Sketsa Perundungan Di Sekolah: “Hai… Mae… Hahaha…”

  • Bagikan
Sketsa Perundungan Di Sekolah: "Hai… Mae… Hahaha…”
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara, H Jamaluddin, S.Sos.,M.Pd

Y SALAH seorang siswa kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 di salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Utara tiba-tiba bangun dengan santai setelah gurunya kelaur kelas usai memberikan tugas mencatat bahan belajar kepada 40 siswanya.

Sambil membawa buku tulis, Y berjalan melewati dua meja dari tempat duduknya. Sampai di meja tujuan, siswa Y melemparkan buku tulis di meja salah seorang siswi sambil menyeru, “Kau catat sebentar,” perintahnya dengan nada keras dan kasar.

Mendapat perlakuan seperti itu, siswi dengan inisial R terdiam dan tidak mau melaksanakan perintah siswa tadi. Karena menolak perintah, Y menjambak rambut R dengan tarikan keras hingga jilbabnya terlepas. Dan tingkah laku itu disaksikan oleh puluhan siswa lainnya. Namun tidak ada yang berani membela R yang menjadi korban Y.

Y dikenal di sekolahnya sebagai sosok preman dan suka berbuat kasar pada orang yang tidak disukainya. Mereka yang menjadi korban adalah anak-anak pendiam kemudian dengan fisik lemah dari keluarga yang kurang beruntung dari sisi ekonomi.

Beruntung, tidak berapa lama kemudian, guru bidang studi mendapat laporan bahwa Y telah bertindak kasar terhadap R. Karena itu Y dipanggil menghadap kepala sekolah dan diperingatkan untuk tidak mengulangi perbuatan itu, jika Y tidak mau orang tuanya dipanggil ke sekolah dengan sanksi dikeluarkan dari sekolah tempat dia menimba ilmu saat ini.

Cuplikan cerita di atas adalah sekelumit cerita tentang perundungan yang dialami sebagian siswa dan siswi di sekolah di Indonesia tidak terkecuali di Aceh Utara. Perundungan (bullying) dapat berefek negatif pada diri korban. Korban merasa terjajah hingga takut ke sekolah. Minat belajar menurun hingga berefek pada penurunan prestasi dan berbagai efek negatif lainnya.

Untuk menghentikan bullying di sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Aceh Utara, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara, H Jamaluddin, S.Sos.,M.Pd menggelar kegiatan stop perundungan (bullying) di sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kegiatan stop bullying dibuat selama tiga hari berturut-turut untuk ratusan Kepala SD dan SMP di MK Hotel di Lhoksukon.

Kegiatan sosialisasi stop bullying tersebut sengaja dibuat karena memang perundungan kerap terjadi di lembaga pendidikan. Sehingga pihaknya melakukan penganggaran khusus di APBK Aceh Utara tahun 2023. Selain itu juga untuk menidaklanjuti peraturan pemerintah dan juga peraturan dari Kementerian Pendidikan menyangkut dengan perundungan.

Kemarin, kata Jamaluddin, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengajak mengajar dalam episode 25 merdeka belajar itu menyangkut dengan perundungan. Itu artinya, di satuan pendidikan tidak boleh ada lagi perundungan (bullying) baik itu guru terhadap murid atau sesama murid itu sendiri.

“Saya mengakui bahwa perundungan kerap terjadi di satuan pendidikan. Dan bullying telah terjadi sejak dulu hingga saat ini. Di mana pun satuan pendidikan baik formil atau non formil perundungan kerap terjadi. Secara tidak langsung guru pun terkadang melakukan perundungan terhadap siswanya. Artinya secara tidak sadar guru menyampaikan pada anak-anak didiknya ‘hai kiban kah ilee lagee Apa Mae (hai bagaimana kamu ini, seperti Paman Mae)’. Mae itu nama seseorang yang dipelesetkan. Nama aslinya Ismail dipanggil Mae di Aceh). Itu jenis perundungan paling sederhana,” cerita H Jamaluddin kepada Waspada.

Perundungan sesederhana itu saja dipastikan dapat berefek negatif pada pengembangan peserta didik, maka hal ini tidak boleh dilakukan. Makanya, kalau di tingkat SMP dan SMA itu ada guru Bimbingan Pendidikan (Bimpen) dan di tingkat SD ada guru agama. Guru Bimpen dan guru agama diyakini dapat mencegah terjadi perundungan di setiap satuan pendidikan di Kabupaten Aceh Utara.

“Ini terjadi di Aceh Utara walaupun dilakukan secara tidak langsung atau sambil bercanda. Walaupun sambil bercanda ini tidak boleh dilakukan. Ada guru yang menganggil anak didik dengan nama ayah si anak. Secara aturan ini tidak boleh terjadi lagi di sekolah dan jika terjadi akan diberikan sanksi administrasi. Katakanlah guru dan murid yang menjadi pelaku perundungan bisa dikeluarkan dari sekolahnya,” katanya.

Mulai saat ini, perundungan, kata H Jamaluddin, tidak boleh terjadi lagi di sekolah. Para kepala sekolah yang dilatih oleh tutor nasional di Hotel MK Lhoksukon adalah para duta yang akan disebarkan di seluruh satuan pendidikan di Aceh Utara guna menghentikan perundungan. Mereka yang menjadi duta wajib mengajari para guru yang tidak berkesempatan mengikuti pelatihan stop bullying di MK Hotel.

Nantinya kata H Jamaluddin, pihaknya memerintahkan kepada sekolah di setiap satuan pendidikan untuk mengaktifkan kembali fungsi guru Bimpen dan guru agama untuk mencegah terjadinya perundungan. Tentunya dalam hal ini, sebutnya, ikut melibatkan orang tua wali guna melaporkan kejadian perundungan kepada pusat pengaduan layanan pendidikan yang dibuka di sekolah.

“Mudah-mudahan apapun jenis perundungan jangan sampai terjadi di sekolah. Meskipun perundungan paling sederhana seperti saya ceritakan terjadi, dulu kerab terjadi di satuan pendidikan di Aceh Utara walau dilakukan tanpa sadar. Dan itu tidak boleh terjadi lagi. Stop bullying. Saya juga meyakini, ada anak yang mengalami stunting akibat perundungan karena stunting itu bukan hanya pendek fisiknya. Dan pendek belum tentu stunting. Stunting bisa karena terganggu pengembangan mental,” sebut Jamal.

Terakhir H Jamaluddin memberikan contoh sederhana penyebab gangguan pengembangan mental anak adalah seorang guru memanggil salah seorang anak didiknya dengan memanggil dengan nama-nama plesetan atau nama orang tua si anak lalu disambut tawa serentak peserta didik lainnya hingga korban merasa sangat malu. “Hai…Mae…Hahaha…”

Maimun Asnawi, SH,I., M.Kom,I

  • Bagikan