Pemilu Kotor 2024

  • Bagikan
Pemilu Kotor 2024

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Hal yang tidak disinggung sama sekali dalam Dirty Vote adalah pemilih fiktif. Sepanjang sejarah Pemilu sejak era reformasi nyaris tak pernah mampu membuat Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang baik

Filem dokumenter Dirty Vote yang dapat diindonesiakan dengan Pemilu kotor yang baru tayang beberapa hari lalu adalah penegasan ulang atas pengetahuan umum yang sudah sangat meluas tentang anomali Pemilu 2024.

Tiga tokoh yang ditampilkan sebagai narasumber Dirty Vote ialah Zainal Arifin Mochtar, Fery Amsari dan Bivitri Susanti. Mereka bertiga berbagi peran untuk menjelaskan secara detil dan menyeluruh anomali pemilu 2024, mencakup buruknya legal framework (kerangka hukum) pemilu, aspek konteks sosial politik, aspek penyelenggaraan dan aspek kontestasi.

Dalam pembuatan film ini Dandhy Laksono (Director) didukung oleh sejumlah personel reseracher terdiri dari Heli Lavour, Kafin Muhammad, Nurdinah Hijrah, Rino Irlandi dan Joni Aswira.

Dirty Vote mengawali sorotan kepada bagaimana Gibran Rakabuming Raka terorbit menjadi Calon Wakil Presiden dengan menegaskan perilaku inkonsistensi Joko Widodo dengan target satu putaran.

Menurut Zainal Arifin Mochtar, bukan khas Indonesia jika setiap rivalitas seperti ini pertarungan utama berlangsung sengit antara kandidat penerus kemapanan dengan kandidat pembawa gagasan perubahan.

Tetapi pilkada DKI 2017 telah membuktikan tawaran gerakan 4 jari yang membuktikan Ahok-Djarot Saiful Hidayat yang posisinya sangat mirip dengan posisi Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka justru kalah berhadapan dengan pasangan yang tak diunggulkan oleh pemain survey, yakni Anies Rasyid Baswedan yang berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno.

Feri Amsari kemudian mengelaborasi ketentuan-ketentuan teknis konstitusional pemenangan pilpres dengan angka-angka keunggulan yang harus dipenuhi, dan secara tak langsung menegasikan logika mudah di balik opini kencang Pilpres satu putaran.

Zainal Arifin Mochtar memberi bukti-bukti material termasuk rekaman pembicaraan tentang partai apa yang harus diloloskan dan partai apa yang harus digagalkan dalam verifikasi partai dengan manipulasi data. Hanya karena perlawanan sengit partai Ummat akhirnya bisa lolos. Zainal Arifin Mochtar memang tak memberi rincian mengapa partai yang didongkrak secara manipulatif bisa tetap melenggang.

Feri Amsari menerangkan proses rekrutmen penyelenggara pemilu dengan memberi bukti-bukti yang mengokohkan dugaan scenario buruk. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki tugas konstitusional mengawasi gagal menjalankan tugas. Itu karena personel penyelenggara terorbit melalui mekanisme political pointy yang mengabaikan integritas.

Selama ini Aparatur Sipil Negara (ASN) dikambinghitamkan karena kecurigaan atas netralitas mereka. Memang benar hal itu menjadi masalah besar, tetapi mereka adalah insan yang bekerja terorganisasi di bawah koordinasi pemimpin.

Bagaimana dengan para Kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Wali Kota) yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai simpul-simpul kekuasaan? Dalam kaitan inilah Feri Amsari menyorot peran Tito Karnavian sebelum maupun setelah menjadi Mendagri.

Pakta Integritas untuk memenangkan Ganjar Pranowo, sebagai contoh kasus, dikemukakan di sini, barangkali sekaligus untuk menerangkan pergeseran dukungan Joko Widodo yang memilih pecah kongsi dengan Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Netralitas memang sesuatu yang sulit dan pengawasan, apalagi penindakan, justru lebih sulit terjadi sesuai ketentuan yang belaku. Secara keseluruhan Dirty Vote memesankan pemilu 2024 sangat bermasalah dan tidak mungkin berintegritas.

Istilah lama yang semakin diperlemah gemanya saat ini, yakni kecurangan Pemilu secara terstruktur, sistimatis dan massif, terjelaskan secara akademik dan dengan narasi serta argumen yang sangat kuat dalam filem dokumenter yang sangat berharga ini.

Hal yang tidak disinggung sama sekali dalam Dirty Vote adalah pemilih fiktif. Sepanjang sejarah Pemilu sejak era reformasi nyaris tak pernah mampu membuat Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang baik. Beberapa bulan lalu hal ini mencuat, namun tak beroleh tindaklanjut.

Ajeg dalam fenomena demokrasi di seluruh dunia, bahwa jika Pemilu berlangsung dengan kecurangan bersifat TSM yang diketahui oleh rakyat memang tetap berpeluang beroleh legalitas meski lemah atau tanpa legitimasi. Hari-hari setelah itu pastilah instabilitas politik karena suara rakyat diingkari.

Mengapa semua anomali ini terjadi? Mungkin jawaban yang tepat adalah narasi pembuka Zainal Arifion Mochtar dalam file mini “Jika Anda menonton file mini, saya punya pesan sederhana… tolong jadikan filem ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman… Film ini adalah monument, tagihan. Monumen yang akan kita ingat bahwa kita punya peran besar melahirkan orang yang benama Jokowi”.

Di tangan Joko Widodo demokrasi berlangsung dengan semangat pengawasan yang sangat lemah. Ia menjadi sangat leluasa mencederai demokrasi.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan