Anak Yatim

  • Bagikan

Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-langkawi, M.Pd

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” (QS. Al-Ma’un [107]: 1-2)

Islam sangat memperhatikan keberadaan anak-anak yatim untuk mendapatkan perhatian yang sangat serius. Tidak kurang dari 23 kali dalam Al-Qur’an, yang tersebar dalam 12 surat dengan segala variasinya, menyebutnya dalam berbagai konteks. Empat belas di antara ayat-ayat tersebut menunjukkan bentuk jamak, al-Yatāma, delapan dalam bentuk tunggal, al-Yatim dan yatīma, dan satu dalam bentuk dua, yatīmaini.

Keseluruan ayat tersebut menguraikan beberapa hal berkaitan anak yatim, ada yang berupa perintah, larangan, pujian dan kecaman, juga berita yang bukan dimaksudkan sebagai perintah atau larangan. Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin secara kolektif, dan kepada karib kerabat secara khusus menyantuni, membela dan melindungi anak yatim, serta melarang dan mencela orang yang menyia-nyiakan, bersikap kasar atau menzalimi mereka.

Bahkan Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menyia-nyiakan anak yatim adalah pendusta agama. Firman Allah SWT dalam surat al-Ma‘un ayat 1-2: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim” (QS. Al-Ma’un [107]: 1-2).

 Berdasarkan ayat di atas, kedudukan harta anak yatim tidak jauh beda dengan kedudukan harta pada umumnya menurut pandangan Islam. Anak yang di bawah umur dalam pandangan Islam dianggap tidak mampu memegang, mengurus, bahkan mengelola harta yang dimilikinya. Maka, perlu adanya seorang wali untuk mewakili dalam pengelolaan harta anak yatim sehingga tidak habis sia-sia.

Ibu yang juga merupakan orang tua mempunyai hak dan kewajiban yang sama mengurusi harta anak yatim. Perintah pengelolaan harta anak dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’: 5: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An-Nisaa’ [4]: 5).

Dalam ayat di atas, terdapat perintah merawat anak yatim, yakni memberikan mereka pakaian dan rezai yang baik. Menurut Ahmad Mushthafā al-Marāghiy, pengertian al-Rizqu mencakup semua segi pembelanjaan, seperti makanan, tempat tinggal, kawin dan pakaian. Tetapi, yang disebutkan secara khusus hanyalah pakaian (al-kiswah), karena kebanyakan orang meremehkan masalah ini.

Dalam ayat tersebut, digunakan istilah fîhā bukan minhā sebagai isyarat yang menunjukan bahwa harta yang diambil sebagai objek rezeki itu adalah melalui perniagaan. Kemudian yang diberikan kepada anak yatim itu adalah keuntungan dari perniagaan tersebut, bukan dari modal.

Karena itu, jika diambil dari modal, maka otomatis harta mereka akan habis termakan. Artinya, para wali telah dipercayakan mengurus harta anak yatim itu seperti halnya mereka mengurus harta mereka sendiri. Dengan demikian, mereka wajib memenuhi segala kebutuhan si anak yatim tersebut.

Syariat Islam, dalam pemeliharaan dan pengelolaan harta anak yatim, dibutuhkan peranan dari wali menguasai harta anak yatim tersebut. Sebelum perwalian timbul, maka anak berada di bawah kekuasaan orang tua, yang merupakan kekuasaan yang dilakukan ayah atau ibu, selama ayah atau ibu masih terikat perkawinan.

Kekuasaan itu biasanya dilakukan si ayah, namun jika si ayah berada di luar kemungkinan melakukan kekuasaan tersebut maka si ibu menjadi wali. Kekuasaan itu meliputi pemeliharaan anak serta kekayaannya dan mewakili anak dalam bertindak hukum kalau ia belum dianggap cakap (di bawah pengampuan). Standar dan batasan anak yatim dalam Islam adalah sampai dengan anak tersebut baligh dan dewasa.

Menurut Imam Syafi’i bahwa usia baligh untuk melaksanakan perkawinan 15 tahun. Dasar Imam Syafii adalah dari Rasulullah SAW bahwa jihad (turut dalam perang membela agama Allah) itu adalah berusia 15 tahun. Pada usia itu juga sudah ditetapkan dalam hukuman hadd (denda) padanya.

Perwalian merupakan penguasaan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua (keduanya) telah meninggal dunia, berada di bawah perwalian.

Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orang tua dari awal, anak tersebut selalu berada di bawah perwalian. Para ulama madzhab sepakat, wali dan orang yang menerima wasiat menjadi wali harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan banyak di antara mereka yang mensyaratkan wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek. Perwalian ditetapkan membantu ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya

Sepatutnya yang menjadi wali dari pada anak adalah ayahnya sendiri selama ayah masih hidup atau masih bisa menjaga dan mengurus hartanya. Namun jika ayah sudah meninggal atau sudah tidak mampu mengelola harta maka wali anak berpaling kepada kakek dari ayah sekalipun ke atas kemudian sesuai urutan tertibnya dari pihak laki-laki keluarga ayah. Maka para wali di sini berkewajiban mengurus anak yatim tersebut dan mengelola hartanya.

Melihat praktik di lapangan yang terjadi berbeda sekali dengan konsep dimana wali tidak menjalankan kewajibannya sebagai, terkadang tidak menyentuh sedikitpun harta anak yatim karena berada jauh dari tempat tinggal anak yatim tersebut.

Terkadang terkesan acuh tanpa mewakilkan tugasnya kepada orang lain sehingga terkadang sang ibu terpaksa menjalankan perannya sebagai wali karena naluri keibuannya melindungi anak, menyayangi, dan mengurus anak yatim dan mengelola harta anak yatim sampai anak tersebut balighWallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

(Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAIA Samalanga serta Ketua PC Ansor Pidie Jaya)

  • Bagikan