkan kepadanya.

Di antara permasalahan yang dihadapi mengapa ketika kebijakan dirancang hasilnya positif tetapi sampai di hilir kenyataannya menjadi lain.

Berbagai faktor perlu dipelajari secara mendalam dan bagi orang yang telah selesai dari pendidikan tinggi namun tidak terbiasa melakukan analisis akan kesulitan memberikan jawabannya.

Dapat dibayangkan kecilnya peluang sebuah lembaga yang dipimpin seorang yang hanya mengandalkan prestise motivasi memasuki lembaga pendidikan.

Pada bidang ilmu eksakta tentu persoalannya juga tidak serta merta dianggap lebih ringan. Karena ilmu eksakta memang berbicara mencari korelasi yang bersifat kuantitatif.

Tetapi apabila hanya mencari korelasi yang diandalkan hanya antara angka dengan angka maka implementasi keilmuan akan mengalami kesulitan karena kegiatan pembangunan berhubungan dengan manusia (people centered-development).

Karena itu, tanpa dukungan pengetahuan terhadap karakter, relasi, etos dan kontrtuk budaya akan mengalami kesulitan mendayagunakan ilmu kealaman dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Berbicara tentang manusia tidak hanya mengamati aspek faktual akan tetapi juga spiritual. Dalam kaitan ini, studi bidang ilmu kealaman sering mengabaikan kepentingan dari faktor kemanusiaan.

Dari paparan di atas, persoalan kependidikan kita sekarang ini masih belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari persoalan konvensional yaitu dikhotomi antara berbagai bidang keilmuan.

Sebagai contoh, adanya kesan sementara warga masyarakat yang berpandangan bahwa ilmu keagamaan tidak disebut ilmiah. Munculnya kesan tersebut akibat kerangka berpikir positivisme sebagai warisan masa lalu.

Sehingga yang disebut ilmiah selalu tergantung kepada dasar pembuktian (evidence base). Padahal kasus yang memerlukan analisis ilmiah tidak bisa ditemukan dasar pembuktian yang bersifat kasat mata.

Permasalahannya tidak hanya pada ilmu sosial dan kealaman tetapi juga ilmu keagamaan sehingga perlu mengkaji metode pengembangan keilmuan yang terintegrasi antara bidang.

Ilmu keagamaan kita juga mengalami permasalahan yang masih terpola dengan pandangan ilmu keagamaan hanya bersifat doktrinal-normatif. Cara pandang demikian tentu akan membakukan bahwa ilmu agama merupakan ilmu yang terpisah dari rasional-modernitas padahal ilmu agama harus memfungsikan diri untuk menelusuri makna dan pandangan hidupan.

Sementara analoginya bukankah semua kehidupan di alam semesta dapat diberdayakan mendukung sikap pengayaan spiritualitas. Dan apabila demikian halnya, maka pengayaan spiritualitas adalah jalan pintas mencapai religiositas guna menangkap dan menghayati makna kehidupan.

Alhasil, pendidikan kita harus berupaya sekuat tenaga membangun kolaborasi yang saling mendukung antara ilmu sosial, kealaman dan humaniora yang titik kulminasinya berakhir pada ilmu keagamaan.

Praktisi pendidikan keagamaan selayaknya lebih kreatif merancang model pendidikan yang saling mendukung dengan bidang keilmuan lainnya. Melalui konsep pendidikan yang saling mendukung akan dapat terwujud etik global pendidikan yang pada beberapa abad yang lalu telah berhasil menampilkan kejayaan peradaban umat manusia.

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • Bagikan