Kue Pinungkuik Kuliner Tradisional Aceh Singkil, Menu Sarapan Pagi

  • Bagikan
Kue Pinungkuik merupakan makanan khas tradisional di Kabupaten Aceh Singkil. WASPADA/Ariefh.
Kue Pinungkuik merupakan makanan khas tradisional di Kabupaten Aceh Singkil. WASPADA/Ariefh.

Kue Pinungkuik merupakan makanan khas tradisional di Kabupaten Aceh Singkil, yang banyak digemari menjadi sajian sarapan pagi.

Setiap harinya usai Shalat Subuh para jamaah dari masjid setempat, bahkan masjid desa tetangga mulai ramai mengantre untuk memesan kue pinungkuik panggang di warung Husniati, yang berada persis di depan Masjid Baitusa’adah Desa Ujung Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.

Kue pinungkuik resep olahan turun-temurun keluarga Husniati ini dimasak dengan cara tradisional, yakni dipanggang dengan kayu bakar dan dicetak langsung dengan kuali berukuran kecil.

Aroma khas tepung beras berpadu santan kelapapun mulai menusuk hidung, saat Waspada.id yang ketiga kalinya mencicipi pinungkuik yang biasa disantap dengan kuah santan kelapa atau gula putih itu.

Kue Pinungkuik Kuliner Tradisional Aceh Singkil, Menu Sarapan Pagi
Husniati warga Desa Ujung Kecamatan Singkil yang berdiri menghadap tungku api dan kuali, memanggang kue pinungkuik pesanan pelanggannya, Rabu (19/7). WASPADA/Ariefh.

Tangan cekatan Husniati terlihat tak henti-hentinya, memasukkan adonan kenkuali, kemudian membolak-balikkan kue yang sedang dipanggang dan mengangkat kue yang sudah masak di wadah yang tersedia.

Karena dimasak dengan kayu bakar sehingga aromanya lebih kuat. Dan sangat menggugah selera ingin segera menyantapnya, kata pelanggan lainnya yang juga sedang mengantre menunggu pesanan.

Setiap pagi sebelum adzan Subuh berkumandang sekitar pukul 03:30 WIB, Husniati, 48, dibantu suaminya Muskin dan putranya Sadikin, membuka warung kopi, yang khusus menjajakan kue pinungkuik bakar, resep turun-temurun dari orang tua dan neneknya tersebut.

Kue Pinungkuik dengan rasa khas, sedikit manis dan gurih itu, selalu diburu para jamaah Shalat Subuh dan masyarakat Aceh Singkil hingga wisatawan mancanegara.

“Kalau dulu sebelum Corona, turis dari Medan sampai di sini Subuh, langsung memesan pinungkuik, sebelum naik kapal hendak ke Pulau Banyak. kalau mereka bilang Pengkek,” ucap Husniati saat berbincang dengan Waspada.id di kediamannya Desa Ujung Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, Rabu (19/7) kemarin.

“Yang banyak memesan dari dulu nelayan. Biasa sebelum Subuh mereka sudah datang. Kemudian jamaah masjid dan anak-anak mau sekolah selalu sarapan pinungkuik,” tambahnya

Pinungkuik olahannya ini ada 2 macam rasa dan harga. Untuk yang biasa harganya Rp2.000 perbiji, dengan sajian kriuk (kerak) pada bagian tepi, yang menjadi cita rasa gurih kue tersebut dan pinungkuik kelapa 4 biji harganya Rp5.000.

Sedangkan untuk porsi makan di tempat, seukuran 1 piring makan, harganya Rp4.000. “Kalau porsi makan di sini satu buah sudah kenyang. Karena ukurannya penuh satu piring makan. Kadang ada yang minta 2 porsi,” tambahnya.

Kue Pinungkuik Kuliner Tradisional Aceh Singkil, Menu Sarapan Pagi

Kue ini menjadi sajian sarapan pagi bagi pelanggan yang biasa memesan. Sebab bahannya yang mengandung karbohidrat, karena dibuat dari tepung beras yang ditumbuk langsung, kemudian dicampur dengan santan kelapa, gula putih dan sedikit garam. Tak heran jika sebagian orang yang tidak selera sarapan nasi, lebih memilih menikmati gurihnya kue pinungkuik ini.

Husniati mengisahkan, warung kue tradisionalnya itu sudah dibukanya sejak tahun 1996 silam. Harganya pada waktu itu pun masih Rp200 perbijinya. Usaha kue pinungkuiknya itu melanjutkan usaha keluarga turun-temurun dari masa neneknya.

“Sejak tahun berapa nenek jualan saya tidak ingat, dan bagaimana cerita asal muasal kue tradisional ini saya juga kurang paham karena orang tua dulupun tidak pernah cerita,” ujarnya

Selama menjalankan usahanya ini, sudah berjalan selama 23 tahun, setiap hari, harus bangun pukul 01:00 WIB, untuk menyiapkan olahan kue, yang diadoni secara khusus.

Setelah selesai adonan yang telah didiamkan, kemudian sudah bisa dipanggang sekitar pukul 03:30 atau pukul.04:00 WIB, warung sudah buka. Perharinya, adonan pinungkuik Husniati menghabiskan 4 sampai 5 bambu. Takaran 1 bambu sekitar 1,5 kilogram.

“Setiap hari jualan, hanya bulan puasa, lebaran Idul Fitri dan lebaran Idul Adha libur berjualan. Hasilnya ya Alhamdulillah cukup menguliahkan anak,” ucapnya

Terpisah, Pazri, 63, atau biasa dipanggil, Acu Paz, salah satu pedagang kopi dan warung nasi di Pulo Sarok menyebutkan, kue pinungkuik merupakan makanan tradisional Aceh Singkil.

Dan kue ini sudah ada selama turun-temurun sejak tahun 1970 silam. Sejak zaman Belanda silam sajian pinungkuik ini juga sudah ada. Dan sampai saat ini cara mengolah dan memasaknya juga belum berobah. Hanya ada yang sudah memasak dengan kompor gas. Namun pedagang yang di depan Masjid Desa Ujung sejak dulu masih menggunakan kayu bakar.

Kue ini memang menjadi langganan untuk sarapan pagi pelaut sejak dulu. Karena dari subuh kue ini sudah tersedia.

Bukan identik makanan pelaut tapi memang makanan khas orang Singkil, karena nelayan hendak berangkat ke laut, kue ini sudah dimasak, ucap Acu Paz yang juga mantan pelaut itu.

Sejak zaman nenek moyang kue ini sudah ada. Kalau dulu cara penyajiannya, diolesi sari pati santan, kemudian kue pinungkuik dilapis dua, dan langsung disantap. Rasanya pun lebih gurih.

Kalau sekarang sudah modern, makannya pakai kuah santan kelapa, agak beda penyajiannya dengan zaman dulu, papar Acu Paz. WASPADA.id/Ariefh

  • Bagikan