Menyoal Pemimpin “Politik Gentong Babi”

  • Bagikan
Menyoal Pemimpin "Politik Gentong Babi"

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Sesungguhnya dinamika serta perkembangan dalam dunia politik serta berbagai praktik yang dilaksanakan oleh para aktor politik demikian memberikan berbagai nuansa, fenomena serta pemahaman yang tidak semua masyarakat luas memahami serta menyetujuinya. Demikian pula berkembang peristilahan ataupun idiom dan terminologi “politik gentong babi” (pork barrel).

Berdasarkan pemahaman masyarakat luas yang sehat tidak dibenarkan, baik disadari ataupun tidak, namun berlaku dalam praktik demokrasi politik Indonesia kekinian, termasuk para aktor politik yang menjunjung tinggi demokrasi, serta berulangkali secara jamak menyuarakan demokrasi sebagai salah satu wahana untuk memilih pemimpin rakyat di era modern saat ini.

Pada saat menjelang pesta dan atau pada saat pemilihan umum (Pemilu), hal ini kerapkali berlangsung dan kelihatannya banyak yang memanfaatkan kondisi, situasi serta momen ini, menjadi tontonan masyarakat luas. Bahwasanya politik gentong babi ini menurut Saragintan dan Syahrul Hidayat (2011) adalah, ini merapakan usaha petahana (incunbent) untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana, dengan tujuan tertentu. Sehingga praktik ini tanpa sungkan dilaksanakan oleh para elite aktor politik (politisi) agar dapat meraih kemenangan dalan pesta demokrasi (Pemilu), dengan menggunakan berbagai anggaran dana, baik yang dikumpulkan pada saat kekuasaan politik di tangannya, kapitalisasi politik dengan memanfaatkan anggaran belanja publik yang dikuasai untuk direnggut, diraih, bahkan tidak segan-segan “merampok/mencuri” uang rakyat serta segala sumber dana, ekonomi dan daya alam yang dibawah kendali kekuasaan, juga kebijakannnya agar tetap dapat dimanfaatkan. Sebenarnya tujuan dari upaya mempraktikkan politik gentong babi ini, pemimpin penguasa, petahana (incunbent) supaya terpilih kembali dalam pesta demokrasi (Pemilu), dapat berkuasa secara politik atau menjabat kekuasaan politik beberapa tahun dan atau lima tahun ke depan.

Selanjutnya pemahaman tentang politik gentong babi sebagaimana dinyatakan Annie Duke (2022) yaitu, politik gentong babi adalah penggunaan dan pengalokasian dana publik, demi mendapatkan keuntungan politik, dengan mengalihkan anggaran pada keperluan politik. Hal ini pada praktik politik sangat mudah serta dapat dengan cara yang sederhana dilaksanakan oleh para penguasa atau petahana untuk terpilihnya kembali, melalui pemanfaatan anggaran belanja publik, termasuk menguasai para legislatif yang juga memerlukan kapitalisasi politik (modal politik), adalah untuk masa depannya agar tetap berada pada lingkaran kekuasaan politik, sebagai pengejawantahan “trias politica” yaitu kekuasaan politik pada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga usaha ini dalam praktik penggunaan anggaran belanja publik yang  dikuasai merupakan “mutualli-symbiosis”, saling mendukung secara timbal balik untuk dilaksanakan bersama-sama atau berjemaah agar dapat menguasai serta mengakali dan atau mempermainkan anggaran belanja publik terhadap kepentingan politik pribadi, kelompok, partai dan para oligarki yang ada di belakang mereka, sebagai pendukung (supported system) dalam mengelola serta mengurus politik negara yang hanya menguntungkan mereka saja, bukan untuk rakyat, meskipun seolah-olah dengan anggaran belanja publik mengatasnamakan rakyat. Karena itu, praktik sistem politik neoliberlisme dilaksanakan, dalam rangka negara sebagai alat kekuasaan politik penguasa, para  oligarki ekonomi-politik menguasai sumber daya alam, sumber daya ekonomi, anggaran belanja negara dan belanja publik, semuanya untuk kepentingan ekonomi-politik kekuasaan serta penguasa politik dan para oligarki.

Karenanya, politik penguasaan anggaran belanja negara dan publik dengan menggunakan cara atau praktik politik gentong babi, yaitu anggaran serta dana yang besar bahkan triliunan, menggunakannya dari dana publik untuk kepentingan politiknya. Ini seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial (Bansos), bantuan untuk masyarakat miskin, bantuan pendidikan, janji makan siang gratis, pembagian susu gatis, dan banyak lagi berbagai rupa dana yang dibagi-bagikan pada saat kampanye, politik uang (money politics), uang transporatasi pemungutan suara,uang serangan pajar ini semua sesunguhnya mengharapkan balas jasa maupun dukungan politik agar mendapatkan suara pilihan agar memperoleh kemenangan dan menduduki kursi jabatan politik yang dilakukan dengan praktik “culas”. Makanya menurut, Hardiansyah (2021), sejarah gentong babi tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tradisi ataupun sistem politik di Amerika Serikat. Sesungguhnya bepotensi kemudian melaksanakan praktik korupsi dapat dipastikan berlangsung secara masif serta besar-besaran, pada saat menggunakan anggaran belanja negara atau belanja publik tersebut selanjutnya. Pada dasarnya yaitu, penggunaan istilah gentong babi tersebut, hal ini merujuk pada gentong, tong atau wadah maupun tempat yang terbuat dari kayu, ini digunakan untuk menyimpan dan atau mengawetkan daging babi asin yeng telah diproses agar dapat tahan lama, sehingga dapat untuk dikonsumsi pada masa akan datang saat diperlukan maupun masa paceklik. Disamping itu, penggunaan idiom ataupun terminologi gentong babi, ini juga berkenaan dengan rujukan terhadap pengeluaran pemerintah melalui anggaran belanja negara atau publik, dilakukan dengan jumlah yang besar, gemuk serta adanya pemborosan anggaran, yang seolah-olah anggaran tersebut dimanfaatkan untuk membantu rakyat. Dalam praktik politik anggaran belanja publik di Amerika Serikat, ini diperkenalkan oleh John Farejohn (2009), ini merupakan aktivitas serta perilaku politik yang persis sama dilakukan Lembaga Congres Amerika Serikat.

Meskipun demikian, ini dilakukan di Amerika Serikat dengan memanfaatkan anggaran belanja negara atau publik, akan tetapi praktik politik tersebut tetap tidak dibenarkan dalam sistem politik memanfaatkan anggaran belanja publik, dengan dalih membantu rakyat yang sedang kesusahan, miskin, tidak berdaya ataupun masyarakat rentan maupun marginal. Dengan demikian praktik nyata pelaksanaan politik gentong babi diwujudkan dalam bentuk realisasi anggaran belanja untuk rakyat miskin, kurang mampu seta kelompok rentan/marginal. Sesungguhnya praktik politik gentong babi tersebut hanya menguntungkan sebelah pihak, yaitu pemimpin yang memamerkan praktik yang seolah-olah baik, sebaliknya melaksanakan praktik “politik busuk dan culas” dengan cara memberikan bantuan sosial dan lain sebagainya, sementara itu uang ataupun anggaran belanja atau dana juga berasal dari rakyat. Kemudian praktik politik busuk dan culas ini biasanya selaras, sejalan serta signifikan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), juga praktik curang dengan keyakinan penuh memanfaatkan infrastruktur kekuasaan lainnya, termasuk infrastruktur hukum juga lemabaga pelaksana dan pengawas Pemilu. Ini dilakukan dengan mengendalikan kekuasaan dengan para penjilat, pejabat gila kekuasaan, sehingga merasa diri dapat memenangkan Pemilu dengan melaksanakan praktik menghalalkan segala cara (machiavellist), pemimpin menjalankan kebijakan politiknya menggunakan”new ororitarianism democratics” atau kekuasaan politik otoriter, kemudian secara masif menggunakan bungkusan baru menggunakan terminologi demokrasi pada saat pesta rakyat (Pemilu), ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat luas.

Dengan demikian, politik gentong babi yang secara transparan, jelas terlihat dipraktikkan oleh para elite politik kekuasaan negara, sesungguhnya sangat “menjijikkan atau memuakkan”, karena memanfaatkan anggaran belanja yang digunakan berasal dari rakyat. Demikian pula jika praktik politik gentong babi dimanfaatkan untuk meraih kemenangan yang kemudian dengan tanpa sungkan dan malu-malu, melakukan kecurangan politik agar tetap berkuasa, memegang kekuasaan politik dan lain sebagainya, apalagi untuk melaksanakan politik dinasti, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar tetap kekuasaan politik di tangannya. Praktik politik busuk yang seperti ini mencoreng/mematikan iklim demokrasi dibangun dengan susah payah, bahkan pada awalnya mengorbankan darah, nyawa dan air mata para pejuang demokrasi dan reformasi politik bangsa. Apakah politik gentong babi ini dapat menjamin keadilan serta kemakmuran, bahkan dapat menciptakan kesejahteraan bangsa dan negara? Dari latar belakang praktik politik yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan pemimpin politik dengan cara busuk, culas dan curang, ini dapat dipastikan bahwa, bukan untuk rakyat, tetapi elite pejabat kekuasan, kelompok dan oligarkinya.        

Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan