Penzaliman Terhadap Daerah

  • Bagikan

Tanpa adanya subsidi dana dalam perbaikan kerusakan infrastruktur itu dipastikan pemerintah daerah akan mengalami kesulitan karena keterbatsan PAD. Sementara tingkat kerusakan infrastruktur sudah cukup parah. Bahkan sangat membayakan bagi para pengguna jalan. Ini penzaliman terhadap daerah

Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah ketika bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta pada 6 Januari 2022 yang lalu telah menyampaikan soal pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) kelapa sawit yang tidak ada diatur di UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ia berharap agar ada revisi UU tersebut, sehingga daerah dapat menerima DBH yang lebih proporsional untuk digunakan dalam perbaikan infrastruktur.

Kini giliran Gubernur Sumut (Gubsu), Edy Rahmayadi menyampaikan keluhan yang sama kepada Badan Legislasi DPR RI agar memperjuangkan DBH kelapa sawit dalam salah satu pasal di Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU-HKPD) yang sudah disahkan DPR. Gubernur Sumut sebelumnya juga sudah pernah mengeluhkan ketidak proporsionalan DBH tersebut kepada Pemerintah.

Sebagaimana diketahui UU No 33 Tahun 2004 sama sekali tidak memasukan komoditas perkebunan kelapa sawit dalam komponen DBH. Yang termasuk komponen DBH antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya pajak dan sumber daya alam yang meliputi kehutanan, perikanan, pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan panas bumi.

Di samping itu sektor perkebunan masih menjadi kewenangan Pemerintah bukan Pemerintah Daerah dalam pengelolaanya. Hal inilah yang menyebabkan Pemerintah merasa lebih berhak memonopoli semua penghasilan yang bersumber dari perkebunan kelapa sawit sejak dari hulu sampai ke hilir. Artinya Pemerintah hanya memberikan DBH motivnya lebih rasa belas kasihan karena perkebunan sawit kebetulan lokasinya ada di daerah.

Hampir semua daerah yang menjadi lokasi perkebunan kebun sawit merasakan hal yang sama dalam pembagian DBH yang dianggap sangat tidak adil. Provinsi Sumut sendiri merupakan lokasi perkebun kelapa sawit yang begitu luas. Ironisnya, seperti dikatakan Gubsu, penghasilan dari perkebunan kelapa sawit yang diperoleh Negara setiap tahun sebanyak Rp 575 triliun dan DBH hanya 4 persen saja diterima Sumut (Waspada, 25 Januari 2022, hal.B1).

Dibanding dengan Gubsu sebelumnya Gubsu Edi Rahmayadi dan wakilnya dalam dua tahun terakhir ini jauh lebih progresif dalam menuntut DBH yang lebih adil. Bahkan Gubsu sudah menyurati Menko Perekonomian dengan surat bertanggal 3 Desember 2021 yang isinya meminta porsi 80% DBH perkebunan dikembalikan ke Sumut. Alasan permintaan DBH tersebut sangat rasional karena dana yang ada akan dipergunakan sepenuhnya untuk perbaikan infrastruktur.

Permintaan porsi 80% tersebut sesuatu yang wajar. Mengingat yang paling merasakan dampak buruk kehadiran perkebunan kelapa sawit adalah daerah. Bagaimana tidak, mulai dari dampak kerusakan lingkungan dan infrastruktur sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah. Sementara kemampuan keuangan daerah terutama dalam memperbaiki infrastruktur jalan dan jembatan sangat terbatas.

Faktanya hampir semua jalan dan jembatan yang dilalui kenderaan perkebunan sawit dominan berstatus jalan provinsi/kabupaten/kecamatan/desa. Akibatnya infrastruktur mengalami kerusakan di semua ruas jalan karena tidak mampu menahan tingginya aktivitas truk “ODOL” (Over Dimention Over Loading) pengangkut CPO dan material lainya. Dengan beban tonase yang tidak sebanding dengan kualitas jalan. Sudah pasti infrastruktur yang dilewati rentan mengalami kerusakan.

Sebagaimana diketahui Sumut memiliki jalan sepanjang 3.000,5 km dan terpanjang di Indonesia. Hampir semua jalan tersebut dilewati kenderaan milik perkebunan kelapa sawit sebelum melewati jalan Negara. Sementara anggaran yang disediakan Pemerintah Provinsi hanya berkisar 400 milyar pertahun. Artinya, tidak sebanding lagi tingginya tingkat kerusakan infrastruktur dengan anggaran yang tersedia untuk rehabilitasi dan pembangunan kembali.

Akibat rusaknya infrastruktur sudah pasti masyarakat juga merasakan akibatnya. Termasuk dampak dari kerusakan lingkungan dengan adanya konversi hutan menjadi lahan sawit di banyak tempat terutama di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Banjir dan banjir badang sebagai dampak dari kerusakan lingkungan sudah terjadi yang diduga kuat karena deforestasi – pengubahan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang sangat masif.

Sangat tidak bijak bila Pemerintah masih tutup mata dengan kondisi jalan/jembatan provinsi/kabupaten/kecamatan/desa yang rusak akibat tingginya frekuensi lalu lalang truk ODOL pengakut CPO dan material perkebunan kelapa sawit. Membiarkan daerah menanggung perbaikan kerusakan infrastruktur sementara yang menikmati hasil jutaan hektar kebun sawit bukan daerah. Jelas ini sangat tidak adil dan terkesan Pemerintah menzolomi daerah.

Karena urusan soal pembagian DBH kelapa sawit dengan Pemerintah. Sudah barang tentu yang paling efektif melakukan lobi adalah 30 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI yang menjadi representasi penduduk Sumut. Merekalah seharusnya yang ikut memperjuangkan agar masalah DBH yang dirasa tak adil bisa diakomodir dengan merevisi UU No 33 Tahun 2004 dan memasukannya dalam RUU HKPD.

Kalau hanya Gubsu dan wakilnya saja yang memperjuangkan soal pembagian DBH ke pemerintah tanpa dukungan anggota legislatif, jelas itu hal yang sangat berat. DPRD Provinsi juga harus pro aktif melobi pemerintah dan tidak membiarkan Gubsu berjuang sendiri. Demikian juga kerjasama kepala daerah 15 provinsi di Indonesia yang ada di wilayahnya perkebunan kelapa sawit perlu terus diperkuat suara tuntutan DBH yang adil kepada pemerintah.

Bila masalah DBH yang dianggap tidak proporsional itu disahuti pemerintah, jelas akan banyak membantu daerah dalam memperbaiki kerusakan infrastruktur terutama jalan/jembatan provinsi dan kabupaten. Tanpa adanya subsidi dana dalam perbaikan kerusakan infrastruktur itu dipastikan pemerintah daerah akan mengalami kesulitan karena keterbatsan PAD. Sementara tingkat kerusakan infrastruktur sudah cukup parah. Bahkan sangat membayakan bagi para pengguna jalan. Ini penzaliman terhadap daerah. WASPADA

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padangsidimpuan.

  • Bagikan