Geng Pelajar, Produk Gagal Dunia Pendidikan

  • Bagikan
Geng Pelajar, Produk Gagal Dunia Pendidikan

Oleh Tabrani Yunis

Ada banyak sebutan terhadap para pelaku perundungan atau aksi kekerasan yang pelakunya adalah para peserta didik, yang juga kita sebut sebagai murid, pelajar, siswa atau bahkan santri dan mahasiswa yang ada di lembaga-lembaga pendidikan kita, mulai dari pendidikan dasar, menengah dan perguruan Tinggi. Paling kurang, akhir-akhir ini, kita semakin sering mendengar sebutan geng pelajar, geng sekolah atau bahkan preman terpelajar dan mungkin ada sebutan lain yang tidak ada dalam ingatan kita. Sebutan-sebutan itu lahir dan eksis di tengah semakin merajalelanya kasus-kasus perundungan atau aksi kekerasan yang terus terjadi di lembaga sekolah kita. Kasus-kasus yang kerap terjadi di sekolah-sekolah berlabel segala macam keunggulan. Seperti halnya kasus termutakhir adalah kasus perundungan di Sekolah Binus di Jakarta.

Sebutan-sebutan itu pun, kini makin sering digunakan dalam pemberitaan, atau percakapan, diskusi dan seminar pendidikan. Sehingga, sebutan itu menjadi sangat popular dan viral, bahkan muncul menjadi sesuatu yang membanggakan bagi sebagian remaja, dan bahkan keberadaan badboy pun menjadi idola mereka, kaum yang kita sebuah sebagai kelompok remaja di era ini. Sangat destruktif dan membahayakan, bukan?

Nah, tentu destruktif dan membahayakan, sejalan dengan semakin seringnya terjadi kasus perundungan atau aksi kelerasan yang pelakunya adalah para pelajar atau remaja terdidik tersebut, penulis ingin mengajak para pembaca untuk ikut serta membicarakan hal ini. Ini adalah masalah penting yang harus segera disikapi. Dikatakan demikian, karena hal ini adalah masalah bersama, masalah kita bersama bangsa ini, terutama yang masih memiliki anak yang usia sekolah di jenjang SD, SMP dan SMA. Oleh sebab itu, penulis ingin mendapatkan respon atau jawaban dari para pembaca untuk menambah referensi dalam memahami masalah ini.

Sebagai masalah bersama, kita awali dengan beberapa pertanyaan. Ya, pertanyaan pertama adalah apa yang terbayang di benak atau pikiran pembaca ketika mendengar atau membaca berita “ Geng Pelajar, Geng Sekolah” atau preman pelajar? Ke dua, bagaimana pula perasaan para pembaca terhadap maraknya aksi geng pelajar, baik di sekolah, maupun di luar sekolah. Apakah para pembaca merasa prihatin?

Penulis yakin bahwa sebagai orangtua atau pun masyarakat, pasti akan merasa prihatin mendengar atau membaca tentang geng pelajar ini. Pasti ada yang bertanya, bagaimana bisa pelajar yang sedang digembleng di sekolah menjadi geng atau preman?

Ya, tentu saja kita merasa prihatin terhadap banyaknya kasus geng pelajar di tanah air, terutama di sekolah-sekolah di perkotaan, seperti Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Aksi geng atau gengster yang kini terus menggejala di dalam dunia pendidikan kita, di hampir semua level atau jenjang pendidikan, merupakan bentuk aksi kekerasan atau perundungan yang dilakukan para peserta didik secara berkelompok. Kata “ geng “ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kelompok atau gerombolan remaja (yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah, dsb). Bila kita mengacu pada pengertian di Wikipedia , geng pelajar dapat digambarkan sebagai suatu asosiasi remaja sebaya yang dibentuk sendiri berjumlah dua atau tiga orang bahkan lebih yang berusia dua belas tahun ke atas yang melakukan aktivitas kejahatan atau pelanggaran tata tertib.

Dari pengertian di atas, geng pelajar merupakan individu atau kelompok pelaku tindak atau aksi kekerasan kalangan pelajar yang masih berusia remaja yang melakukan tindak kriminal di lingkungan sekolah dan juga di luar sekolah. Jadi, praktik gengster di kalangan pelajar merupakan bentuk kenakalan remaja yang tergolong dalam tindakan kriminal yang melakukan berbagai aksi kriminal seperti bullying, dan berbagai macam atau jenis tindak kekerasan lain yang terjadi di sekolah atau dunia pendidikan kita. Aksi dan praktik geng pelajar kini semakin menambah panjang angka aksi kekerasan atau perundungan di lembaga pendidikan di Indonesia. Menurut Inspektorat Jenderal Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mencatat ada 127 kasus kekerasan di sekolah pada tahun 2021- 2023. Rinciannya, ada 7 kasus pada tahun 2021, 68 kasus pada 2022 dan 53 kasus di tahun 2023. Kasus perundungan paling banyak dilakukan dan menyusul kasus kekerasan seksual dan intoleransi. ( Kompas, 31/01/224)

Nah, itu kasus yang terjadi sejak 2021 hingga 2023. Tentu dengan masih terjadinya kasus perundungan di lembaga pendidikan kita di tahun 2024, angka itu akan terus naik.Meningkatnya jumlah kasus tindak kekerasan atau perundungan di kalangan para peserta didik, baik yang dilakukan oleh orang dewasa, guru dan kepala sekolah terhadap peserta didik, maupun yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri yang kita sebut sebagai geng pelajar, menambah buruknya dunia pendidikan kita.

Ya, aksi geng atau premanisme di kalangan pelajar ini merusak citra sekolah dan bahkan dunia pendidikan di tanah air. Tindakan premanisme dan geng remaja ini, membuat suasana proses pendidikan di lembaga pendidikan menjadi tidak aman. Padahal sekolah atau lembaga pendidikan merupakan tempat aman dan menjadi rumah kedua bagi anak. Namun dengan munculnya geng pelajar atau preman sekolah, membuat sekolah atau lembaga pendidikan bukan lagi tempat yang aman dan nyaman. Oleh sebab itu wajar bila Mendikbudristek, Nadiem Makarim menyamakan kasus-kasus perundungan atau aksi kekerasan, gengster dan preman sekolah di sekolah atau lembaga pendidikan di tanah air sebagai pandemi. KOMPAS.com – 8/8/23, mengutip Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim menyebut pandemi bukan hanya penyebaran Covid-19 saja di Indonesia, tapi kekerasan di satuan pendidikan juga telah menjadi pandemi yang besar.

Nah, begitu meresahkan kita, bukan? Ya tentu saja meresahkan mengingat bahaya besar di setiap terjadinya aksi perundungan di lembaga pendidikan selama ini, yang tidak hanya mengakibatkan munculnya rasa tidak aman di sekolah, tetapi menyebabkan cacat permanen dan korban jiwa serta pengaruh terhadap kesehatan mental remaja. Oleh sebab itu, selama ini pemerintah pun telah berupaya mencari jalan keluar atau solusi terhadap permasalahan ini dengan berbagai cara, termasuk dengan program Merdeka belajar.

Pelaksana tugas Sekretaris Direktorat jenderal pendidikan anak usia dini,dan pendidikan dasar dan menengah Kemendikbudristek, Praptono dalam webinar “ Silaturahmi Merdeka Belajar bertajuk Pendidikan berkualitas tanpa kekerasan Melalui Permendikbudristek tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP), Kamis 24/08/23 mengatakan bahwa dari asesemen nasional terdapat temuan yang meminta pemerintah serius menangani kasus kekerasan.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemerintah lewat Kemendikbudristek telah berupaya untuk memutus rantai kekerasan atau perundungan serta premanisme dan gangster di lembaga-lembaga pendidikan selama ini, namun aksi atau tindak kekerasan itu masih saja sering terjadi hingga kini. Bahkan dengan bangkitnya komunitas pelaku kejahatan yang kita sebut sebagai geng pelajar atau geng sekolah, semakin membuat rantai kekerasan itu sulit diputuskan. Oleh sebab itu, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek dan jajarannya jangan pernah berhenti berupaya memutuskan rantai kekerasan ini. Selalu harus melalukan monitoring dan evaluasi terhadap berbagai program dan upaya pencegahan terhadap munculnya benih-benih kekerasan di lembaga -lembaga pendidikan saat ini.

Agar benih-benih kekerasan, premanisme di sekolah bisa diurai dan diputuskan, Kemendikbudristek dan jajarannya harus menemukan akar masalah munculnya benih kekerasan atau perundungan, baik yang dilakukan oleh guru atau pihak lain di lingkungan sekolah, maupun oleh para peserta didik yang berwajah geng atau preman pelajar tersebut. Satu di antara sekian banyak hal yang harus dilakukan adalah menghapus tradisi senioritas di lingkungan sekolah yang selama ini sudah terlanjur dipelihara. Senior yang diberi wewenang melakukan aksi dengan memberi atau mendelegasikan tugas dan berujung dengan aksi kekerasan.

Kedua, pihak sekolah pada level paling dekat dengan peserta didik, perlu melakukan upaya identifikasi terhadap munculnya benih-benih perilaku dan calon pelaku geng pelajar atau geng sekolah. Perlu pemetaan atau mapping terhadap peserta didik di setiap sekolah. Dengan demikian, sekolah pun akan bisa melakukan mitigasi terhadap kemungkin tumbuhnya bibit baru kekerasan termasuk geng pelajar tersebut. Tentu ini tidak hanya menjadi tugas dan kewajiban sekolah atau Kemendikbudristek, tetapi menjadi tanggung jawab tripusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat.

Harus diakui bahwa benih kekerasan itu sebenarnya tidak selamanya berkecambah di sekolah, tetapi bisa berawal dari rumah atau keluarga. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya akhlak yang baik itu, seperti sopan santun, anti kekerasan dan perilaku baik atau buruk, berawal dari rumah, dari sikap dan perilaku orangtua atau keluarga. Apabila anak sejak di rumah sudah diajar dan dididik dengan akhlak yang mulia, Insya Allah di luar juga akan berakhlak mulia, walau ada pengaruh pergaulan dengan teman sebaya yang harus tetap dikontrol oleh orangtua dan sekolah.

Di sinilah perlunya membangun tali asabat dalam melakukan kontrol antara orangtua dan pihak sekolah. Kedua lembaga pendidikan ini harus mengikat kerjasama yang baik, sehingga saling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak di rumah dan keluarga dan sekolah. Orangtua tidak boleh merasa tugas dan tanggung jawab sudah selesai karena sudah menyerahkan anak ke sekolah atau secara sarkasme merasa sudah selesai karena sudah membayar pihak sekolah sebagaimana ditetapkan. Ini tidak boleh terjadi, karena bisa jadi anak keluar dari sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Bukankah sekarang ini setiap hari kita bisa menyaksikan banyak peserta didik yang mangkir dari sekolah secara sembunyi-sembunyi?

Harus diakui pula bahwa dalam banyak kasus perundungan, premanisme dan geng pelajar atau geng sekolah muncul tidak lepas sebagai akibat dari keruntuhan lembaga Pendidikan Keluarga yang guru dan pendidiknya adalah ayah dan ibu. Selain itu, semakin parah lagi bahwa budaya kekerasan kian mengkristal, karena hilangnya daya kontrol masyarakat. Ya, masyarakat semakin apatis terhadap persoalan yang terjadi. Bahkan dalam banyak hal, seperti berkumpulnya peserta didik di warung-warung atau kios-kios tempat para peserta didik membeli rokok dan merokok serta makan makanan, dengan beramai-ramai, tidak membuat masyarakat peduli dengan hal itu, seakan itu bukan kewajiban masyarakat yang sesungguhnya menjadi pengontrol sebagaimana makna tripusat pendidikan.

Yang terakhir last, but not least, sistem punishment dalam mengatasi dan solusi pada setiap kasus perundungan, tidak menimbulkan rasa jera bagi pelaku, malahan mengorbankan korban dengan cara atau solusi yang ditempuh, sehingga kasus-kasus kekerasan dan munculnya geng pelajar bisa bangkit lagi, karena tidak ada risiko berat di depan mata. Mari kita hentikan segala bentuk kekerasan dan perundiungan di lembaga-lembaga pendidikan. Jangan jadikan perundungan sebagai saksi bisu yang mengklaim bahwa “ Geng Pelajar adalah bukti Produk gagal dunia pendidikan”. Semoga

Penulia Pegiat literasi dan pensiunan guru Bahasa Inggris berdomisili di Banda Aceh.

  • Bagikan