Santet Pada Pembaharuan Hukum Pidana

  • Bagikan
Santet Pada Pembaharuan Hukum Pidana

Oleh Christya Graceilla Putri Tampubolon S.H.

Proses pembuktiannya bukan berdasarkan santetnya, namun lebih kepada penawaran atau pengakuan bahwa bisa melakukan santet. Jadi yang dibuktikan bukan santetnya tapi hubungan antara tukang santet dengan orang yang menyewanya

Di Indonesia, santet dipercaya sebagai salah satu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap seseorang melalui ilmu ghaib. Lazimnya terjadi pada diri seseorang yang menjadi korban santet, muncul luka sakit akibat adanya benda asing yang terdapat didalam diri korban, tapi tidak dapat dijelaskan secara medis mengenai asal usul benda asing tersebut. Bahkan, dalam kasus yang lebih ekstrim, perbuatan santet selain dapat membuat orang menderita berkepanjangan baik fisik maupun mental, dapat pula menyebabkan korbannya meninggal dunia.

Pelaku santet selama ini tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Selain karena adanya asas legalitas, sebagaimana tercantum di dalam KUHP atau (Kitab Undang Hukum Pidana) sendiri yaitu pada Pasal 1 Ayat 1 yang menerangkan bahwa “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.”
Proses pembuktian santet di Pengadilan juga sulit dilakukan. Santet ini merupakan dimensi yang abstrak, yang berada dalam ruang mistis atau spiritual tidak mampu atau bahkan sulit untuk mendapatkan kebenaran materiil terhadap perbuatan santet.

Begitu pula alat-alat bukti yang digunakan didalam KUHAP Pasal 184 tidak ada yang mengatur mengenai bukti-bukti delik santet tersebut. Seseorang yang memiliki ilmu santet dapat dengan leluasa menawarkan jasa santet tanpa rasa takut.

Eksistensi santet inilah, yang kemudian mendorong pemerintah untuk memasukkan pasal kriminalisasi terkait santet dalam RKUHP sebagai Pembaharuan Hukum Pidana, dan tentu dengan maksud untuk meminimalisir perbuatan santet. Di samping itu juga untuk mencegah agar masyarakat tidak main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet. Sebab dalam beberapa kasus di daerah, masyarakat kita terkadang melakukan perbuatan main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh sebagai pelaku santet. Tentu, hal ini bagian dari upaya mengisi kekosongan hukum dan sebagai bentuk respon Negara terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian masih meyakini dan mempercayai hal-hal gaib.

Rumusan delik santet dalam RKUHP merupakan delik formil. Perumusan delik formil mengandung arti apabila semua unsur-unsur dari rumusan delik telah terpenuhi maka sudah dapat dikenakan sanksi pidana tanpa melihat akibat dari perbuatannya. Delik santet tidak merumuskan terkait pembuktian adanya kekuatan gaib karena itu berada pada dimensi lain. Tetapi seseorang dengan sengaja menyampaikan, menginformasikan dan menyanggupi permintaan orang untuk melakukan santet. Proses pembuktiannya bukan berdasarkan santetnya namun lebih kepada penawaran atau pengakuan bahwa bisa melakukan santet, jadi yang dibuktikan bukan santetnya tapi hubungan antara tukang santet dengan orang yang menyewanya sehingga hubungan itulah yang akan dilihat sebagai tindak pidana permufakatan jahat. Apabila terbukti, maka orang itu dapat dikenakan sanksi pidana.

Berdasarkan draft RKUHP yang disahkan menjadi UU KUHP terbaru, pasal itu tertuang dalam Bab Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana, Pasal 252 ayat 1 dan 2 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV dan apabila melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu pertiga)”.

Maka, ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain.

Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan