Hidden Punishment Di Dayah 

  • Bagikan
Hidden Punishment Di Dayah 

Oleh Tabrani Yunis

Tulisan penulis berjudul “Jangan Hukum Siswa” yang dimuat di laman Waspada.id pada tanggal 11 Oktober 2023, mendapat banyak tanggapan dari pembaca. Tanggapan – tanggapan yang beragam. Ada yang memberikan apresiasi dengan memberikan imaji acungan jempol, ada yang dengan ungkapan mantap tulisannya dan ada pula yang yang mengucapkan terima kasih atas tulisan yang mencerahkan. Tanggapan itu pun menjadi penyemangat bagi penulis untuk terus bisa berkontribusi pikiran lewat aktivitas menulis.

Nah, di antara sekian banyak tanggapan itu, penulis menerima sebuah tanggapan dari seorang sahabat, seorang ibu yang merupakan orang tua dari seorang santri di sebuah dayah di Aceh. Ia menceritakan tentang kasus yang menimpa anaknya dan juga mungkin sudah ratusan santri mengalami hal yang sama, karena praktik semacam itu sudah lama membudaya di dayah tersebut. Setelah membaca ceritanya, penulis menghubungi yang bersangkutan untuk konfirmasi tentang kasus tersebut. Berdasarkan cerita di whatsapp dan cerita lisan lewat telepon, penulis merasa perlu membagikan cerita ini kepada para pembaca. Oleh sebab itu, penulis memutuskan bahwa ini adalah hal penting untuk disampaikan kepada pembaca, agar hal-hal semacam ini tidak dialami oleh anak-anak kita saat masuk ke lembaga pendidikan seperti ini. Para pembaca boleh menilai dan memberikan pendapat, kritik atau saran dan menjadikannya sebagai case study.

Seperti apakah kasus tersebut? Sang orangtua santri tersebut memulai pesan whatsapp ke WA penulis dengan memberikan apresiasi. Isinya seperti berikut ini.” Sangat menarik tulisan abang ini, sangat mencerahkan”. Mohon izin berbagi bang Tab ya. Mohon bantuan dan analisis seperti tulisan abang itu.

“Anak saya yang pertama, saya masukkan ke Dayah yang berlokasi di daerah kota dekat dengan domisili Saya. Ketika saya masukkan ke dayah tersebut hanya bermodal brosur dan cerita-cerita dari teman. Intinya secara detil saya tidak tahu model-model, metode, standar penilaiannya. Lalu, ketika memasukan anak, maka sebagai orang tua, Saya harus menandatangani perjanjian. Perjanjian itu hanya memuat tentang hukuman-hukuman umum, seperti larangan membawa senjata tajam, tidak membawa alat atau barang elektronik, tidak melakukan tindak kekerasan fisik atau nirfisik. Ya, sangat umum, sehingga surat perjanjian itu pun langsung diteken atau ditandatangani.
 
Nah, apa yang terjadi kemudian, setelah anak saya masuk, dan belajar di sana,  Saya sangat terkejut. Ternyata, ada hukuman lain, selain yang ada di perjanjian yang telah saya tandatangan sebelumnya. Hukuman yang berdampak psikologis anak yang membutuhkan upaya memulihkan mental anak pasca menjalankan hukuman pelanggaran. Ya, hukuman wajib memakai jilbab hijau ke manapun selama 7 hari. Hukuman ini diberikan oleh ustazah bahasa di bawah organisasi bahasa. Anak saya mendapat hukuman memakai jilbab hijau, jilbab yang menjadi identitas seseorang sedang menjalani hukuman. Apa yang terjadi saat dilakukan hukuman ini?
 
Santri/anak yang biasa berjalan dengan wajah tegak, menjadi tertunduk. Biasanya saat ke kamar mandi atau ke kantin atau duduk di lingkungan dayah, ditemani oleh kawan-kawannya, lalu  menjadi tidak seorangpun mau bersisian dengannya. Akibatnya, santri setiap hari menangis, batinnya tertekan dan malu. Lalu menelpon orang tuanya. Nah, Jika sebelum mendapat hukuman selama 7 hari,  kesehatan mentalnya 100 persen, namun selama 7 hari dihukum, mental anak atau santri turun ke 5 persen.
 
Lebih menyedihkan lagi hukuman ini telah berhasil mempermalukan anak/santrinya. Juga sukses mempermalukan orang tuanya. Mengapa begitu?  Ya, karena saat ibunya menjeguk anaknya yang sedang memakai kerudung atau jilbab hijau itu, ibunya pasti berjalan-jalan bersama anaknya di lingkungan dayah dan dilihat dengan pandangan yang aneh (seperti anak kita maling atau pelaku kejahatan berat ) yang diperhatikan oleh santri-santri dan orangtua santri lain.

Sementara orang tua terpaksa hadir ke dayah karena ditelepon oleh anaknya yang sedang depresi, karena hukuman itu. Satu sisi, orangtua datang untuk menyemangati anaknya agar sabar dan kuat, tetapi di sisi lain, harga diri kita juga tengah dipermalukan.

Celakanya, hukuman itu berlanjut terus sepanjang waktu. Jika melanggar lagi, santrinya dihukum lagi 2 minggu dengan tambahan-tambahan seperti dijemurlah, membersihkan lingkungan dan sebagainya. Yang menjadi pasukan penghukum adalah Uthi-Uthi atau kakak kelas yang ditunjuk.

Dalam kasus ini, anak kita tiba-tiba diumumkan melakukan pelanggaran bahasa. Menurut info dari anak saya, dia itu dilaporkan karena ada  berbicara dalam bahasa indonesia oleh seseorang yang harusnya saat itu sedang diwajibkan berbasa Inggris. Tidak kita ketahui siapa pelapornya dan katanya ada saksi-sanksinya. Ironisnya, diciptakan model bergulir.  Jika si A telah dilaporkan begitu, nanti anak yang sama akan memperlakukan hal yang sama kepada anak yang lain lagi.

Sistem yang dibangun malah memberi contoh dan membentuk santri tidak berakhlak, karena diajarkan cara-cara curang, tidak bertanggung jawab, mencari-cari aib dan kesalahan orang lain secara tidak terang dan jelas. Tidak diberitahukan siapa yang melapor, tidak diverifikasi saksi-saksi, apakah pelapor itu benar apa salah.Kalau mau kita urut-urut, maulah rasanya kita tinju ustazah yang bertanggung jawab memberi hukuman tanpa standar begitu.

Kemudian, apa yang terjadi terhadap anak-anak saya yang dahulu sangat kreatif, periang, komunikatif dan pintar, sekarang jauh sekali berubah. Apa yang saya harapkan bisa dapat dari Dayah, tidak saya lihat terjadi kepada anak. Anak saya sebelum ke dayah sangat santun, bicaranya sangat baik, tidak pernah judes-judes, jutek apalagi berkata kasar. Sekarang karena santri-santri lain di sekitarnya, mungkin adabnya waktu di rumah tidak baik, pas ke dayah makin tidak baik. Tapi celakanya anaknya yang kita didik baik, pas ke dayah jadi kurang baik. Ironis.

Pasca hukuman itu diberikan tidak ada yang bertanggungjawab memulihkan mentalnya yang telah terpuruk itu, selain kita orangtuanya. Baru selesai dia menjalani hukuman kemarin sudah difitnah lagi melanggar bahasa, dari entah siapa lagi.

Kalau dipikir-pikir, mau saya pindahkan saja dari tempat itu. Tapi karena dekat entah kenapa dia masih bertahan di tempat itu agar mudah saya kunjungi. Kalau saya lihat skema apa itu bullying, maka dayah itu kena dalam skema bullying dan bisa kita laporkan. Mohon izin bang, tolong pencerahannya dengan tulisan ini.

Begitulah cerita sang ibu yang juga teman penulis yang disampaikan kepada penulis. Silakan para pembaca cermati dan analisis. Mungkin saja banyak orang tua atau santri yang tidak mengalami atau punya pengalaman seperti ini. Bisa pula para pembaca pernah mendapat pengalaman yang sama. Namun para pembaca bisa menjawab sendiri pertanyaan ini. Bila hal itu terjadi pada anak para pembaca, apa yang pembaca rasakan?  Bagaimana sikap para pembaca? Apa yang harus dilakukan? Hal ini perlu dijawab, khususnya bagi orangtua yang berniat mengantarkan anak-anak ke dayah yang menjadi dambaan bagi setiap orang, karena ingin anak-anak menjadi generasi yang menguasai ajaran agama dan menjadi generasi yang berakhlak mulia. Bisa jadi, para pembaca sependapat dengan penulis.

Membaca kisah dari kasus itu, tentu kita masing-masing punya concern dan catatan yang berbeda, namun kita sependapat bahwa ini adalah sebuah kasus yang harus kita diskusikan bersama. Ada beberapa catatan dari kasus tersebut. Pertama cerita di atas membuktikan bahwa praktik memberikan hukuman di dayah selama ini ada dan buktinya ada dalam perjanjian dengan orangtua yang ditandatangani oleh orangtua. Kedua, hukuman menggunakan jilbab hijau merupakan hukuman yang tidak diterakan dalam perjanjian dengan orangtua, merupakan praktik hukuman yang salah dan ini merupakan hidden pusnishment yang tidak seharusnya terjadi dan melanggar kesepakatan tertulis yang telah ditandatangan oleh orangtua.  Ke tiga, bentuk hukuman yang diberikan merupakan hukuman yang bersifat bully. Rahmad Syah Putra dkk, dalam tulisannya “ Tindakan Bullying dan Kekerasan Seksual di Pesantren” yang dimuat dalam buku “ Aceh 2023, Potret baru Patologi Sosial” menyebutkan bahwa tindakan bullying yang selama ini terjadi pesantren-pesantren atau dayah yang sangat meresahkan dan merugikan korban  ada dalam empat jenis tindakan bullying, yakni verbal bullying, physical bullying, psycologocal mental bullying dan premanism bullying.  Ke empat, hukuman menggunakan jilbab hijau selama 7 hari tersebut merupakan bentuk stigmanisasi terhadap korban yang sangat merusak harga diri korban yang dihukum yang berujung pada perubahan perilaku korban, seperti depresi dan kehilangan semangat hidup, karena merasa malu. Ke lima, bila kita lihat kesalahan ( bila benar salah), hukuman tersebut tidak sebanding dengan kesalahan yang dibuat. Santri bukan kkriminal, namun ada aturan dalam pembelajaran yang dilanggar (itu pun tidak lewat verifikasi oleh yang memberikan hukuman). Ini adalah hukuman yang seharusnya tidak patut. Ke enam,  ada kesalahan dalam proses memberikan hukuman kepada santri, yakni memberikan wewenang kepada Uthi atau senior untuk menghukum. Cara ini adalah cara yang melanggengkan aksi kekerasan oleh senior kepada junior di dayah.
 
Tentu masih ada catatan-catatan lain yang bisa kita buat terhadap kasus ini dan penulis yakin bahwa para pembaca memiliki banyak catatan dari berbagai perspektif. Sebagai orang tua dan santri, sangat berharap agar dayah lebih, bijak dan humanis, serta anti kekerasan dalam menjalankan proses pendidikan atau pembelajaran. Dayah dalam mindset masyarakat kita adalah tempat membangun generasi yang cerdas, berakhlak mulia, agamis, dan menjadi harapan setiap orang tua, bahwa setelah selesai menempuh pendidikan di Dayah atau Pesantren, anak akan menjadi orang-orang yang baik, yang mengerti agama dan mewujudkan pengetahuan agama, terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, dalam memberlakukan reward and punishment, pihak dayah, tidak boleh melakukan hal seperti dalam kasus di atas.
 
Sebenarnya, kalau ingin membuat sistem belajar bahasa Inggris yang melarang santri tidak menggunakan bahasa Indonesia saat belajar bahasa Inggris, Ustad dan ustazah harus membuat konsensus bersama santri yang memuat aturan dan sanksi. Penulis sendiri yang pernah menjadi guru bahasa Inggris puluhan tahun, pernah membuat sistem sanksi terhadap siswa yang melanggar aturan belajar bahasa Inggris. Paling tidak, hampir 10 tahun memberlakukan sanksi saat mengajar di SMA Negeri Banda Aceh. Bagi siswa yang menggunakan bahasa Indonesia saat belajar, disepakati sanksi bersama siswa, dengan sanksi yang tidak membuat para siswa down dan ringan. Alhamdulilah, tidak ada satu siswa pun yang keberatan dan merasa dipermalukan. Juga tidak ada orangtua yang datang protes, karena anak-anak kena denda 100 rupiah per kata, karena uang denda itu masuk ke kas kelas, Aman bukan?
 
Pengamat Pendidikan, Pegiat Literasi dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh.

 
 

  • Bagikan