Kala Makna Kuliah Saja Tak Dimengerti

  • Bagikan
Kala Makna Kuliah Saja Tak Dimengerti

Oleh Tabrani Yunis

Pagi ini, sambil menikmati sarapan pagi dengan menu sepiring ketela rebus dan segelas wedang jahe hangat di cafe Cut Ayah, yang letaknya sekitar 100 meter dari POTRET Gallery, terdengar lantunan lagu Ebiet G.Ade. Lagu yang selalu menjadi inspirasi dalam mendapatkan ide-ide menarik tentang kehidupan sosial. Ya, satu di antaranya, lagu Dosa Siapa Ini Dosa Siapa yang liriknya seperti berikut ini;

Kudengar suara jerit tangismu..Sesepi gunung..Kulihat bening bola matamu…Sesejuk gunung…Oh, engkau anakku…Yang menanggungkan noda…Sedang engkau terlahir…Mestinya sebening kaca…Apa yang dapat kubanggakan?….Kata maafku pun belum kau mengerti…Dosa siapa? Ini dosa siapa?…Salah siapa? Ini salah siapa?…Mestinya aku tak bertanya lagi…Kudengar ceria suara tawamu…Menikam jantung….Kulihat rona segar di pipimu…Segelap mendung…Oh, engkau anakku…Yang segera tumbuh dewasa…Dengan selaksa beban…Mestinya sesuci bulan…Apa yang dapat kudambakan?….Kata sesalku pun belum kau mengerti…Dosa siapa? Ini dosa siapa?…Salah siapa? Ini salah siapa?…Jawabnya ada di relung hati ini…

Kala menikmati sajian pagi itu, lantunan lirik lagu Ebiet itu membawa pikiran penulis menerawang jauh ke alam sadar yang menyadarkan penulis pada sebuah kondisi kekinian terhadap realitas sosial para generasi bangsa yang sedang disiapkan untuk mampu menghadapi masa depan. Masa depan yang lebih baik, sejalan dengan perkembangan zaman.

Penulis terkenang akan sebuah percakapan dengan sekitar 30 mahasiswa di ruang kuliah sebuah PTN di negeri ini beberapa tahun lalu. Penulis ketika itu mengasuh mata kuliah entrepreneurship. Bukan sebagai dosen tetap, tetapi sebagai dosen luar biasa yang masuk kategori seorang praktisi, sehingga diberikan peluang mengajar di PTN tersebut.

Sebenarnya ini bukanlah percakapan pertama, karena penulis sangat sering mengajak mahasiswa diskusi pada hal-hal yang bisa meningkatkan kesadaran kritis (critical thinking), membangun kapasitas mereka sebagai mahasiswa, walau saat itu penulis mengasuh mata kuliah English for Banking. Percakapan atau diskusi awal yang muncul ketika menemukan fakta rendahnya minat membaca di kalangan para mahasiswa saat ini. Maka, percakapan atau diskusi ini yang lahir atas keprihatinan terhadap budaya belajar mahasiswa saat ini.

Temuan ini masih perlu dibuktikan dengan berbagai survei atau penelitian mengenai minat membaca, atau mengenai kemampuan literasi, numerasi dan sains dari kalangan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta, baik di Aceh maupun di luar Aceh. Ya, kiranya setiap universitas melakukan assesmen terhadap kemampuan literasi, numerasi dan sains para mahasiswa untuk mengetahui tingkat kemampuan para mahasiswa yang selama ini juga banyak berbenturan dalam mengerjakan tugas akhir kuliah, yakni menyusun dan menulis skripsi dan selanjutnya disertasi.

Sebenarnya sudah banyak data mengenai kemampuan literasi generasi bangsa Indonesia yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti OECD, PISA dan lain-lain, yang tidak perlu kita sebutkan lagi angka-angka presentasinya. Silakan saja search di Google dan bahkan kini di AI.

Yang jelas, secara empiris di lapangan, penulis menemukan banyak fakta memilukan terkait rendahnya pengetahuan para mahasiswa terhadap ilmu-ilmu yang masih penting diketahui seperti pengetahuan agama, sejarah, geografi dan lain-lain. Rendahnya pengetahuan yang disebabkan oleh terjadi perubahan pola belajar generasi sekarang yang semuanya bertumpu pada penggunaan alat komunikasi dan informasi berupa gadgets yang sangat memudahkan mereka menyimpan dan mengakses informasi atau pengetahuan. Gadgets sebagai alat untuk mengakses semua informasi dan pengetahuan yang diakses dengan adanya fasilitas internet, sudah sangat memanjakan generasi ini. Sehingga dalam mudah dan membanjirnya informasi dan pengetahuan di alat komunikasi dan informasi yang canggih itu, otak tidak lagi sebagai tempat menyimpan informasi dan pengetahuan mereka. Kalau ada yang bertanya sesuatu, jawabannya tinggal tanya pada uncle Google. Jadi sebenarnya di sini, otak mahasiswa bisa digudangkan, lalu gunakan saja gadgets. Ironis bukan?

Kita mau bilang apa? Ini memang sudah zamannya. Sebab kalau kita katakan mahasiswa sudah tidak mau membaca, mereka menjawab bahwa mereka membaca. Baca apa? Ya baca HP, walau yang dibaca adalah penggalan -penggalan saja di WhatsApp. Jadi, wajar saja kalau yang terjadi saat ini, seharusnya dengan semakin banyaknya pengetahuan dan mudahnya cara mengakses informasi dan pengetahuan tersebut, semakin cerdas generasi ini. Namun, faktanya? Kita pasti akan merasakan sesuatu yang membuat kita bertanya-tanya.

Ada fakta, yang menurut penulis sebenarnya memprihatinkan serta membuat hati galau. Ya, bagaimana tidak ya. Mereka yang sedang kuliah di PT, sudah hampir menjadi sarana, ketika penulis tanyakan, benarkah kalian kuliah? Apa bukti anda kuliah?

Nah, sebagai mahasiswa yang sedang kuliah, pasti mereka menjawab “ Benar Pak”. Semua berseru benar. Ya, bagaimana tidak? Mereka memang sedang kuliah. Tetapi anehnya, ketika penulis meminta bukti kalau mereka benar kuliah. Mereka pun menjawab, buktinya dengan kehadiran ke ruang kuliah setiap hari. Ya, “ Kami datang ke kampus setiap hari. Kami teken atau tanda tangan absen, mengikuti kuliah atau ceramah dosen dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen.

Nah, benar mereka kuliah bukan? Tentu benar, karena itulah yang mereka fahami. Sebab ketika ditanyakan kepada mahasiswa, banyak mahasiswa yang tidak bisa bisa menjelaskan apa itu “ kuliah”. Walau mereka sedang duduk belajar di perguruan tinggi (PT). Tentu saja aneh, bila mereka sedang menjalankan aktivitas kuliah, tapi tidak faham atau tidak bisa menjawab pertanyaan, Apakah kuliah itu. Benarkah ada banyak mahasiswa yang tidak tahu artı atau makna kuliah itu?

Ya, silakan para dosen sekali-kali bertanya pada mahasiswa apa esensi kuliah itu? Sebab dalam kehidupan kita, Kuliah bukan kata yang asing di telinga kita, karena kata ini bisa difahami setiap orang. Kuliah adalah sebuah proses belajar. Sama halnya dengan belajar di jenjang pendidikan lain yang tidak disebut kuliah itu. Bedanya mungkin pada level kuliah sudah lebih banyak belajar kerangka teori dan lain-lain.

Lalu untuk bisa memahi segala macam konsep, teori dan lainnya, prosesnya adalah belajar. Proses belajar yang mengayakan pengetahuan, keterampilan dan sikap dilakukan lewat sebuah kegiatan membaca. Kita sudah akui bahwa membaca membuka jendela dunia. Membaca memperkuat keterampilan dan perubahan perilaku menjadi lebih baik. Karena dengan banyak membaca, seseorang akan mendapat kedalaman ilmu yang sedang dipelajari. Idealnya, setiap mahasiswa di perguruan tinggi memiliki minat membaca yang tinggi yang berimplikasi pada luasnya pengetahuan mereka ketika dinobatkan sebagai mahasiswa. Namun apa daya, bila kuliah saja mereka tidak mengerti apa yang bisa kita harapkan.

Wajarlah kalau sekarang, dalam praktik sehari-hari, kalau mereka belajar mengejar nilai, mengejar angka, mengejar cepat selesai dan cepat menjadi sarjana, tetapi miskin dengan pengetahuan, keterampilan dan apalagi yang namanya intelektual dan spiritualitas? Sehingga bukan hal yang aneh, setiap tahun angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi semakin menambah panjang angka yang antre mencari kerja. Bukan hanya itu, tetapi juga makin banyak yang berusaha menunda masa pengangguran, dengan mengeluarkan energi, biaya dan usia melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Celakanya, setelah selesai S2 kembali mencari kerja dan malah menjadi kembali pada pengangguran intelektual.

Nah, kondisi dan realitas inilah, menjadi menarik bagi penulis untuk merenungkan lirik lagu Ebiet G.Ade di atas, sambil bertanya-tanya, ini salah siapa, ini dosa siapa. Meskinya, aku tak bertanya lagi. Namun, sebagai orangtua, sebagai yang peduli pada nasib genarasi bangsa, kita galau karena di depan mata ada selaksa beban dan rintangan yang harus dihadapi dengan modal penggetahuan, keterampilan dan mentalitas serta moralitas yang cukup berkualitas. Lalu, apa yang bisa kita harapkan, kalau kata kuliah saja belum mereka mengerti.

Penulis adalah Pengamat Pendidikan, pegiat literasi, pensiunan guru yang kini tengah membangun rumah belajar bisnis di POTRET Gallery Banda Aceh

  • Bagikan