Retno Marsudi & Perubahan Paradigma

  • Bagikan
Retno Marsudi & Perubahan Paradigma

Oleh Mehmet Özay

Isi pidatonya mengingatkan kita pada konteks yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Türkiye. Ini bahkan merupakan tahap perkembangan yang penting untuk merestrukturisasi wacana dominan dalam hubungan internasional dan global

Penting untuk memikirkan kembali isi pidato Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno LP Marsudi pada sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 23 September.

Pidato ini tepat waktu dan relevan untuk mengingatkan seluruh komunitas dunia tentang degradasi berbagai urusan global saat ini dan langkah-langkah mendesak berikut ini yang harus dipertimbangkan secara tegas oleh semua negara anggota PBB. Dalam arti tertentu, pidato ini mengajak semua orang untuk mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan dan menyelamatkan seluruh umat manusia dari masa senja yang sangat terasa saat ini.

Pidato tersebut menyebarkan perspektif kritis dan solid mengenai isi penting dari perkembangan global terkini, yang tertuang dalam SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), yang memasukkan perubahan iklim ke dalam ketahanan pangan. Perkembangan global ini – seperti yang terlihat terutama dalam beberapa dekade terakhir – memiliki beragam alasan dan implikasi pada skala lokal, regional, dan internasional, yang semakin menjadi objek fokus pembicaraan kita sehari-hari.

Kekuasaan, Kepemimpinan & Moralitas

Kurangnya tata kelola dunia yang baik dan permasalahan moralitas yang terkait dengannya terlihat dari kontradiksi antara pernyataan dan tindakan para pemimpin yang dikatakan memiliki kekuasaan di kancah internasional.

Retno terutama menekankan secara mendasar dalam pidatonya tentang kelemahan tata kelola global, ketidakmampuannya, dan inkonsistensi dalam menangani permasalahan global yang muncul secara signifikan akibat Covid-19. Setelah menyoroti isu-isu tersebut dan isu-isu serupa lainnya, ia mengusulkan perubahan paradigma, yang diasumsikan dapat menyelesaikan permasalahan global dan merestrukturisasi urusan internasional saat ini.

Semua orang merasa sepakat, tanpa membeda-bedakan status sosial, bahwa permasalahan yang ada saat ini adalah ancaman terhadap keberadaan biologis umat manusia. Artinya, tindakan yang diperlukan harus segera diambil, terutama oleh negara-negara terkemuka, untuk mengadvokasi dan menjamin perdamaian dan keamanan di seluruh penjuru dunia.
Kita – tanpa kecuali individu mana pun – telah menyaksikan dan merasakan kondisi mengerikan dalam perkembangan global terkini dalam berbagai cara, yang tidak diragukan lagi merupakan dampak langsung dari tindakan manusia yang muncul dalam bentuk tindakan sosial, lingkungan, politik, dan militer. gangguan dan perselisihan yang mengakar.

Di sisi lain, kekhawatiran utama di sini tidak terbatas pada konflik dan perang yang terus terjadi di berbagai belahan dunia, yang telah berdampak pada keseimbangan proses perdamaian regional dan global. Sebaliknya, hal ini terutama mencakup perselisihan, salah tafsir atas sifat hubungan, dan ditambah dengan fobia etnis, ras, dan agama di antara beragam komunitas di seluruh dunia.

Menteri Luar Negeri Indonesia secara implisit menekankan dalam pidatonya bahwa batas kedaulatan setiap negara adalah sakral dan harus diselamatkan dari segala intervensi ilegal. Selain itu, setiap bangsa dengan nilai-nilai budaya dan agamanya masing-masing berhak untuk hidup dalam kondisi berdaulat tanpa ancaman perubahan dari pihak lain.

Namun, dalam hal ini, sangatlah tepat untuk mempertanyakan dan menuntut klarifikasi mengenai pihak-pihak yang harus disalahkan atas kegagalan mereka dalam pemerintahan dunia. Meskipun pertanyaan ini tidak berarti bahwa semua negara tidak bertanggung jawab, namun pertanyaan ini merujuk pada situasi yang berkaitan dengan negara-negara besar dan para pemimpin mereka yang mengklaim menguasai dunia.

Konteks & Model Peran ASEAN

Pidato Retno juga memberikan wawasan mengenai sikap negara Indonesia dan ASEAN sebagai badan regional yang beranggotakan sebelas negara dalam urusan internasional. Tidak salah bila dikatakan bahwa Indonesia -yang menandatangani pidato ini- bertindak sebagai suara ASEAN di sidang umum karena Indonesia adalah negara ketua ASEAN tahun ini dan sedang menata ulang kebijakan ASEAN sebagai cerminan dari perkembangan global yang tidak terduga, seperti perdamaian dan keamanan, termasuk perubahan iklim.

Melalui konteks ASEAN, beliau menekankan tanggung jawab setiap negara-bangsa dan tindakan kolektif dan persatuan negara-negara secara global. Lebih dari itu, beliau mengajak seluruh pihak terkait untuk bertindak berdasarkan landasan nilai-nilai kemanusiaan untuk mengatasi segala ancaman relevan yang muncul karena berbagai sebab, baik yang disebabkan oleh manusia maupun alam, seperti yang terlihat dalam bentuk bencana alam.

Terlihat bahwa salah satu konsep mendasar dari wacana Retno adalah ‘kepercayaan’. Ini adalah konsep yang penting karena nilainya telah menurun drastis secara internasional. Dapat dikatakan bahwa setiap kalangan yang bertanggung jawab sepakat bahwa pentingnya fenomena ini dalam hubungan antarmanusia atau hampir musnahnya fenomena ini dalam konteks internasional telah menyebabkan segala jenis bencana di bidang sosial, politik, ekonomi, dan tentu saja alam, seperti yang terlihat di setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.

Strategi Cepat Tanggap

Pidato Retno ditujukan kepada negara-negara yang mengklaim dirinya cukup kuat untuk mendikte urusan global. Dengan berpidato dalam platform Perserikatan Bangsa-Bangsa, justru menjadi pengingat betapa semua bangsa memerlukan niat dan tindakan bersama untuk mendalami dan menyelesaikan permasalahan global.
Penekanan dari pidato tersebut adalah bahwa negara-negara kuat tidak bertindak secara bertanggung jawab dan bertujuan untuk membuka kredibilitas dan legitimasi negara-negara kuat di hadapan semua anggota PBB lainnya.

Menteri Luar Negeri Indonesia tidak hanya dalam posisi menegaskan; sebaliknya, ia mengusulkan stratgei sikap cepat tertentu untuk dipertimbangkan oleh negara-negara anggota PBB. Dengan begitu diharapkan bisa membangun jembatan di antara negara-negara anggota PBB secara kolektif untuk berpartisipasi dalam urusan global, mendukung semua isu pembangunan untuk tujuan bersama. Tidak diragukan lagi, hal-hal ini pada dasarnya berkaitan dengan perdamaian global, keamanan, dan pembangunan yang adil.

Dia menekankan perpecahan yang signifikan antara “para Maha Kuasa Kecil” dan yang lainnya. Di sini, isi pidatonya mengingatkan kita pada konteks yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Türkiye. Ini bahkan merupakan tahap perkembangan yang penting untuk merestrukturisasi wacana dominan dalam hubungan internasional dan global.

Konsep pembangunan tampaknya telah menjadi milik beberapa negara dan telah menjadi konsep yang hilang bagi sebagian besar negara di seluruh dunia. Lebih lanjut Retno mengingatkan kita semua tentang segala tindakan yang sah untuk menyosialisasikan proses pembangunan yang berkeadilan.

Penulis adalah Profesor Madya Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC), Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).

  • Bagikan