Pemimpin Yang Dicintai Allah SWT

  • Bagikan
Pemimpin Yang Dicintai Allah SWT
Islami.co

Oleh Dr Dedi Sahputra, MA

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah karena adil itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maa’idah: 8)

Setidaknya ada dua isu besar dalam surah Al-Maidah: 8 yang akan menjadi pembahasa dalam artikel ini yakni, pertama, menyangkut dengan “keadilan”. Kedua, berkaitan dengan “pemimpin”. karena setiap kita adalah pemimpin, sebagaimana hadis berikut: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari Muslim). Maka keadilan adalah produk dari keputusan pemimpin.

Keadilan

Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb menuliskan keadilan yang dimaksud adalah keadilan mutlak atau dalam bahasa sekarang disebut “tegak lurus”. Istilah tegak lurus–yang belakangan ini populer–dimaksudkan hanya pada sesuatu yang tidak juga tidak pernah bengkok. Dalam mengemukakan tafsir QS. Al-Maidah: 8, Sayyid Qutb mengatakan bahwa menegakkan keadilan merupakan di antara perjanjian antara Allah SWT dengan umat Islam adalah untuk menegakkan keadilan mutlak pada manusia yang neracanya tidak pernah miring karena pengaruh cinta dan benci, kedekatan hubungan, kepentingan atau hawa nafsu dan dalam kondisi apapun.

Keadilan itu hanya bersumber pada pelaksanaan ketaatan kepada Allah SWT semata yang bebas dari segala pengaruh yang berasal dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan Allah yang mengetahui segala yang tersembunyi di hati. Konteks ayat ini adalah terhadap orang-orang yang menghalangan kaum beriman memasuki Masjidiharam. Terhadap orang-orang yang menghalang-halangi ini, justru kaum beriman dilarang untuk tidak bersikap adil.

Sayyid Qutb menyebut inilah puncak tertinggi dalam pengendalian jiwa dan bertoleransi yang Allah mengangkat kaum beriman ke puncak ketinggian itu dengan manhaj tarbiyah Rabbaniyah yang lurus. Jiwa manusia tidak akan dapat mencapai tingkatan ini kecuali kalau jika dalam urusan ini dia bermuamalah dengan Allah. Itulah kondisi ketika ia menegakkan kebenaran karena Allah, lepas dari segala sesuau selain Dia–karena merasakan bahwa Allah senantiasa mengawasinya.

Namun pada kenyataannya, meski manusia telah mengetahui prinsip-prinsip dalam keadilan ini, namun ia tetap terbagi menjadi dua bagian yang terpisah. Di satu sisi prinsip itu sendiri dan di sisi lain adalah realitas yang terjadi di dunia nyata adalah sesuatu yang lain. Prinsip-prinsip yang diserukan manusia kepada manusia adalah utopis, tidak terwujud dalam dunia nyata. Karena itu menjadi tidak penting menyeru manusia kepada prinsip-prinsip ini. Yang penting adalah siapa yang menyeru, dari arah mana datangnya seruan itu, serta kekuasaan seruan ini terhadap hati dan nurani manusia.

Itulah sebabnya, meski banyak orang menyerukan keadilan namun seruan itu tidak mengusik hati manusia dan tidak menggerakkan jiwanya. Karena itu adalah seruan yang Allah tidak menurunkan keterangan untuknya. Karena keadilan yang diserukan adalah keadilan yang tidak tegak lurus dan tidak bersandar kepada yang tidak pernah bengkok sedikit pun. Para pemimpin di mimbar banyak beretorika tentang keadilan. Namun keadilan dilihat dari perspektif kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri.

Putuskan Mahkamah Konstitusi misalnya, tentu diputuskan demi keadilan. Namun jika dalam kenyataannya hasil keputusan itu adalah untuk kepentingan diri, dan kelompoknya, maka itu bermakna diretorikan adalah jenis keadilan yang bengkok.

Dalam tafsir Ibnu Katsir ditegaskan lagi bahwa maksud Firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kami menjadi orang-oran yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah” adalah, jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah SWT, bukan karena manusia atau karena mencari popularitas. Dan jadilan kalian, “menjadi saksi dengan adil” maksudnya adalah secara adil dan bukan secara curang.

“Berlaku adil-lah karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. Maksud “berlaku adil-lah” yakni keadilan kalian itu lebih dekat kepada takwa daripada meninggalkannya. Kata kerja dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai mashdar. Karena dhamir (kata ganti) itu kembali kepadanya. Sedangkan maksud “karena adil itu lebih dekat kepada takwa” adalah termasuk dalam kategori fi’lut tafdhil yakni pada kedudukan tempat yang tidak terdapat perbandingannya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Para penghuni Surga pada hari itu paling baik tempat tinggal mereka dan paling indah tempat istirahatnya” (QS. Al-Furqaan: 24).

Pemimpin

Pemimpin adalah orang yang mendapatkan amanah untuk memikul tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabankannya di hadapan Allah SWT. Tanggung jawab ini bersifat pasti dan tidak ada keraguan di dalamnya. Merujuk pemahaman ini, maka sesungguhnya menjadi pemimpin adalah suatu beban yang mesti ditanggung oleh para penerima amanah. Ini berarti bahwa jabatan sebagai amanah pada hakikatnya secara pasti adalah suatu beban.

Adapun pada dalam realitas, jabatan adalah sesuatu yang dibangga-banggakan, sehingga orang beramai-ramai mengejar jabatan, sesungguhnya karena melihat amanah tersebut dalam perspektif duniawi saja. Tidak sedikit bahkan yang tidak mempertimbangkan perspektif ukhrawi dalam melihat jabatan sebagai amanah. Akibatnya seseorang cenderung menghalalkan segala cara, tidak peduli cara halal atau haram, yang penting tujuannya tercapai: menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, ketua KPU, Ketua Bawaslu, menteri, rektor, dekan ketua tim sukses dan sebagainya.

Bagi orang yang yang mengabaikan perspektif Akhirat seperti ini, seolah-olah Al-Qur’an telah menyindir mereka sebagai orang zalim dan bodoh. “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada Langit, Bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikul-lah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh” (QS. Al-Ahzab ayat 72).

Dalam suatu riwayat disebutkan: “Pemimpin mana saja yang dipercaya memimpin rakyat, lalu ia menipu mereka (rakyat), maka ia akan masuk Neraka” (HR Imam Ahmad). Ancaman ini semakin menegaskan bahwa menjadi seorang pemimpin itu bukanlah hal yang mudah. Manakala amanah sebagai pemimpin dimaknai sebagai pekerjaan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb pemilik Langit dan Bumi sudah pasti amanah akan menjadi sesuatu yang berat.

Namun ini juga bukan bermakna bahwa seorang Muslim harus menghindari jauh-jauh jabatan dan amanah. Bukan begitu. Namun seorang Muslim adalah orang yang tidak ambisius mengejar jabatan, namun akan siap setiap saat menerima amanah apabila mendapat kepercayaan. Dan kepemimpinan bagi seorang Muslim adalah mengorbankan waktu, pikiran dan tenaganya demi kemaslahatan yang lebih besar. Jauh dari sekedar keuntungan pribadi, peningkatan karir dan mengumpulkan persediaan harta hari tua, atau mewariskan jabatan kepada anak cucu.

Manusia terbaik yang memegang amanah adalah orang beriman yang dapat menyeimbangkan perspektif Dunia dan perspektif Akhiratnya. Meski tugas dan pekerjaannya banyak dan beragam, namun fokus keputusan yang diambilnya hanya satu saja, yakni Allah SWT. Setiap keputusan yang diambilnya akan mempertimbangkan jawaban yang kelak akan diberikannya ketika ditanya Allah di Yaumil Akhir kelak.

Keputusan seorang pemimpin dengan dasar pertanggungjawaban di Akhirat seperti ini sudah tentu benar, walaupun belum tentu baik, belum tentu populer bahkan belum tentu dipahami orang banyak. Keputusan baik memang akan lebih gampang diterima banyak orang, namun tidak demikian dengan keputusan yang benar. Adalah lebih utama bagi seorang pemimpin mengambil keputusan yang benar dengan baik. Namun jika keputusan benar itu akan dinilai tidak baik, maka seorang pemimpin yang dicintai Allah akan cenderung memilihnya.

Para pemimpin yang adil akan dicintai oleh Allah dan akan mendapatkan tempat yang baik kelak di hari Kiamat. Sebaliknya, para pemimpin yang dzalim akan jauh dari rahmat Allah dan kelak akan ditempatkan di satu tempat yang penuh kemurkaan (tempat yang menyengsarakan). Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri: “Sesungguhnya manusia yang paling Allah cintai dan paling dekat kedudukannya dari-Nya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan manusia yang paling Allah murkai dan paling jauh kedudukannya dari-Nya adalah pemimpin yang dzalim” (HR. Tirmidzi)

Dalam Islam, tujuan kepemimpinan adalah untuk menegakkan agama (iqomatuddin) dan menata dunia dengan agama. Ini berarti menegakkan perintah Allah di Bumi sesuai yang telah disyariatkan-Nya, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta menebar keadilan dan meleyapkan segala bentuk kerusakan.

“(Yaitu) orang-orang yang jika kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat uang makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan” (QS. al-Hajj: 41).

Role model kepemimpinan dalam Islam merujuk kepada Rasulullah SAW. “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan rahmat Allah dan kebahagian pada hari akhir dan banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzab: 21).

Prof Yunahar Ilyas menyebutkan adalah lima rahasia kesuksesan kepemimpinan ala Rasulullah. Pertama, mempunyai track record yang baik, sejak kanak-kanak, remaja, dewasa dan seterusnya selalu menjadi teladan. Tidak ada satu noda hitam dalam kehidupan beliau hingga kaumnya sendiri memberi gelar al-Amin (terpercaya). Al-Quran pun mengabadikan akhlak Beliau SAW, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam: 4).

Kedua, kepemimpinan yang selalu dibimbing oleh wahyu. Jika ada pertanyaan, turun ayat al-Qur’an sebagai jawabannya. Jika ada peristiwa, turun pula ayat untuk meresponsnya. Maka seorang pemimpin Muslim menjadikan al-Quran dan sunnah Nabi sebagai panduan kepemimpinannya.

Ketiga, selalu bermusyawarah dengan para Sahabat, terutama sahabat senior seperti aitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ini menunjukkan Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan dengan bijaksana hasil musyawarah dengan para Sahabat.

Keempat, turun langsung ke lapangan, sehingga ikut merasakan kondisi yang dialami umat.

Kelima, senantiasa konsisten ucapan dan tindakan. Rasulullah SAW Sebelum mengajarkan sesuatu, Beliau SAW melakukannya terlebih dahulu. Nabi disiplin dan adil dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka…” (HR Muslim no. 3447 dari ‘Auf bin Malik).

Dosen Universitas Medan Area, Redaktur Mimbar Jumat Harian Waspada

  • Bagikan