Mengapa Demokrasi Dirusak?

  • Bagikan
Mengapa Demokrasi Dirusak?

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Perlahan namun pasti, lembaga-lembaga utama demokrasi (peradilan independen, media yang bebas, dan badan legislatif yang efektif sebagai bagian integral dari keberhasilan transisi demokrasi) semakin terancam

Democracy is the least bad form of government, kata Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris (1940-1945; 1951-1955). Meski dengan ketidaksempurnaan, demokrasi dianggap lebih unggul dibanding bentuk pemerintahan lainnya. Semua memiliki kekurangan. Namun, demokrasi dipandang memiliki lebih sedikit permasalahan inheren.

Pernyataan petinggi Sekutu Perang Dunia II melawan rezim otoriter Nazi (Jerman) dan Italia (fasis), ini, juga mencerminkan tipikal hasrat “panglima” ideologi ekonomi liberal dan imperialism. Sekaligus menambah keterangan sejarah Westernisasi dan hegemoni ide white supremacy (keunggulan kulit putih).

Pendapat yang pantang digugat tentang demokrasi sebagai pilihan paling disukai adalah ideologi penting pelampiasan hasrat liberalisme dan imperialisme berbalut narasi peradaban yang menyembunyikan pentingnya akselerasi pembaratan dan pemaharajalelaan kulit putih sebagai keniscayaan.

Keterpaksaan pilihan demokrasi itu tidak sempurna, namun alternatif ini harus diyakinkan sebagai solusi yang harus dikaitkan dengan berbagai nilai inti kemanusiaan seperti hak individu, kebebasan berekspresi, supremasi hukum, dan kesetaraan perwakilan. Idealitas ini tak sepenuhnya ditemukan. Namun rasionalitas impian yang menjadi dasar argumen untuk bentuk pemerintahan yang lebih adil dan inklusif, harus dipaksakan sebagai solusi dunia.

Pandangan pragmatis Churchill bahwa demokrasi lebih mudah beradaptasi dan responsif terhadap kebutuhan dan kemauan masyarakat, juga dianggap memberi jaminan transisi damai kekuasaan melalui Pemilu yang berkontribusi pada stabilitas politik.

Seiring menguatnya jeratan neo-liberalisme dan neo-imperialisme, tudingan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan paling buruk secara universal semakin dianggap anti peradaban. Secara paralel keberadaan sistem alternatif (otoritarianisme atau berbagai model campuran lainnya) yang juga mempunyai pendukung di belahan bumi berpijak yang sama atau berbeda, secara psikologis terus disudutkan sebagai antiperadaban.

Leonardo Morlino (2004) mementingkan pengujian multi dimensi, di antaranya kriteria kinerja dan konsolidasi, Ketika menawarkan konsruk demokrasi yang “baik”. Penilaian harus melampaui proses Pemilu dengan analisis komprehensif yang mempertimbangkan faktor jamak (partisipasi politik, kebebasan sipil, supremasi hukum, dan perlindungan hak-hak minoritas).

Kriteria kinerja demokrasi ini berparameter efektivitas dan efisiensi lembaga-lembaga demokrasi, kemampuan sistem menghasilkan tata pemerintahan yang baik, dan dampak terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Konsolidasi demokrasi menjadi prasyarat mutlak, sebuah kontinum penting bagi stabilitas (ketahanan) praktik dan institusi demokrasi dari waktu ke waktu.

Kemudian berkembanglah cara memberi perhatian atas bukti-bukti empiris tentang kompleksitas dan variasi pengalaman demokrasi. Sebagai proses tak berujung, demokrasi dapat mengalami kemerosotan yang terkonfirmasi dari para produsen data seperti Democracy Index (The Economist Intelligence Unit), Freedom in the World (Freedom House), Varieties of Democracy (V-Dem), The Global Democracy Ranking, Bertelsmann Transformation Index (BTI), Electoral Integrity Project (EIP), dan lain-lain.

Sejalan dengan itu Samuel P. Huntington mengurai temuan “tiga gelombang demokrasi” (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991) yang mewakili periode berbeda dalam penyebaran global demokrasi.

Demokratisasi tak linier, tak seragam melintasi ruang dan waktu. Ditingkahi faktor sejarah, geopolitik, dan sosiokultural, yang menyebabkan tersebarnya pemerintahan demokratis sejak gelombang pertama (1828-1926) hingga gelombang kedua (1943-1962) dan gelombang ketiga (1974-2008).

Gelombang pertama ditandai perluasan hak pilih yang kerap melampaui jumlah populasi kelas elit awal, seiring pembentukan pemerintahan konstitusional. Gelombang kedua pasca Perang Dunia II berciri utama dekolonisasi tak terhentikan (Afrika, Asia, dan Timur Tengah), sebuah lonjakan menuju penentuan asa nasib sendiri sambil berkenalan dengan doktrin demokrasi. Gelombang ketiga ditandai jatuhnya rezim otoriter dan munculnya negara-negara demokrasi baru (khususnya di Eropa Selatan, Amerika Latin, dan sebagian Asia).

Proses menuju sistem pemerintahan demokratis ini melibatkan perubahan politik, sosial, dan kelembagaan. Kerap disertai penegakan prinsip, lembaga, dan praktik demokrasi. Selalu kompleks dan berjamak aspek, serta melibatkan berbagai aktor, institusi, dan kekuatan masyarakat.

Tantangan demokratisasi bisa muncul dengan penguatan isu-isu seperti polarisasi politik, kesulitan ekonomi, kesenjangan yang parah, atau upaya untuk melemahkan lembaga-lembaga demokrasi oleh aktor-aktor deviatif demokrasi itu sendiri.

Agenda reformasi politik, seperti pengalaman yang mirip dengan kasus Indonesia, dapat menjadi sia-sia karena setelah berhasil membongkar struktur otoriter dengan pengorbanan besar, akhirnya terjerumus kemerosotan.

Capaian retasan pembatasan kebebasan politik menunjukkan tanda-tanda senjakala seiring partisipasi politik dan kebebasan berekspresi yang dipaksa dicukupkan bersamaan pengendalian partai politik.

Perlahan namun pasti, lembaga-lembaga utama demokrasi (peradilan independen, media yang bebas, dan badan legislatif yang efektif sebagai bagian integral dari keberhasilan transisi demokrasi) semakin terancam. Tanpa kontribusi terhadap checks and balances agar demokrasi dapat berfungsi. Supremasi hukum untuk memastikan undang-undang diterapkan adil melindungi hak-hak individu, dan mencegah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terus melemah.

Pemilu kerap hanya sebagai instrumen yang lebih dimaksudkan untuk melayani kekuasaan, hanya berurusan legalisasi kekuasaan lemah legitimasi. Mestinya bebas dan adil agar menjadi komponen penting dalam transisi demokrasi, kini Pemilu tak lagi menjadi mekanisme untuk mengekspresikan preferensi, memilih perwakilan, dan berkontribusi pada pembentukan pemerintahan yang sah.

Lazimnya aktivisme masyarakat sipil hadir dalam situasi sepelik apa pun. Untuk Indonesia kontemporer mungkin dapat ditunjukkan dengan rentetan fenomena perilaku pemerintahan yang menumpuk perasaan keterampasan.

Misalnya, protes atas perombakan ekonomi politik menjauhi konsep dasar makroekonomi konstitusi melalui Omnibuslaw. Perlawanan atas privatisasi merangkap nihilisasi kolektivisme ekonomi berhajat hidup orang banyak. Reaksi terlambat atas tameng kemanusiaan di balik umpan proses pemiskinan dan politisasi paket-paket bantuan sosial berbasis anggaran nasional.

Kritik lemah gema atas sekuritisasi yang menyasar kelompok strategis untuk melemahkan kekuatan demokratis utama. Lontaran pikiran penyeimbang atas formalisme manfaat institusi penegakan hukum termasuk lembaga anti korupsi. Suara perlahan atas bahaya penegasan sentralisme untuk pemodelan otonomi berketakutan atas demokrasi. Gelombang suara perlawanan atas politik dinasti dan cawe-cawe Jokowi dalam Pemilu 2024, dan lain-lain yang dipandang menyimpang jauh.

Tampaknya atas nama demokrasi Joko Widodo telah sangat berhasil mengapitalisasi ide populisme sebagai sarana terpenting memperhadap-hadapkan pro dan kontra pembelah bangsa Indonesia yang setidaknya terlihat dari fenomena cebong dan kampret dalam analisis atas proses defisit demokrasi.

Dengan menunjuk kepala daerah yang mestinya ditolak oleh demokrasi karena jabatan itu adalah pilihan rakyat, Joko Widodo mestinya dibayangkan sedang ingin memastikan anak sulungnya memenangi pilpres 2024.

Politik dinasti ini juga telah membuktikan pengendalian berbagai kelembagaan dan kekuatan sosial politik untuk anak sulung ini dan menantu yang menggondol jabatan kepala daerah (Solo dan Medan). Akan tercatat sebagai anomali demokrasi ketika anak bungsu Joko Widodo, Kaesang Pangarep, diorbitkan menjadi Ketua Umum sebuah partai tanpa pengalaman dan jejak rekam wajar.

Kini etape akhir kekuasaan Joko Widodo diwarnai sejumlah penentangan, termasuk dari berbagai kampus ternama yang menjadi bagian dari democratic dissent (perbedaan pendapat politik). Sasarannya jelas, mengidentikkan diri kepada polarisasi dukungan Pilpres 2024.

Reaksi kampus itu memang sangat terlambat, terutama jika dibandingkan dengan gerakan mahasiswa yang sejak awal terus mencari pola yang sesuai dengan kepentingan membobol ketebalan tembok yang menantang kesabaran mereka.

Gagasan “Salam Empat Jari” adalah upaya kristalisasi perlawanan terhadap Joko Widodo yang gagal berkuasa melampaui durasi yang ditentukan oleh konstitusi dan gagal melanggengkan hasrat untuk maju menjadi Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2024.

Bukankah akar semua masalah pada konstitusi yang diamandemen beruntun untuk penyesuaian atas neo-liberalisme dan pelayanan atas neo-imperialisme bertameng demokratisasi? Bukti kuat telah hadir untuk pentingnya perubahan membawa pulang bangsa kembali ke Indonesia.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan