Populisme Dia Sudah Pudar

  • Bagikan
Populisme Dia Sudah Pudar

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Banyak pihak yang merasa kecewa dan tersinggung oleh retorika populis Jokowi. Mereka merasa bahwa Jokowi telah tak setia janji-janji

Populisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gaya politik yang mengklaim mewakili kepentingan rakyat biasa melawan elite yang korup atau tidak kompeten. Populisme sering kali bersifat abstrak dan tidak memiliki definisi yang jelas atau konsisten. Beberapa ciri umum populisme adalah mengandalkan retorika yang emosional dan provokatif, menekankan identitas kolektif dan nasionalisme, menolak pluralisme dan kompromi, dan menantang status quo.

Populisme abad 17 muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme monarki dan dominasi gereja. Populisme pada masa ini berwujud gerakan sosial dan agama yang menuntut reformasi politik dan kebebasan beragama.

Populisme abad 18 berkembang seiring dengan munculnya ide-ide pencerahan, liberalisme, dan nasionalisme. Populisme pada masa ini mewadahi revolusi politik dan sosial yang menuntut hak-hak sipil, kemerdekaan, dan kesetaraan.

Populisme abad 19 dipengaruhi oleh industrialisasi, urbanisasi, dan imperialism yang mungkin identik dengan gerakan buruh, petani, dan nasionalis yang menentang eksploitasi, ketidakadilan, dan penjajahan.

Populisme abad 20 didorong oleh perang dunia, depresi ekonomi, fasisme, komunisme, dan dekolonisasi antara lain ditandai peran partai politik, gerakan massa, dan pemimpin harismatik yang menawarkan ideologi alternatif, mobilisasi sosial, dan transformasi radikal. Populisme abad 21 dipicu oleh globalisasi, krisis keuangan, migrasi, terorisme, dan media sosial bersasaran anti-sistem, partai anti-establishment, dan pemimpin otoriter yang mengeksploitasi ketidakpuasan publik, ketakutan kolektif, dan keinginan perubahan.

Tokoh politik populisme terkenal dari berbagai negara adalah mereka yang mampu menarik dukungan massa dengan gaya komunikasi yang sederhana, langsung, dan menggugah. Mereka juga sering kali menghadapi kritik, kontroversi, dan konflik dengan lawan politik, media, dan lembaga internasional. Beberapa tokoh politik populisme terkenal dari berbagai negara adalah: Hugo Chávez dari Venezuela, yang memimpin Revolusi Bolivarian (1999-2013) dengan ideologi sosialis dan anti-imperialis; Narendra Modi dari India, yang memimpin Aliansi Demokratik Nasional (2014-sekarang) dengan ideologi Hindu nasionalis dan pembangunan ekonomi; dan Marine Le Pen dari Prancis, yang memimpin Front Nasional (2011-sekarang) dengan ideologi sayap kanan dan anti-imigrasi.

Joko Widodo adalah presiden Indonesia yang memenangi dua kali pemilihan. Namun, di balik popularitas dan kharisma yang dimilikinya, Jokowi juga mencitrakan hal lain yang tak dapat ditutupi, yakni sisi lain yang kontroversial. Populisme Jokowi memiliki beberapa ciri umum. Pertama, kerap mengandalkan retorika yang emosional dan provokatif. Jokowi sering menggunakan kata-kata yang menimbulkan simpati, harapan, atau kemarahan dari publik, seperti “kerja, kerja, kerja”, “saya tidak takut”, atau “saya akan lawan mereka”. Retorika ini bermaksud membangun citra diri sebagai pemimpin yang tegas, berani, dan peduli.

Kedua, kerap menekankan identitas kolektif dan nasionalisme. Jokowi selalu mengajak rakyat untuk bersatu dan berjuang demi Indonesia. Ia juga sering menunjukkan simbol-simbol nasional seperti pakaian adat yang dimaksudkan untuk memperkuat solidaritas dan loyalitas dari pendukungnya.

Ketiga, Jokowi cenderung mengabaikan atau mengecam pandangan-pandangan yang berbeda atau kritis terhadap dirinya. Ia juga jarang berdialog atau berkonsultasi dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, akademisi, media, atau partai politik lain. Sikap ini menggambarkan sikap otoriter dan intoleran yang mengancam demokrasi.
Keempat, menantang status quo. Jokowi mengklaim sebagai perwakilan dari rakyat biasa yang ingin melakukan perubahan dan pembangunan di Indonesia.

Pendeknya Joko Widodo menjanjikan perubahan besar dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Namun, setelah tujuh tahun berkuasa, Jokowi semakin menuai kritik dan kekecewaan dari berbagai pihak.

Jokowi telah menggunakan beberapa retorika populis dalam karir politiknya, baik sebagai gubernur Jakarta maupun sebagai presiden. Beberapa di antara contoh retorika populis Jokowi adalah anti impor. Jokowi sering mengkritik kebijakan impor pangan dan barang lainnya yang dianggap merugikan petani dan produsen lokal. Ia juga mengklaim bahwa ia akan membuat Indonesia mandiri dan tidak bergantung pada negara lain.

Jokowi juga kerap mengucapkan jargon Trisakti. Bahkan Jokowi mengadopsi konsep Trisakti yang dicetuskan oleh Soekarno, yaitu berdaulat politik, berdikari ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya dalam visi pemerintahannya. Jargon yang sebetulnya sangat strategis ialah poros maritim dunia. Jokowi mengusung visi Indonesia sebagai poros maritim dunia yang memiliki peran strategis dalam perdagangan dan keamanan global. Ia juga berupaya meningkatkan pembangunan infrastruktur maritim dan kemaritiman di seluruh wilayah Indonesia.

Janji 10 ribu lapangan kerja juga menjadi catatan penting tentang retorika populisme Joko Widodo yang diucapkannya hampir setiap hari berkampanye, jika terpilih sebagai presiden. Ia mengatakan bahwa ia akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Jokowi menyusun sembilan agenda prioritas yang menjadi program kerja pemerintahannya, yakni Nawacita yang mencakup berbagai aspek (reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat, perlindungan lingkungan, dan lain-lain).

Tertoreh dalam ingatan, adalah jargon revolusi mental. Jokowi mengajak rakyat melakukan perubahan sikap dan perilaku yang lebih positif, produktif, kreatif, inovatif, dan bersih. Ia mengatakan bahwa revolusi mental adalah kunci untuk mencapai kemajuan bangsa. Keluarbiasaan retorika Jokowi termasuk sintuhan membangun sentimen nasionalisme bangsa, yakni keniscayaan pergeseran Pembangunan dari Jawa sentris ke Indonesia sentris. Jokowi menekankan pentingnya memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi. Ia juga berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat di daerah-daerah terpencil dan tertinggal dengan melakukan kunjungan kerja dan blusukan.

Retorika-retorika ini berhasil menarik simpati dan dukungan dari banyak kalangan, terutama dari kelas menengah, pemilih muda, dan kelompok minoritas. Jokowi dianggap sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, peduli dengan nasib kaum marjinal, dan berani mengambil langkah-langkah progresif. Namun retorika-retorika ini mulai terbukti sebagai jargon belaka yang tidak diikuti oleh tindakan nyata. Jokowi sering kali mengabaikan janji-janjinya, baik karena tekanan politik, kendala birokrasi, maupun kepentingan pragmatis. Beberapa contoh kegagalan Jokowi dalam merealisasikan retorika populisnya adalah:

Jokowi ternyata tetap melakukan impor pangan dan barang lainnya dalam jumlah besar, bahkan saat pandemi Covid-19. Ia juga tidak mampu mengatasi masalah defisit neraca perdagangan dan ketergantungan pada bahan baku impor.

Jokowi tidak berhasil menjaga kedaulatan politik Indonesia, terutama dalam menghadapi tekanan dan campur tangan dari negara-negara besar. Juga tidak mampu menciptakan kemandirian ekonomi Indonesia, yang masih bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing. Begitupun kepribadian budaya Indonesia, yang semakin tergerus oleh pengaruh globalisasi dan asimilasi. Tidak mampu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang dihormati dan disegani. Ia juga tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah maritim yang dihadapi Indonesia, seperti pencurian ikan, konflik perbatasan, pencemaran laut, dan bencana alam.
Tidak mampu menciptakan 10 ribu lapangan kerja setiap hari, bahkan jauh dari targetnya. Tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan dan pengangguran, yang semakin memburuk akibat pandemi Covid-19.

Jokowi tidak mampu merealisasikan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang menjadi program kerja pemerintahannya. Banyak yang tertunda, gagal, atau bermasalah, seperti reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan rakyat, perlindungan lingkungan, dan lain-lain. Jokowi gagal melakukan revolusi mental, bahkan di kalangan pejabat dan birokratnya sendiri dan tidak mampu menangkal berbagai fenomena negatif yang merusak bangsa seperti korupsi.

Jokowi gagal memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, bahkan cenderung memprioritaskan pulau Jawa dalam pembangunan infrastruktur dan alokasi anggaran. Ia juga tidak mampu menyeimbangkan pembangunan antara pusat dan daerah, antara perkotaan dan pedesaan, antara wilayah Barat dan Timur Indonesia. Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang semakin hari semakin menunjukkan masalah yang sekaligus mencerminkan gagasan yang tak matang kaji adalah kenyataan terbalik dari Upaya pemerataan.

Akibatnya, banyak pihak yang merasa kecewa dan tersinggung oleh retorika populis Jokowi. Mereka merasa bahwa Jokowi telah tak setia janji-janji. Juga merasa bahwa Jokowi telah mengabaikan atau melanggar prinsip-prinsip yang ia usung sendiri. Juga merasa bahwa Jokowi telah gagal sebagai pemimpin yang dapat membawa perubahan positif bagi Indonesia.

Petisi dan protes yang belakangan ini beruntun dari berbagai kampus di tanah air semakin menegaskan kebenaran kekecewaan terhadap ketidakkonsistenan Joko Widodo.

Retorika populis Jokowi yang awalnya mampu membuatnya dipuja, didukung dan dimenangkan dalam berbagai kontestasi politk. Kini mengalami kemerosotan. Meskipun begitu, Lembaga-lembaga survei masih banyak yang setia mengglorifikasinya. Itu urusan lain. Apa yang menyebabkan perubahan sikap publik terhadap Jokowi? Apakah ia benar-benar seorang populis yang pro-rakyat, atau hanya seorang politisi pragmatis yang mengorbankan prinsip-prinsipnya demi kekuasaan?

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan