Realitas Equality Before The Law Dalam Maraknya Kasus Tipikor Di Indonesia

  • Bagikan
Realitas Equality Before The Law Dalam Maraknya Kasus Tipikor Di Indonesia

Oleh: Habibah Al Syurgawi Gultom

Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Dari fakta ini kita bisa tahu bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia bukannya menurun, melainkan semakin meningkat. Ada banyak kasus korupsi yang viral sepanjang tahun dan ada juga hanya viral beberapa bulan lalu hilang, bahkan tidak terdengar sama sekali final dari kasus tersebut.

Menurut survey LSI, pada tahun 2018 KPK pernah dinobatkan sebagai lembaga yang paling dipercayai publik karena jeli dan tangkasnya lembaga negara ini untuk menangkap koruptor. Namun bukannya semakin tahun kasus korupsi makin mereda, melainkan semakin meningkat, bahkan sepanjang tahun 2023 dari bulan Januari-Juni KPK menerima 2.707 laporan dugaan korupsi.

Lantas, bagaimana penerapan equality before the law dalam kasus tindak pidana korupsi yang merajalela? Asas equality before the law adalah bagian dari rule of law atau diterjemahkan sebagai negara hukum. Menurut wikipedia, equality before the law adalah the principle under which each
individual is subject to the same laws, with no individual or group having special legal privileges.

Artinya, setiap warga negara tidak boleh ada yang menikmati keistimewaan dalam setiap proses penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan maka pengingkaran terhadap prinsip equality before the law melahirkan diskriminasi dalam di depan hukum. Jika dilihat dari perjalanan historisnya, konsep equality before the law sudah ada dalam kitab-kitab keagamaan sebelum adanya konstitusi. Tetapi hingga sekarang masih banyak yang mengindahkan asas tersebut, bahkan semakin menurun penerapannya.

Dari beberapa kasus korupsi dalam realita, ada pandangan masyarakat bahwa penegakan hukum belum adil, karena masyarakat melihat adanya perbedaan perlakuan yang didapat seorang pelaku tindak pidana korupsi yang satu dengan pelaku tindak pidana pidana korupsi yang lainnya,seperti kasus korupsi mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada.

KPK menahan Wali Kota Bandung Dada Rosada di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, pada 19 Agustus 2013. Kala itu, Dada terjerat kasus dugaan penyuapan kepada hakim Setyabudi Tejocahyono terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial (Bansos) di Pemerintah Kota Bandung.

Dada dan kawan-kawan secara bertahap menyetor hingga senilai total Rp 1,81 miliar dan US$ 160 ribu plus fasilitas hiburan karaoke dan perabotan rumah kepada Setyabudi, mulai Juli hingga Desember 2012.

Dada Rosada divonis 10 tahun penjara dalam persidangan yang digelar pada tahun 2014. Dada juga didenda Rp600 juta subsider tiga bulan penjara. Setelah menjalani masa hukuman lebih dari 9 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Kota Bandung, Dada, dinyatakan bebas pada 26 Agustus 2022 lalu.Vonis itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama 15 tahun.

Dada dinilai terbukti melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 64 ayat (1) junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kemudian, kasus yang terjadi pada awal tahun 2023 diberikan vonis ringan bagi lima terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya dinilai tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tiga terdakwa dari pihak swasta adalah Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.

Indra Sari divonis 3 tahun penjara dan Master Parulian selama 1 tahun 6 bulan. Lin Che Wei,
Pierre Togar, dan Stanley MA masing-masing dihukum 1 tahun penjara. Padahal, sebelumnya, kelima terdakwa dituntut oleh jaksa hukuman pidana penjara 7-12 tahun.

Hal ini mengakibatkan masyarakat telah merasakan ketidakadilan karena telah mengalami kesulitan mencari minyak goreng sampai berdesak-desakan, padahal dalam putusannya, majelis hakim menilai para pelaku telah merugikan keuangan negara hingga Rp6 triliun dan merugikan perekonomian negara senilai Rp12,3 triliun.

Perbedaan jumlah kerugian negara dan vonis dari kedua kasus tersebut sangat jauh vonis hukum antara tersangka satu dengan tersangka lainnya oleh (majelis) hakim berdasarkan penggunaan hak subyektifnya berakibat telah terjadinya pelanggaran asas kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang dianut oleh KUHAP.

Jika memang negara Indonesia adalah benar-benar negara hukum (rechtstaat) yang mengagungkan dan mengedepankan nilai equality before the law, maka semua orang sama di hadapan hukum, tidak berdasar kiranya dalam perkara pidana khususnya perkara korupsi para terdakwanya mendapat perlakuan khusus jika dibandingkan dengan terdakwa lainnya seperti tidak meringankan vonis.

Pemahaman akan konsep equality before the law masih belum sepenuhnya diterapkan ataupun dipahami secara benar. Sebenarnya bila memahami ketentuan dalam Undang- Undang (UU) tentang Tindak Pidana Korupsi ini maka secara jelas kedua UU tersebut negara yang melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut secara otomatis akan terikat dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

UU secara jelas memberlakukan asas equality before the law ini dalam ketentuan-ketentuannya, maka jika ada berpendapat untuk terjadinya pembedaan perlakuan atau penjatuhan vonis atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor, seharusnya putusan yang diberikan hakim harus seadil-adilnya dan setimpal dengan apa yang telah diperbuat koruptor itu sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan