Karya Wagiono Soenarto Dibukukan, Dekan FRSD IKJ: Jadi Referensi Dunia Desain Grafis

  • Bagikan
Karya Wagiono Soenarto Dibukukan, Dekan FRSD IKJ: Jadi Referensi Dunia Desain Grafis

JAKARTA (Waspada): Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta menerbitkan buku ‘Gion, Mitologi Urban: Wayang Wagiono Pasca Pasar’. Buku berisi karya-karya spektakuler seniman seni rupa desain dan ilustrasi, Wagiono Soenarto ini bercerita banyak tentang perang,
cinta, horor dan teror.

“Bermula dari tangan, buku ini adalah narasi tentang perang, cinta, horor dan teror. Karya anak bangsa yang sangat menginspirasi generasi muda saat ini,” ujar Dekan FSRD IKJ, Anindyo Widito, saat menggelar puncuran dan seminar buku Gion di Aula HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Rabu (21/6/2023).

Dr. Wagiono Soenarto, M.Sc. (lahir 20 Mei 1949) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa disain grafis yang digunakan untuk sejumlah film, pameran, buku, interior museum, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Wagiono Soenarto merupakan salah satu akademikus yang menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dua periode (2009-2013 dan 2013-2016).

Hadir dalam peluncuran buku siang itu, Sarwati Santosaning Kalbu, sang isteri dan Imam Anggoro, putra Gion.

Hadir pula Rektor IKJ Indah Tjahjawulan serta Sekretaris Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Imam Hadi Purnomo dan kurator Seni Citra Smara Devi.

Dito, sapaan akrab Anindyo Widito, mengatakan pihaknya sangat menghargai peran pemerintah dalam upaya melestarikan karya seniman sekelas Gion. Buku ini nantinya akan menjadi referensi penting bagi perkembangan dunia desain dan ilustrasi Indonesia, bahkan dunia.

“Buku ini juga mengingatkan pada kita bahwa karya dari tangan itu abadi dan tetap hidup. Meski era kecerdasan buatan saat ini mendisrupsi kita,” tegas Dito.

Karya-karya Gion, lanjut Dito, sangat kental dengan nuansa wayang. Tema yang dihadirkan tentu saja tentang cinta, peperangan, horor dan teror.

Meski demikian, terselip juga karakter-karakter ‘nyeleneh’ diantara ratusan karyanya, yang menggambarkan betapa kuat daya imajinasi Gion.

Sebagai kolega yang cukup dekat dengan Gion, Dito mengaku telah menyaksikan langsung perjalanan kehidupan berkarya seniornya itu.

Dito lantas bercerita betapa dedikasi Gion dalam berkarya memenuhi tidak hanya kepalanya, tapi juga rumahnya.

“Pada sisi timur ruang rumah Wagiono, melewati tumpukan ratusan gambar tangan, setiap hari Pak Gion duduk dengan tekun menggambar. Ya, menggambar dengan tangan adalah kegiatan Wagiono setiap hari akhir-akhir itu, dan produktif dengan beragam tema baru yang terus menerus digali, diulang dan dipertajam seakan sebuah obsesi yang terus-menerus ditumpahkan tanpa henti. Dengan tenang penuh senyum, Wagiono merasa yakin bahwa tidak perlu ada tujuan khusus baginya untuk mengambar.

“Menggambar dengan tangan adalah satu bentuk penegasan ekspresi kreatif yang paling dekat dengan tubuh manusia sejak ia berada di gua-gua pra-sejarah” ujar Dito menirukan ucapan Gion

Akumulasi dari ratusan helai gambar yang selama sekitar tiga tahun belakangan yang kesemuanya digarap oleh Wagiono dengan tekun itu ternyata betul-betul berupa goresan tangan langsung menggunakan medium pena dan kadang juga kuas dengan teknik yang bersahaja.

“Apa arus dasar yang mendasari ekspresi penuturan secara visual yang akhir-akhir ini menjadi obsesi dalam dirinya?
Meski dibuat dengan teknik gambar tangan yang paling mendasar, tidak berarti subyek gambar yang dipilih Wagiono juga sederhana dan apa adanya,” u

Seperti kita ketahui, epos Mahabharatha adalah sebuah narasi tentang konflik perebutan kekuasaan dan kepentingan yang berujung pada perang antar saudara, seperti juga kisah klasik tentang cinta dan kesetiaan dalam Ramayana, keduanya bersumber dari India lebih dari 2500 tahun yang lalu dan menyebar ke Asia Tenggara hingga ke semenanjung Melayu dan Nusantara.

Di negeri kita ini, lanjut Dito, kisah Mahabharata juga Ramayana menjadi dasar dari berbagai bentuk seni visual, seni kriya, seni bertutur dan seni sastra tulis juga seni pertunjukan terutama yang berkembang di Jawa juga di Bali.

Wagiono dengan sabar namun penuh gairah menuturkan bahwa bila dalam kisah Ramayana tema utama adalah kisah cinta dan kesetiaan tokoh Rama dan Sita juga keperkasaan Hanuman dan bala tentara keranya, dan gambaran kemuliaan tokoh Kumbakarna dari Alengka membela negara melawan angkara murka saudaranya sendiri, Rahwana.

Maka epos Mahabharata adalah sebuah contoh konflik dalam keluarga besar Bharata yang tak hanya fisik tapi juga penuh dengan intrik, dengki, amarah dan kelicikan yang akhirnya menyeret seluruh keluarga dalam suatu yudha atau perang besar yang menghancurkan seluruh dinasti keluarga Bharata.

Dengan cerdik pula Wagiono seringkali menyelipkan tokoh-tokoh modern juga narasi terselubung secara sengaja ke dalam bingkai gambar yang sepintas tampil ‘tradisional’ namun bila kita simak secara teliti merupakan tokoh-tokoh dan narasi kekinian yang nakal dengan semangat urban, tentang kebodohan, ketamakan, keculasan yang tak jarang muncul dengan sangat kejam.

Menarik adalah Wagiono menampilkan apa yang disebutnya sebagai “Urban Tribe” atau para mahluk penghuni kota- kota besar masa kini yang penuh ketegangan prasangka antar kelompok etnik penghuni kota yang sifatnya urban.

Konflik kepentingan antar kelompok urban yang nyata ada di sekitar kita dan bersifat kekinian itu diberinya judul ‘Suku Urban’ yang menghuni kota- kota besar di dunia termasuk juga di negeri kita.`

Saat ini manusia menciptakan ketakutan dan kecemasan yang dibuatnya sendiri berupa ketakutan atas hilangnya keberaturan, kecemasan akan kehilangan kemapanan yang hadir dalam kisah seni populer, novel dan media sosial, gambar komik dan film juga video adalah tema terakhir Wagiono yang diberinya judul “ Fear, Horror and Terror” .
Dito berharap buku ini selain dapat menjadi inspirasi, juga menjadi referensi penelitian baik karya maupun pemikiran-pemikiran Wagiono Sunarto.

Selain itu, buku ini juga merupakan
bentuk penghargaan FSRD IKJ kepada Wagiono sebagai guru dan panutan serta atas dedikasinya yang luar biasa pada IKJ dan Fakultas Seni Rupa dan Desain khususnya.

“Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak keluarga Wagiono Sunarto yang telah banyak membantu menyiapkan karya-karya, foto dan informasi lainnya yang mendukung terbitnya buku ini. Tidak lupa terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada tim pembuat buku ini yang telah bekerja keras menyiapkan buku ini, sejak persiapan awal sampai penerbitannya.(J02)

  • Bagikan