Matinya Demokrasi Di Tangan Jokowi

  • Bagikan
Matinya Demokrasi Di Tangan Jokowi

Oleh Taufiq Abdul Rahim

Sesungguhnya era baru demokrasi di Indonesia pada zaman kontemporer, yaitu pada saat keruntuhan rezim otoritarian Orde  Baru Soehato pada tahun 1998, yang berlangsung secara evolusioner, lebih populer dengan gerakan reformasi tahun 1998 dengan korban jiwa, darah dan nyawa. Selanjutnya dalam khazanah dunia politik Indonesia berkembangnya multipartai politik mengikuti sistem politik parlementer-presidentil. Maka kekuasaan politik berlaku secara “trias politica”, sehingga puncak kekuasaan negara serta politik tidak berada pada tangan satu orang yang berkuasa, kemudian terbaginya kekuasaan pada eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Demikian juga aturan serta sistem politik yang diatur oleh undang-undang serta pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) tidak hanya pada dua partai politik dan satu golongan karya, dimana kekuasaan terbesar berlaku “single mayority” pada Golongan Karya, yang kemudian berubah menjadi Partai Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya pasca era reformasi 1998 perubahan iklim demokrasi demikian masif dan bekembangnya partai pokitik dengan asumsi semua orang/individu dan kelompok memiliki hak untuk berserikat, berkelompok serta mendirikan partai sebagai hak azasi manusia (HAM). Sehingga partai politik tumbuh sumbur bagaikan jamur di musim hujan, puluhan bahkan ratusan, setelah diseleksi dan verifikasi jumlah sedikit demi sedikit berkurang. Namun demikian semangat reformasi terus digaungkan, meskipun aturan politik serta partai politik yang terlibat Pemilu juga terus menerus banyak dan berkembang, selaras dengan rasional politik dan jumlah penduduk yang akan menentukan kursi legislatif, ini melalui penentuan sistem proforsional terbuka. Di samping itu juga hadir beberapa lembaga yudikatif untuk memperkuat institusi penegakan hukum dan prinsip kesamaan hak didepan hukum (equaity before the law). Juga penentuan eksekutif (Presiden) dipilih langsung oleh rakyat, meskipun awalnya dianggap rumit, akan tetapi dapat dilaksanakan di Negara Indonesia, sehinga timbul istilah tak ada yang tak  mungkin di Indonesia, dan atau yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang mungkin menjadi tidak mungkin.

Karena itu merujuk pemikiran John Rawls (2019) bahwa, interpretasi demokratis mengkombinasikan prinsip kesamaan kesempatan yang fair dengan prinsip indeferen, maka gagasan intuitif tatanan sosial yang demokratis untuk mengukuhkan menjamin prospek yang lebih atraktif dari orang-orang yang diuntungkan kecuali yang menguntungkan mereka yang kurang beruntung. Dengan demikian perbedaan yang lebih besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari yang lebih besar  adalah, asumsinya yang kaya dan miskin, ini menjadikan yang miskin makin miskin, sehingga hal ini melanggar prinsip keuntungan bersama dan juga kesetaraan demokratis. Demikian juga demokrasi, menurut pemikiran Abraham Lincoln (1863) yaitu, sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Goverment of the people, by the people, for the people) . Sesungguhnya konsep ini dalam pemahaman ilmu politik dan perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan berlandaskan pemikiran Sydney Hook (2011), demokrasi adalah, bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh rakyat biasa. Hal ini diperkuat oleh Schimitter, Phillipe dan Karl, Terry Lynn (1971) yaitu demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan diminta tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka mereka yang telah terpilih. Hal ini semakin konkrit sebagaimana pemikiran dari Schemer, Joseph A (2011), adalah demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Karena itu sistem poltik institusional dan keterwakilan rakyat serta memiliki kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan, ini merupakan model dari sistem politik modern meskipun tidak terlalu sempurna, yang diterapkan melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) sebagai reperesentasi kekuasaan dan kedaulatan politik rakyat, ini diatur berdasarkan undang-undang dasar yang berlaku serta aturan politik dari pada partai politik dan kepemiluan yang diatur berdasarkan kesepakatan terhadap pengaturan sistem demokrasi. Hanya saja permasalahan ini kemudian menjadi perhatian serius dari kalangan ilmuan, masyarakat sipil, para aktivis dan berbagai elemen masyarakat serta mahasiswa, pada saat kewenangan serta kekuasaan politik menjadi sentralistik dan atau keputusan-keputusan politik juga kebijakan ekonomi-politik dikuasai secara absolut ataupun autoritarian pada satu orang dan kelompoknya saja. Hal ini kemudian didukung oleh para oligarki ekonomi-politik yang menguasai seluruh potensi ekonomi serta sumber daya alam, juga berbagai keputusan hukum yang menguntungkan presiden dan kroni serta kolusinya, bahkan beberapa koruptor terjebak dalam perangkap kepemimpinan yang dimainkan untuk menjebak siapa saja yang terlibat, kemudian memiliki keberpihakan terhadap pengambil kebijakan serta keputusan politik tertinggi, termasuk lembaga yudikatif atau institusi hukum yang mesti memiliki keberpihakan kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan politik di negara ini.

Pemimpin pemangku kekuasaan tertinggi atau Presiden itu adalah Jokowi, pada saat kekuasaan politik yang sebelumnya dipilih dan memiliki legalitas demokrasi yang merupakan semangat reformasi pada saat periode kedua hingga tahun ke 26 pasca reformasi, mulai memperlihatkan tanda-tanda serta isyarat demokrasi yang dibangun denga susah payah sejak reformasi 1998, setelah runtuhnya rezim Orde Baru (Soeharto), ternyata mulai mengalami gangguan kebebasan berpendapat, aturan hukum mulai dipermainkan untuk kepentingan penguasa sejak peristiwa pandemi Covid-19. Demikian juga usaha melegitimasi perpanjangan masa jabatan presiden, adanya isu Presiden Jokowi tiga periode yang melanggar undang-undang, kemudian diupayakan agar perubahan usai presiden dengan memanfaatkan serta merubah undang-undang usia presiden/wakil presiden berusia 35 tahun, melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Ini semua secara politik adanya campur tangan Joko Widodo (Jokowi) selaku Presiden Republik Indonesia (RI), dengan memanfaatkan kekuatan partai politik pendukungnya yang terjerat berbagai kasus hukum, dapat saja dengan perintahnya secara otoriter menjebak mereka, agar mendukung memuluskan rencananya, sehingga demokrasi politik menjadi tidak berdaya. Hal yang paling prinsipil adalah, autoritarianisme politik yang dimainkan dengan menguasai seluruh institusi serta infrastruktur politik serta anggaran belanja negara, hal ini menjadikannya politik dibunuh dengan cara tidak beretika-moral, juga mudah melakukan penekukan ketentuan hukum sesuai dengan kekuasaannnya yang berlebihan (abbused of power) tanpa pengawasan/kontrol dari legislataif (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR-RI) yang notabene partai politik pendukung di bawah kendali kekuasaannya.

Dengan demikian, usaha secara sistematis mematikan demokrasi dengan melanggar atau melabrak etika-moral ini, tidak terkepas dari pengawasan, kontrol dan perhatian kelompok akademisi, guru besar, kampus, aktivis pro demokrasi, aktivis HAM, buruh, mahasiswa serta berbagai elemen masyarakat yang masih perduli dengan etika-moral dalam kekuasaan negara. Dalam hal pertimbangan etika-moral berhadapan dengan kekuasaan yang berlebihan yang mampu mematikan demokrasi sebagai semangat politik menuju kesetaraan, kesamaan, keadilan, pemerataan, kemakmuran serta kesejahteraan. Semua ini juga tidak mudah untuk meyakinkan kekuasaan yang sudah sangat tidak rasional lagi dibawah kekuasaan Jokowi menjelang sekitar delapan bulan lagi kekuasaan politiknya. Selanjutnya usaha untuk memenangkan Calon Presiden/Wakil Presiden yang merupakan anak kandungnya untuk melanjutkan kekuasaan, ini dilakukan melalui banyak usaha dan atau berbagai cara untuk memenangkan Pemilu 2024. Di samping penguasaan lembaga penyelenggara pemilu serta pengawasnya, juga memanfaatkan anggaran belanja negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) melalui bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial (Bansos) yang digulirkan sekitar Rp 493,5 triliun untuk kepentingan pasangan calon (Paslon) anak kandungnya. Berbagai praktik kecurangan menghalalkan segala cara agar kekuasaan politiknya melalui anaknya sebagai wakil presiden dilakukan secara terstrukur, sistematis dan masif, agar mendapatkan kemenangan Pemilu 2024, sehingga demokrasi politik yang dibangun dengan darah dan air mata pada tahun 1998, mati di tangan kekuasaan Jokowi sebagai Presiden RI.          

Taufiq Abdul Rahim; Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan