Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, Si Anak Desa Dari Marbun Dolok, Bakkara

  • Bagikan
Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, Si Anak Desa Dari Marbun Dolok, Bakkara
Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, MH, Dandenma Kogabwilhan III, Mabes TNI (kanan) bersama Letjen TNI Agus Suhardi Pangkogabwilhan III. (ist)

JAKARTA (Waspada): Namanya Bombi Parlin Lumban Gaol, dia anak bungsu dari pasangan Gerhad Lumban Gaol dan Tioria Boru Sitinjak. Sebagai anak desa yang dilahirkan di Desa Marbun Dolok. Satu desa yang ada di kawasan lembah Bakkara yang menawarkan keindahaan Danau Toba eksotis dan kaya akan sejarah serta budaya.

Lembah Bakkara ini merupakan tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja, dulunya masuk wilayah administratif Kecamatan Muara, sebelum pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara. Setelah pemekaran, Lembah Bakarra pun masuk wilayah administratif Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sepintas melihat sosok Bombi tidak ada yang istimewa dari dirinya. Sebagai anak desa yang jauh dari perkotaan, setiap paginya Bombi hanya sarapan ‘gadong'(ubi). Kemudian bersama teman-temannya, berjalan kaki ke sekolah.

Tetapi jangan salah, sosok pria yang berpenampilan low profile dan mudah berteman dengan siapa saja, saat ini tercatat sebagai perwira menengah di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) dengan pangkat Letnan Kolonel (Letkol).

” Masa kecil ku, kalau di kampung sebelum berangkat ke sekolah, serapan pagi hanya makan gadong. Jujur, kalau sudah jam 9 pagi, di ruang kelas sekolah, mata mulai mengantuk. Mungkin karena hanya serapan gadong yang sangat kurang vitamin, ujar Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, MH, mengawali kisahnya saat berbincang-bincang dengan Waspada, Selasa, (10/10.2023) di Jakarta.

Lika liku perjalanan hidup si anak desa dari Marbun Dolok, Bakkara ini, tidaklah mudah dan mulus. Tetapi penuh perjuangan panjang dan kegigihan. Bahkan, pengorbanan seorang ibu yang memberikan segalanya untuk anaknya, dijadikan sebagai motivasi, walaupun dirinya tidak bisa menahan tetesan air mata mengenang pengorbanan sang ibu tercinta.

Setelah menyelesaikan sekolah SD dan SMP di kampung, saya pun melanjutkannya ke SMU di Kota Medan. Di kota ini, saya dibimbing oleh abang dan ito, kakak, lae (ipar) yang hebat-hebat,” tutur Bombi Parlin Lumban Gaol.

Dengan bimbingan dari abang dan kakak, dalam hati hanya satu tekad yakni tamat SMU bisa masuk perguruan tinggi negeri. Apa pun jurusannya, bagaimanapun caranya, harus bisa kuliah di perguruan tinggi negri.

” Puji Tuhan, tahun 1993, saya masuk di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), yang kini berobah nama jadi Universitas Negeri Medan (UNIMED),” tuturnya.

Seiring berjalan waktu, tahun 1994, uang kuliah dan belanja setiap hari sudah mulai membingungkan Bombi Parlin Lumban Gaol. Apa lagi kondisi keuangan keluarga di kampung sangat tidak mendukung. Penghasilan orang tua hanyalah petani yang menggantungkan hidup dari hasil panennya.

Keadaan yang sulit dihadapi untuk bisa menutupi biaya hidup di kota Medan, membuat Bombi berpikir pintas dan mulai menyimpang dari kehidupan normal. Si anak desa pun mulai masuk ke pergaulan preman.

Memasuki kehidupan yang keras itu, tuturnya, mendorong dirinya ikuti salah satu organisasi kepemudaan yang ada di Medan.

Bergaul di dunia preman ternyata tidaklah mudah. Sebab di sana makin banyak pergaulan yang menyerempet-nyerempet bahaya.

“Ya Tuhan…hampir tiap malam saya ikuti preman-preman di Pringgan, Nibung dan kawasan lain,” bebernya.

Akhirnya pada tahun 1994 Bombipun berhenti kuliah dan memutuskan berangkat ke Cirebon, Jawa Barat. Bombi langsung menjumpai abangnya Pak Jernih yang memang merantau di Cirebon. Tidak beberapa lama, Bombi memutuskan berangkat ke Bandung.

Di Kota lautan api inilah Bombi bertemu Martin Barus yang selalu memberikan nasehat – nasehat kepada dirinya, betapa pentingnya memiliki ilmu pengetahuan sebagai modal merantau. Bombi mulai sadar setelah merenungi semua nasehat- nasehat dari Pak Martin Barus.

Pada tahun 1995, Bombi memutuskan kembali ke Medan untuk melanjutkan kuliahnya. Dengan tertatih-tatih akibat uang yang tidak ada, si anak desa terpaksa kembali lagi mengerjakan hal- hal yang tidak baik, yakni mengawal judi sampai ke kota Pekan Baru. Tapi, kali ini Bombi tetap fokus, bagaimanapun caranya harus lulus sarjana.

Pada tahun 1997, Bombi mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke Tigalingga, Dairi. KKN ini merupakan program mahasiswa untuk mengabdi kepada masyarakat dengan pendekatan lintas keilmuan.

Sesampai di Tigalingga, Kabupaten Dairi, tempatnya untuk menjalani KKN, Bombi masih penuh kebigungan memikirkan kehidupan selama menjalani KKN di desa itu. Ketiadaan uang menjadi masalah klasik yang dihadapinya.

Puji Tuhan, saya dianggap anak oleh Pak Dana Sembiring, seorang pengusaha Truk pengantar jagung dari Sidikalang ke Medan, tuturnya.

Untuk mendapatkan uang memenuhi kebutuhan sehari hari selama KKN, Bombi pun akhirnya sering mengikuti truk-truk milik Dana Sembiring. Dari hasil mengawal truk -truk inilah Bombi sering mendapatkan uang, hingga bisa menyelesaikan KKN-nya di Tigalingga.

Setelah KKN, perjalanan hidup si anak desa Marbun Dolok, Bakkara ini memulainya dengan ikut nyanyi- nyanyi di Bar, pesta dan acara lainnya di Kota medan. Puji Tuhan, dari bergabung nyanyi dengan trio-trio (kelompok musik) ada tambahan rejeki. Namun naluri bandelnya tetap masih ada, hingga tahun 1998 dia kembali ikut menyemangati judi dadu di Tanjung Morawa. Hingga suatu hari yang naas baginya,Bombi babak belur dikeroyok massa.

” Untung keluargaku baik semua memberi pertolongan, hingga aku sadar dan pulih sampai sehat. Parah kalilah kau anggi (adik)..!, kata Op Gilbert Boru (kakak dari Bombi),ketika itu.

Setelah peristiwa itu, Bombi bertekad menghentikan semua kegiatan yang tidak baik dan fokus menyelesaikan skripsinya.

“Puji Tuhan, semua saya hentikan, dan mulai fokus skripsi. Pada tahun 1999, bulan April, saya di wisuda,” kisahnya.

Setelah menyandang gelar sarjana, Bombi pulang ke kampung halaman di desa Marbun Dolok, Bakkara. Hanya tiga minggu di kampung. Dengan modal ijazah sarjananya, Bombi mempersiapkan diri merantau ke Bandung.

Niat merantau itu pun diutarakannya kepada orang tuanya. Jujur, dalam hati sangat berat menyampaikannya, sebab keadaan keluarga yang serba pas-pasan. Tapi bagi seorang ibu, apa pun ternyata dikorbankan demi anaknya. Hal itu terjadi pada diri Bombi.

Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, Si Anak Desa Dari Marbun Dolok, Bakkara
Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol menggedong Ibunda tercinta Tioria Boru Sitinjak (ist)

Untuk memberangkatkan anak bungsunya, sang ibu, Tioria Sitinjak merelakan kalung emas satu satunya yang dimiliki di jual.

” Saya dan mama pergi ke Dolok Sanggul untuk menjual kalung masnya. Saat itu harganya hanya Rp600 ribu dan semua diberikan untuk bekal dan ongkos ku. Dengan jalan bungkuk – bungkuk, mama mengatarku naik bus Sanggul Mas. Dia melambaikan tangannya tanpa raut wajah sedih karena menjual kalungnya. Ya Tuhan, saya tidak berhenti meneteskan air mata, mulai dari Doloksanggul sampai ke Siborong- borong. Saya selalu ingat kalung mas mama yang terjual hanya untuk memberangkatkan anak bungsunya,” ujar Bombi Parlin Lumban Gaol, dengan linangan air mata harunya mengenang perjuangan sang ibu.

Ayah tercinta, lanjut Bombi, hanyalah seorang kepala desa dan tidak punya harta. Menurut ayahnya, harta adalah kemajuan bersama. Karena kesederhanaan itulah mungkin membuat ayah, selama empat priode didalut sebagai kepala desa.

“Bapak ku tahun 1970, didaulat sebagai Kepala Desa Marbun Dolok, Bakkara, selama 4 periode dan
sejak mengemban jabatan itu bapak juga langsung mengabdi sebagai sintua (pengetua) di gereja HKBP. Sementara mama membentuk paduan suara “Par Hari Selasa”. Tioria Sitinjak aktif di paduan suara hingga tahun 80-an.

Selama perjalanan,Bombi sudah bertekad untuk wajib berhasil. Sesampai di Bandung, pada tahun 1999, Bombi mendaftar ke Sekolah Perwira Prajurit Karier (SEPA PK) TNI dan lolos menjadi Perwira TNI AU dengan pangkat Letnan dua.

“Saya sangat percaya dengan Doa Ibu sepanjang masa,” tandas Letkol Bombi Parlin Lumban Gaol, yang saat ini menjabat sebagai Komandan Detasemen Markas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Dandenma Kogabwilhan) III, Markas Besar (Mabes) TNI,

Seiring berjalan waktu, sembari menapaki karirnya sebagai seorang perwira Angkatan Udara , Bombi Parlin Lumban Gaol tetap menuntut ilmu hingga menyelesaikan S2-nya di UNS Solo.

Sementara bakat bernyanyi yang dimiliki Bombi Parlin Lumban Gaol sejak kecil, terus dijaganya agar tidak terjadi penurunan kualitas. Bahkan bakat bernyanyinya dia buktikan, dimana saat berpangkat mayor, pada tahun 2015, Bombi mengikuti ajang pencarian bakat di salah satu stasiun TV swasta, kala itu Ahmad Dani, Rossa, Bebi Romeo dan Afgan sebagai juri. Bombi juga pernah menjadi juara I dalam lomba karya cipta memperebutkan piala Presiden di kota Pacitan. (Andy Yanto Aritonang)

  • Bagikan