KLHK Akan Canangkan Gerakan Nasional “Compost Day – Kompos Satu Negeri”

  • Bagikan
KLHK Akan Canangkan Gerakan Nasional “Compost Day - Kompos Satu Negeri”
diskusi pojok iklim bertema ”Kontribusi Pengelolaan Sampah Organik di Sumber Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca” yang digelar secara daring dan luring di Jakarta, Rabu (22/2/2023). (ist)

JAKARTA (Waspada): Guna mencapai target Zero Waste Zero Emission dari subsektor sampah, sudah sepatutnya pengelolaan sampah organik yang baik dan benar menjadi determinan. Jadi, diperlukan aksi nyata pengelolaan sampah organik yang lebih massif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) menginisiasi Gerakan Nasional “Compost Day – Kompos Satu Negeri” yang akan dicanangkan Menteri LHK, Siti Nurbaya, Minggu 26 Pebruari 2023, di Lapangan Banteng, Jakarta.

Dirjen PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi pojok iklim bertema ”Kontribusi Pengelolaan Sampah Organik di Sumber Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca” yang digelar secara daring dan luring di Jakarta, Rabu (22/2/2023).

Menurut Vivien, melalui gerakan nasional ini KLHK ingin menegaskan bahwa sampah merupakan tanggung jawab kita semua. Diharapkan kegiatan ini dapat menjadi momentum yang baik untuk menuntaskan masalah sampah di Indonesia dengan partisipasi aktif masyarakat sejak dari sumber.

“Jika seluruh masyarakat Indonesia melakukan pengomposan sampah organik sisa makanan setiap tahunnya secara mandiri di rumah, maka 10,92 Juta ton sampah organik tidak dibawa ke TPA, dan dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 6,834 juta ton CO2eq,” ujar Rosa Vivien.

Diskusi pojok iklim yang diikuti lebih 400 peserta dari berbagai kalangan ini, dimoderatori peneliti BRIN Dr. Sri Wahyono dan menghadirkan narasumber Walikota Depok, diwakili Asisten Sidik Mulyono, M.Eg, serta penggagas Koperasi Kompos PKK RW 16 Kel. Penggilingan Jakarta Timur, Shanti Syahril.

Kedua narasumber ini memberikan paparan kontribusi yang selama ini dilakukan Pemkot Depok dengan penerapan sistem “Partai Ember”, yaitu pemilahan sampah organik di setiap rumah. Begitu Koperasi Kompos yang digagas Shanti Syahril telah memberikan kontribusi besar dalam kaitan pemilihan dan pengolahan sampah meski masih di tingkat RW.

Berdasarkan data KLHK tahun 2022, jumlah timbulan sampah di Indonesia sebesar 68,7 juta ton/tahun dengan komposisi didominasi sampah organik, khususnya sampah sisa makanan yang mencapai 41,27%. Kurang lebih 38,28% dari sampah tersebut bersumber dari rumah tangga. Selain itu, untuk konteks lebih global, sampah organik juga merupakan kontributor utama emisi GRK jika tidak terkelola dengan baik.

Selain itu, data KLHK Tahun 2022, papar Rosa Vivien, sekitar 65,83% sampah masih diangkut dan ditimbun di landfill. Sampah organik sisa makanan yang ditimbun di landfill akan menghasilkan emisi gas metana (CH4) yang memiliki kekuatan 25 kali lebih besar dalam memerangkap panas di atmosfer dibandingkan karbon dioksida (CO2), sehingga berkontribusi besar dalam perubahan iklim.

“Ledakan gas metana juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya longsor di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005, dikarenakan sebagian besar sampah organik ditimbun di landfill yang dikelola secara open dumpin,” ungkap Dirjen Rosa Vivien memberi contoh .

Untuk mengenang tragedi tersebut, lanjutnya, setiap tanggal 21 Februari, Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sebagai konstelasi perjalanan panjang sistem pengelolaan sampah di Indonesia.

Peristiwa di TPA Leuwigajah tidak hanya berimplikasi pada shifting perhatian dan fokus ke pengelolaan sampah terintegrasi, namun dampak yang lebih besar terjadi terhadap lingkungan dan ekosistem kehidupan global yaitu perubahan iklim.

Terkait Gerakan Nasional “Compost Day – Kompos Satu Negeri”, Dirjen PSLB3 Rosa Vivien mengungkapkan, saat ini terdapat dua masalah utama dalam pengelolaan sampah organik; Pertama,tidak dilakukan pemilahan sampah organik oleh masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah organik yang tercampur dengan sampah anorganik akan sulit dilakukan pengolahan lanjutan, misalnya melalui metode pengomposan atau Budidaya Maggot Black Soldier Fly.

“Kondisi tercampur ini dapat mengakibatkan proses pengolahan menjadi tidak optimal dan nilai ekonominya akan menurun sehingga dapat menghambat kegiatan ekonomi sirkular,” ujar Rosa Vivien.

Kedua, sebagian besar sampah organik masih berakhir di landfill. Akibatnya TPA menjadi bau yang berakibat buruk pada lingkungan sekitar dan sampah organik di landfill menghasilkan emisi gas metana yang berkontribusi besar dalam perubahan iklim dan dapat mengakibatkan tragedi seperti di TPA Leuwi Gajah tahun 2005.

      Pengelolaan Sampah

Di sisi lain, guna menjawab tantangan perubahan iklim, Dirjen Rosa Vivien menegaskan pengelolaan sampah di Indonesia telah berkembang maju menuju emisi net zero yang diwujudkan melalui berbagai aksi mitigasi yang dilaksanakan secara bertahap dan komprehensif. Pada tahun 2025 ditargetkan seluruh Tempat Pemorosesan Akhir dikelola dengan metode lahan urug saniter serta menerapkan pemanfaatan gas metan pada tahun 2050.

Disebutkan juga, tidak ada lagi pembangunan TPA baru mulai tahun 2030. Penggunaan TPA eksisting akan dilatanjutkan hingga masa operasionalnya berakhir serta landfill mining sudah mulai dilakukan, lalu diupayakan tidak ada pembakaran liar mulai tahun 2031.

Kemudian Fasilitas pengelolaan sampah seperti PLTS, RDF, SRF, biodigester, dan maggot untuk sampah biomass dioptimalkan dan ditingkatkan kapasitasnya, sehingga tahun 2050 operasional TPA diperuntukkan khusus sebagai tempat pembuangan sampah residu, dan yang tak kalah penting penguatan kegiatan pemilahan di sumber dan pemanfaatan sampah sebagai bahan baku daur ulang ditingkatkan secara optimal.

Karena itu lanjut Rosa Vivien, dalam mewujudkan target tersebut diperlukan pengoptimalan seluruh aspek rantai nilai pengelolaan sampah dari hulu ke hilir untuk menguatkan pengelolaan sampah di sumber, mengurangi timbuan sampah ke TPA dan mengurangi emisi GRK yang dihasilkan.

Di samping itu, bekerja sama secara erat juga mutlak dilakukan melalui kolaborasi sinergis antar para pemangku kepentingan seperti pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, civil society organization, dan komunitas masyarakat.

Dijelaskan Rosa Vivien, dalam rangka HPSN 2023, rangkaian kegiatan dilaksanakan untuk menguatkan rantai nilai pengelolaan sampah dan mewujudkan pengelolaan sampah menuju emisi net zero, sehingga ditetapkan tema HPSN 2023 yaitu ”Tuntas Kelola Sampah untuk Kesejahteraan Masyarakat”.

Penerapan secara optimal sektor ekonomi sirkular harus dilihat sebagai bentuk baru aktivitas perekonomian yang aman dan adil antara aspek ekosistem (ekologi) dan aspek mendasar pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Ekonomi sirkular harus dipandang sebagai sebuah transisi sosial yang memberikan manfaat, tidak hanya ekonomi namun juga sosial dan lingkungan secara sinergis. Hal ini hanya bisa terjadi jika seluruh pihak bersama-sama menggali potensi rantai nilai dari pengelolaan sampah yang secara bersamaan juga bisa berkontribusi terhadap pengurangan menuju Zero Emisi.

Adapun pelaksanaan HPSN 2023 memiliki maksud dan tujuan; Meningkatkan peran masyarakat dalam mendukung perubahan perilaku dan kepedulian terhadap lingkungan terutama dalam pengelolaan sampah, Memperkuat partisipasi publik dalam upaya mencapai net zero emission melalui gerakan memilah sampah, Memperkuat komitmen dan peran aktif pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah, Membangun secara sistematis dan integratif pengurangan sampah dan penurunan emisi dengan kepentingan dan pertimbangan sektor pemukiman, pendidikan dan lain-lain. (rel/Jo5)

  • Bagikan