Musim PSB Yang Menggalaukan

  • Bagikan
Musim PSB Yang Menggalaukan

Oleh Tabrani Yunis

Pak Ahmad, seorang pensiunan guru sedang berbincang dengan istrinya di ruang tamu rumah mereka. Perbincangan itu menyangkut masalah kelanjutan sekolah anak mereka yang tahun ini akan lulus dari Sekolah Dasar. Artinya, akan melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama. Mereka merasa resah atau gelisah, bahkan kebingungan melanjutkan ke SMP atau MTsN mana yang cocok dan bisa diterima.

Kerisauan itu sesungguhnya sangat beralasan. Mereka punya seorang anak yang secara akademis, nilainya kurang. Namun, bukan berarti bodoh. Ia punya kelebihan lain, mampu berbahasa Inggris dengan sangat lancar. Sebab, sekolah-sekolah yang dituju, menetapkan nilai minimal 8.5. Sementara anak mereka hanya berada pada nilai rata-rata 8.0. Selain itu, mereka juga merasa galau karena anak mereka juga belum mampu membaca Al-Quran. Ia masih belajar Iqra. Sehingga keterbatasan ini membuat mereka kesulitan untuk masuk ke sekolah yang diinginkan oleh sang anak.

Kelebihan anak mereka adalah sang anak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan sangat baik, karena bahasa Inggris adalah bahasa sehari-hari dalam keluarga. Namun, kelebihan itu, belum membuat mereka berani mendaftarkan anak ke sekolah -sekolah yang tergolong favorit seperti MTsN model, SMP Unggul dan yang berlabel sekolah hebat. Apalagi sekolah-sekolah henat itu hanya menerima murid atau siswa yang nilai minimum 8.5. Jadi kondisi anak mereka jelas tidak mendapat tempat, kecuali bila ada kebijakan atau pengecualian untuk bisa masuk ke SMP atau MTsN yang diinginkan.

Sebenarnya ada juga keinginan untuk masuk lewat jalur alternatif, misalnya ada model sekolah yang memberikan kesempatan lewat golden ticket, atau lainnya, namun karena ada persyaratan lain yang mengganjal, anak tidak bisa memilih jalur itu. Kegalauan itu semakin dirasakan mengingat masa penerimaan siswa baru semakin dekat. Ingin mendaftar di jalur bakat minat, sudah tidak ada pintu, walau ada sekolah yang telah menerima siswa baru lewat jalur-jalur khusus seperti jalur bakat dan minat serta dan lain-lain tersebut.

Kesempatan terakhir adalah masuk ke sekolah -sekolah yang tidak punya label favorit, unggul, boarding, inti dan apalah namanya itu. Hanya bisa memilih sekolah biasa, tetapi orangtua kesulitan dalam hal pengantaran dan penjemputan karena lokasi sekolah yang berada di area yang jauh berbeda.Namun tidak ada pilihan lain, karena pendaftaran selanjutnya adalah lewat jalur umum, mengikuti kegiatan seleksi siswa baru di sekolah-sekolah yang diinginkan atau difavoritkan, namun bukan pilihan anak atau orangtua.

Lalu, menjadi dilema bagi kedua orangtua, Pak Ahmad dan istrinya tersebut. Anaknya yang kedua ini masih terkendala dengan kemampuan membaca dan menulis dengan lancar, walau kemampuan deskriptif dalam bahasa Inggris sangat baik. Akhirnya, kini mereka menunggu dibuka di sekolah “biasa”, dengan harapan ia bisa belajar dengan baik dan tenang tanpa ada rasa takut kena bully dari teman-teman dan juga guru di sekolah.

Kegalauan seperti yang dipaparkan di atas, sesungguhnya bukanlah kegelisahan keluarga Pak Ahmad. Masih banyak orangtua lainnya yang juga galau, resah dan gelisah menghadapi musim Penerimaan siswa baru yang sudah di ujung hidung.

Ini adalah kebiasaan banyak orangtua setiap tahun, setiap kali musim penerimaan siswa baru di setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD, Sekolah Menengah Pertama ( SMP), Sekolah Menengah Atas dan sederajat, serta di level Perguruan Tinggi Negeri, banyak orangtua yang merasa cemas, galau dan bahkan resah. Kerisauan dan kegelisahan itu karena ada ketakutan bila anak-anak mereka tidak diterima di sekolah yang dituju atau yang diinginkan. Apalagi bila waktu pendaftaran itu sangat singkat,tinggal menghitung hari saja. Masa ini adalah masa sibuknya orangtua menjajaki dan mencari sekolah yang cocok dengan sibuah hati. Apa yang membuat sibuk orangtua? Bukankah hanya tinggal datang dan mendaftarkan anak?

Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh orangtua. Pertama adalah memilih sekolah yang cocok atau sesuai dengan kemampuan atau kapasitas anak. Misalnya kapasitas dasar yang akan diuji apabila ada tes atau ujian masuk. Kedua, ada kegalauan orangtua terhadap kemungkinan gagal masuk sekolah, karena tidak lulus tes yang mengharuskan ortu mencari sekolah lain. Ke tiga, ada yang semakin galau karena sekolah-sekolah yang favorit atau unggul hanya menerima anak-anak yang memiliki nilai tinggi, ya misalnya rata-rata minimal 8.5. Padahal tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama, namun sekolah-sekolah bagus hanya memilih anak-anak yang bernilai bagus. Orangtua yang memiliki anak dengan keistimewaan, namun nilai akademik kurang, tidak bisa diterima di sekolah yang berlabel favorit, unggul dan dengan segala label. Ke empat, setiap sekolah memiliki kriteria masing-masing. Misalnya ada kriteria sekolah-sekolah tertentu, seperti sekolah yang tergolong favorit, hebat atau sekolah-sekolah yang diklaim sebagai sekolah unggul. Bisa pula pilihan cenderung pada sekolah – sekolah yang berbasis asrama atau boarding Schools atas dasar pertimbangan agar anak lebih intensif belajar dan sebagainya.

Bagi orangtua yang ingin anak-anak mereka memahami dan menguasai ilmu-ilmu agama, lebih cenderung pula memilih sekolah-sekolah dengan label agama, seperti sekolah Qurani dan pesantren modern dan dayah-dayah.

Bahkan tidak sedikit orangtua yang mengantarkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan berbasis agama, seperti pesantren atau dayah. Lalu yang paling sederhana adalah mencari sekolah berdasarkan faktor jarak dari ruma ke sekolah. Semua ini adalah hal yang menjadi kegalauan dan kerisauan orangtua yang memikirkan soal pendidikan anak-anak mereka.

Biaya sekolah

Apa yang membuat Pak Ahmad dan istrinya makin galau adalah ketika berhadapan dengan persoalan biaya sekolah. Mereka merasa semakin berat untuk membiayai pendidikan bagi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil dan masih wajib menempuh pendidikan, kalau mengacu pada perintah wajib belajar 9 tahun maupun 15 tahun. Ya, untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas selama ini dirasakan semakin mahal. Padahal, sekali lagi, ketika program wajib belajar dilaksanakan, pemerintah wajib menjalankan program pendidikan gratis.

Eh, apakah selama ini tidak ada pendidikan gratis tersebut? Ya, tentu saja selama ini pemerintah telah menjalankan program pendidilan gratis. pemerintah konon sudah membangun fasilitas pendidikan yang juga cukup bagus. Bahkan menyediakan dana yang disebut dengan BOS. Dalam dana BOS itu anggaran belajar bagi anak disediakan negara, walau jumlahnya belum mendukung upaya peningkatan kualitas pendidikan. Kita harus bersyukur.

Namun, ketika kita mengatakan bahwa kini ada pendidikan gratis, lalu bolehlah kita bertanya, yang gratis itu apanya? Ini bisa kita tanyakan pada pihak penyelenggara sekolah. Orangtua banyak yang tidak tahu. Makanya, tidak elok kalau kita membicarakan hal itu. Ya, namanya saja biaya operasional sekolah, ya penggunaannya pasti banyak pada pembiayaan segala macam alat pendidikan yang disetujui.

Ya, yang jelas saat ini, yang gratis itu adalah biaya SPP gratis. Namun ketika orangtua ingin menyekolahkan anak mereka di musim PSB itu, kan bukan hanya biaya SPP? SPP memang gratis, tetapi kebutuhan untuk sekolah bukan hanya SPP. Hebatnya lagi, kalau di sekolah-sekolah yang berlabel eksklusif tersebut ada saja cara pihak penyelenggara sekolah menarik uang dari orangtua. Ada banyak sekolah yang menarik biaya untuk guru pendamping dan lain-lain. Bukan hanya itu untuk sekolah-sekolah yang dikelola secara bisnis, uang masuk sekolah dirasa sangatlah mahal dan bahkan tidak mampu terjangkau oleh keluarga miskin, bahkan menengah. Pokoknya biaya pendidikan dirasa semakin mahal.

Lain lagi dengan persoalan ekonomi masyarakat yang saat ini semakin lemah. Lemahnya kemampuan ekonomi ini membuat orangtua semakin berat karena beban pikiran untuk menyekolahkan anak semakin mahal dan ditambah dengan mahalnya biaya hidup sehari -hari yang semakin sulit dan menurunkan daya beli ini, orangtua semakin galau menghadapi masa pemerintah siswa baru saat ini.

Penulis adalah Pengamat Pendidikan, pegiat literasi, pensiunan guru yang kini tengah membangun rumah belajar bisnis di POTRET Gallery Banda Aceh

  • Bagikan