Victim Impact Dalam Sistem Peradilan

  • Bagikan
Victim Impact Dalam Sistem Peradilan

Oleh Yulia Martha Prayudati

Victim Impact Statement harus diatur di Indonesia dengan sebagaimana mestinya dengan dalil memberikan kesempatan kepada korban menyampaikan dampak dari kejahatan

Hukum dalam peranannya dituntut untuk mengantisipasi perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, dengan jaminan bahwa pelaksanaan dan perkembangannya dapat dilaksanakan dengan teratur dan lancar. Indonesia dikenal dengan adanya proses peradilan pidana proses–ini merupakan sarana yang terbilang cukup ideal dalam penyelesaian perkara di kehidupan masyarakat.

Berbicara tentang korban kejahatan yang merupakan pihak paling dirugikan. Namun dalam hal akibat dari tindak pidana tersebut, korban menjadi kurang diperhatikan dalam proses peradilan pidana. Proses tersebut lebih mengedepankan tersangka atau terdakwa. Hal ini menjelaskan bahwa proses peradilan pidana tidak memikirkan dampak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka atau terdakwa kepada korban.

Salah satu contoh kasus akhir pekan lalu, korban berinisialkan RK yang tersandung isu dalam kasus tersebarnya video syur mirip dengan dirinya yang berdurasi 47 detik yang menuai perhatian publik. Banyaknya pro dan kontra terhadap isu tersebut sehingga para penghuni aktif internet “netizen” banyak membuntuti kasus yang diterpa RK. SA (inisial) yang merupakan pengacara RK menjelaskan bahwa pelaku penyebar video tersebut sudah ditangkap dan pihak yang berwajib juga sudah menindaklanjuti kasus tersebut. Namun, apabila terbukti bersalah maka RK akan disangkakan dua pasal berlapis terkait dengan Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi, dengan ancaman hukuman 6 dan 12 tahun penjara serta denda Rp1 miliar dan Rp6 miliar rupiah.

RK sebelumnya sempat mengaku bahwa dirinya sedang menjalani terapi untuk mengobati trauma mendalam yang dialaminya. Momen itu aktif diunggah oleh akun sosial media milik pacarnya tentang perkembangan kesehatan mental RK.
Erez dan Rogers mendefinisikan pernyataan dampak korban sebagai pernyataan yang dibuat oleh korban yang dimana korban menyatakan dampak terhadap psikologis, fisik, bahaya sosial dan keuangan yang dialami itu juga merupakan bagian dari proses pengadilan.

Pernyataan dampak korban inilah yang berfungsi untuk meningkatkan keadilan dalam sistem peradilan pidana.

Sejarah konsep victim impact statement dapat ditelusuri pada abad ke-13. Hukum umum di Inggris pada saat gugatan perdata dan tindakan kriminal pertama kali terjadi itu dibedakan antara satu dengan yang lain. Victim impact statement kemudian dilegalkan sebagai mekanisme yang memungkinkan raja memandang kasus ini dari sudut pandang korban.

Korban diberi kesempatan untuk berbicara mendukung dalam konteks menjaga perdamaian raja. Dalam proses pradilan, korban hanya menjadi saksi dan terus membuat pernyataan meskipun negara telah mengambil alih peran dalam proses penuntutan. Mahkamah Agung Amerika Serikat mengutarakan bahwa restitusi adalah mencapai tujuan hukuman negara, bukan untuk memberikan kompensasi kepada korban. Tujuan dari aspek restitusi dari proses pidana adalah untuk meringankan beban keuangan para korban dalam mencari pemulihan penurunan keuangan yang mereka alami akibat tindak pidana tersebut.

Dua abad kemudian dari tradisi Anglo-Amerika yang memungkinkan dan mendorong korban kejahatan untuk membuat pernyataan pada saat sebelum penjatuhan hukuman dengan pernyataan-pernyataan yang nantinya sebagai sarana korban untuk menyembuhkan luka mereka atas kejadian yang dialami. Berbeda halnya dengan Indonesia, kedudukan korban masih kurang diperhatian, karena prosesnya lebih banyak berfokus pada hak-hak pelaku saja.

Pengaturan hak korban baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang belum diatur secara eksplisit. Keterlibatan korban hanya sebatas menjadi saksi dalam memberikan keterangan mengenai kejahatan yang dialaminya, padahal seharusnya kerterlibatan korban ini sangat penting dalam memberikan keterangan mengenai dampak dari kejahatan tersebut yang nantinya dijadikan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan kepada terdakwa.

Urgensi pengaturan victim impact statement di Indonesia dapat dilihat dari empat parameter, yaitu : (1) Landasan filosofis, dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila yang bermakna bahwan keadilan adalah hak semua orang dalam kesetaraan perlakuan di hadapan hukum dengan memberikan kesamaan perlakuan di mata hukum untuk menyampaikan dampak kejahatan terhadapnya, terkhusus pada kasus pelecehan seksual;

(2) Landasan yuridis, yang pada intinya dalam Undang-undang Dasar NKRI 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia telah merumuskan tentang hak korban untuk mendapatkan keadilan, namun dalam KUHAP dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur secara eksplisit mengenai hak korban dalam menyampaikan dampak dari kejahatan itu;

(3) Landasan politik, pemerintah telah mengakomodasi sebagian dari Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985 untuk lebih berfokus pada korban kejahatan saja; (4) Landasan sosiologis, kondisi korban kejahatan di Indonesia sering mengalami ketidakadilan atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Karena korban jarang sekali dimintai pendapat tentang dampak kejahatan yang merugikan dirinya. Maka dari itu, Victim impact statement harus diatur di Indonesia dengan sebagaimana mestinya dengan dalil memberikan kesempatan kepada korban menyampaikan dampak dari kejahatan. Dalam proses penyampaiannya nanti dilakukan tidak dikelilingi rasa cemas atau takut, dengan tujuan agar proses penjatuhan hukuman nanti membuat korban merasa adil dan seimbang di hadapan hukum.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan